Bruder Fransiskus Xaverius Sugi FIC : Jalan Panggilan Bruder Dalang

811
Br Frans Sugi FIC dan wayang wahyu miliknya.
[HIDUP/H. Bambang S]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Awalnya, ia bercita-cita menjadi guru, namun jalan panggilan mengatarnya bergabung dalam Tarekat FIC. Ia belajar mendalang, dan mengidolakan Werkudara.

Di masa kanak-kananya, Br Fransiscus Xaverius Sugi FIC sudah gemar nonton wayang kulit. Kegemaran ini lantaran ia sering diajak ayahnya, Petrus Wana Sura Pawira, juga penikmat pagelaran wayang. Sugi kecil akan menangis, apabila sang ayah pergi nonton wayang tanpa mengajaknya. “Kalau ada pertunjukan wayang kulit dan bapak nonton, saya selalu ikut. Kalau tidak diajak, saya nangis,” kenang Br Frans, sapaanya, saat ditemui di kantor kerjanya Yayasan Pangudi Luhur (YPL) Perwakilan Yogyakarta, Jumat, 30/8.

Bruder Frans tidak menyangka, memainkan wayang kulit atau menjadi dalang, kini telah menjadi salah satu “pekerjaanya”. Tidak hanya wayang kulit dengan cerita Mahabarata dan Ramayana, ia juga piawai merangkai kisah Kitab Suci menjadi cerita yang ia mainkan dalam Wayang Wahyu.

Jauh ke masa lalu, Sugi muda hanya memiliki cita-cita sederhanya, menjadi guru. Namun, jalah hidup membawanya menjelajah ke beragam peran. Setelah taman pendidikan guru, ia memutuskan menjadi bruder St Maria yang Terkandung Tanpa Noda (Congregatio Fratrum Immaculatae Conceptionis Beatae Mariae Virginis/FIC). Dalam menjalani panggilannya, ia pernah bekerja sebagai anggota Dewan FIC, ia pun pernah menjadi provinial FIC Indonesia. Namun di sela-sela kesehariannya, ia meluangkan waktu mendalami wayang kulit.

Menjadi Dalang
Di salah satu ruang Bruderan FIC Yogyakarta, rumah di mana ia tinggal saat ini, terdapat dua kotak berisi wayang kulit, semuanya milik Br Frans. Selain wayang kulit, ia juga memiliki beberapa wayang wahyu. Dari bilah-bilah wayang itu, sesekali ia mementaskan wayang dan menjabarkan cerita tentang kehidupan.

Dalam dunia pewayangan, Br Frans paling mengidolakan tokoh Werkudara dan Gatotkaca. Sebagai anak Pandawa nomer dua, Werkudara adalah pribadi yang jujur dan penuh kasih sayang. Werkudara mendidik anaknya Gatotkaca dengan keras, namun juga dengan kasih sayang yang besar. “Saya paling suka tokoh wayang Gatutkaca dan Werkudara. Karena Werkudara kalau mengajar anaknya keras, tapi penuh kasih sayang,” tuturnya.

Br Frans mengakui, ia menekuni dunia pewayangan setelah tidak lagi mengajar di sekolah. Saat masih di Semarang Jawa tengah, ia meluangkan waktu seminggu sekali untuk belajar dalang di Sanggar Pak Roko. Di tempat ini, tak hanya wayang yang ia pelajari, namun juga seni Karawitan. “Di Sanggar Pak Roko di Semarang mereka punya karawitan. Seminggu sekali saya belajar ndalang di sana.”

Sebagai dalang, Br Frans sudah puluhan kali mementaskan Wayang Purwa maupun Wayang Wahyu ke berbagai daerah, seperti Yogya, Semarang, Solo, dan Jakarta. Ia pula pentas wayang wahyu untuk siaran langsung RRI Surakarta. Pergelaran dalam rangka Paskah tahun 2013 itu, Br Frans melakonkan “Musa Nampi Angger-angger Sedasa” (Musa menerima sepuluh printah Allah).

Tahun 2016, bahkan ada seorang Muslim yang “nanggap” Ki Dalang BruderFrans, untuk mementaskan Wayang Wahyu. Saat itu dalam rangka suran pasamuan, Frans membawakan lakon Dawud-Goliat. “Ibu itu seorang hajah yang menyekolahkan anaknya di sekolah Katolik, tahu saya bisa ndalang lalu ditanggap,” tutur Frans. Br Frans, bahkan pernah mendalang hingga luar negeri. Pada 17 November 2008, ia tampil di acara Culture Night di EAPI Filipina.

Satu pementasan yang menurut Br Frans mengesankan adalah penampilannya di SMA Pangudi Luhur Brawijaya Jakarta tahun 2015. Dengan lakon “Sang Musa”, Br Frans menyebutkan contoh-contoh sepuluh perintah Allah. Begitu rampung mendalang, Br Frans didatangi salah seorong penonton Muslim. Pria tersebut minta agar sang dalang bekenan mencatatkan contoh-contoh sepuluh perintah Allah. Katanya, akan dijadikan tambahan bekal mengarungi hidupnya.

