Hukuman Mati Bukan Solusi

174
Dari kiri ke kanan: Anis Hidayah, Maidina Rahmawati, Yosua Octavian, Daniel Awigra, Putri Kanesia, dan Yusman Telambauna.
[HIDUP/Karina Chrisyantia]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Jumlah orang yang divonis mati bertambah tiap tahun. Padahal, belum tentu semua terpidana bersalah.

Yusman Telambauna terbata saat menceritakan pengalaman saat mendekam di penjara. Ia sempat dijatuhi hukuman mati karena kasus pembunuhan yang tak dilakukannya. Yusman akhirnya bebas berkat Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), pengacaranya.

Yusman menceritakan pengalamannya diperlakukan tak adil ketika penyidikan dilakukan oleh polisi. Dengan terbata-bata karena tak begitu lancar berbahasa Indonesia, ia menceritakan soal tindak kekerasan saat diperiksa petugas. “Sampai sekarang saya takut melihat polisi,” kenangnya.

Peristiwa yang menimpa Yusman, bukan merupakan kasus tunggal. “Ini juga menunjukan terpidana mati belum tentu bersalah,” tegas pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Yosua Octavian, di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis, 10/10.

Perlakuan yang mendera Yusman, lanjut Yosua, seharunya membuka mata masyarakat bahwa sistem peradilan pidana Indonesia belum sempurna, khususnya dalam ranah pidana mati.

Tiap 10 Oktober seluruh dunia memperingati Hari Menentang Hukuman Mati. Sebagai negara retensionis (mendukung hukuman mati), Indonesia masih memiliki vonis tersebut bagi pelaku kasus pembunuhan berencana, narkotika, dan terorisme. Eksekusi mati yang terjadi di Indonesia terakhir kali pada April 2016. Kendati demikian, laju vonis mati masih tinggi terjadi di negara ini.

Berdasarkan pemantauan Reprieve, jumlah vonis mati pada 2016 mencapai 27 terpidana mati. Kemudian meningkat menjadi 33 orang, dan pada September tahun ini jumlahnya bertambah menjadi 341 orang terpidana mati. Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) –yang akhirnya ditunda– masih mempertahankan pidana mati bagi pelaku pidana khusus. Di pasal 100 RKHUP, versi mutakhir bulan September 2019, disebutkan, hakim dapat menjatuhkam pidana mati dengan masa percobaan selama sepuluh tahun.

Bagi Deputi Direktur Kontras, Putri Kanesia, hukuman tersebut tak menampakan sisi keadilan. “Artinya, terpidana hukuman mati tidak langsung diekekusi. (Tapi, terpidana) Dua kali menjalankan hukuman, yakni hukuman penjara dalam jangka waktu yang tidak jelas dan dieksekusi mati,” ungkapnya.

Putri mencontohkan, dalam pidana narkotika, eksekusi mati tidak menimbulkan efek jera. Sebab, belum tentu yang ditangkap dan diadili itu sindikatnya. Maka, eksekusi mati tidak menyelesaikan masalah.

Kontras mendesak pemerintah untuk membentuk komisi pakar independen untuk menyusun rencana jangka panjang abolisi hukuman mati lima tahun ke depan. Mereka juga menghimbau untuk mengkomutasi seluruh terpidana mati yang menjalani masa tunggu di atas sepuluh tahun, yang mana komitmen tersebut telah tercemin di dalam RKUHP dan mengkaji status hukum para terpidana mati dalam RKHUP.

Tak hanya kepada presiden, Kontras juga mendorong Makamah Agung untuk menerbitkan panduan pemindaan kasus hukuman mati guna membatasi vonis hukuman tersebut.

Selain LBH dan Kontras, konferensi pers yang diinisiasi oleh Koalisi Hapus Hukuman Mati (HATI) juga menghadirkan Deputi Direktur Human Rights Working Group Daniel Awigra , Ketua Pusat Studi dan Kajian Migrasi Migrant CARE Anis Hidayah, dan dari Migrant Care, dan Maidina Rahmawati, peneliti Institute for Criminal Justice Reform.

Karina Chrisyantia

HIDUP NO.42 2019, 20 Oktober 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here