Panggilan Bruder
Br Frans lahir di sebuah desa yang masuk wilayah Paroki Santo Petrus dan Paulus Klepu, Sleman. Ketika lahir, sebenarnya ia dinamai Lasiyo, tapi kemudian hanya sakit-sakitan. Maka, namanya lantas diganti Sugi, diambil dari hari kelahirannya, Selasa Legi

Saat ia dibaptis Desember 1966, waktu duduk di kelas dua SMP St Yusuf Klepu, Sugi menjadi orang pertama di keluarganya yang menjadi Katolik. Saat itu, ia memilih nama baptis Fransiskus Xaverius. “Dulu, kedua orangtua kam Muslim. Saat tarawih saya ya ikut tarawih. Senang, ada tradisi jaburan,” kenang Frans kecil.

Menuruti saran kedua orangtuanya, ketika tamat dari SMP, Frans meneruskan pendidikannya ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Pangudi Luhur di Kidul Loji, Yogyakarta. Ia masih ingat benar pesan orangtuanya dulu, mereka mendorongnya menjadi guru, karena setelah lulus akan gampang cari kerja dari pada menjadi petani. “Dadi guru wae, njur nyambut gawe,” demikian pesan ortunya yang petani.

Meski jarak sekolahnya cukup jauh, sekitar 21 kilometer dari rumahnya, Frans bersemangat sekolah di kota. Di sinilah, Frans mengenal sosok Br Yustinus Sukirno FIC. Beberapa bulan sebelum kelulusan SPG Pangudi Luhur, Frans kerap melihat tujuh teman sekolahnya kumpul mondar-mandir dipanggil Br Yustinus yang saat itu menjabat Kepala Sekolah SPG.

Ternyata, ketujuh teman itu ingin mengikuti tes menjadi bruder di Muntilan. Saat mengetahui itu, Frans pun lantas ikut tertarik, maka ia memberanikan diri menghadap Br Yustinus, mengutarakan ketertarikannya ikut tes jadi bruder. Gayung bersambut Br Yustinus meminta Frans langsung ikut tes di Muntilan, meskipun sebenarnya ia sudah ditempatkan untuk tugas menjadi guru. “Kamu sudah didaftarakan jadi guru, tapi kalau mau coba ikut tes jadi bruder, besok langsung berangkat saja ke Muntilan,” kenang Br Frans menirukan petunjuk dari Br Yustinus.

Frans mengaku, tertarik jadi bruder FIC karena selain alasan teman-temannya banyak ingin jadi bruder. Juga, sosok Br Yustinus saat mengajar menjadi daya tarik.“ Saya diajar bruder, disiplinnya setengah mati. Bruder Yustinus sama anak-anak akrab, kalau ngajar gampang diterima. Saat datang ke sekolah dengan naik motor gede ‘uduk-uduk’ itu saya kagum,” kenang Frans.

Banyak Karya
Frans akhirnya masuk postulat pada 1972, dan tahun berikutnya menempuh novisiat petama. Pada 1974 Frans mengikrarkan kaul pertama dalam Kongregasi FIC. Setelah mengikrarkan kaul kekal, Br Frans dipercaya menjalankan tugas di berbagai karya pendidikan tarekat.

Selesai studi dan mendapat gelar sarjana muda (BA), Frans ditugasi mengajar agama di SMP Don Bosco Semarang, sekaligus jadi bapak asrama. Satu setengah tahun kemudian pindah mengajar di SPG van Lith Muntilan. Lalu melanjutkan studi di IKIP Negeri Semarang, sambil mengajar di SMP PL Dominicus Savio.

Delapan tahun mengajar di SMP Dominicus Savio, ia lantas dipromosikan menjadi Kepsek SMA St Yosef Surakarta. Selanjutnya pindah menjad Kepsek dan guru di SMA PL Brawijaya Jakarta. Dari Jakarta, ia pindah ke daerah dan mengajar di SMP PL Klaten. Belum satu setengah tahun di Klaten, Kongregasi Bruder FIC menggelar Kapitel Umum. Pada kesempatan ini, Br Frans dipilih menjadi anggota dewan pimpinan pusat FIC di Belanda. Alhasil, tahun 1995, ia pun pindah tugas selama enam tahun di negeri kincir angin itu.

Tahun 2000 kembali digelar kapitel tingkat dunia di Ghana, namun Frans menolak mengikuti rapat enam tahunan tersebut. Maka, ia lantas kembali ke Indonesia. Namun begitu pulang ke tanah air, ia terpilih memimpin FIC Indonesia periode 2000-2006.

Bagi Br Frans, menjadi bruder berarti bersedia ditugaskan di mana saja. Menjadi guru atau berperan sebagai anggota dewan FIC adalah tugas yang harus dijalankan dengan sepenuh hati. Juga saat ia mendalang, ia berusaha menjalankannya dengan gembira.

H. Bambang S/Antonius E. Sugiayanto

HIDUP NO.40 2019, 6 Oktober 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here