Salon Sebelah Rumah

734
1/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Sudah lama aku menjadi pelanggan salon di sebelah rumahku. Sejak rambutku masih hitam, sampai mulai beruban. Orang tua lebih praktis berambut pendek, cuci rambutnya juga jadi lebih mudah. Sebagai biarawati, setiap cuti setahun sekali aku menyempatkan diri potong rambut di salon Dik Nanik, tetangga di sebelah rumahku. Aku suka dengan salon Dik Nanik. Lantainya tidak ada rambut berceceran, ini sangat jarang terjadi. Dulu aku dengar dia bilang: “Lantai salon berceceran rambut katanya pertanda banyak pelanggan. Tapi saya tidak mau begitu Mbak. Kalau salonku tidak laku gara-gara bersih, aku mau ganti pekerjaan saja,” kata Dik Nanik. Ternyata salon di sebelah rumahku itu laris. Setiap tahun kulihat kemajuannya. Dik Nanik memperluas usahanya dengan rias pengantin, persewaan pakaian, dekorasi pesta, terakhir aku melihat di banner yang terpampang di salonnya, melayani juga cuci dan cat rambut.

Aku bangga dengan tetanggaku ini. Kedua anaknya masih kecil ketika suaminya meninggal. Tapi Dik Nanik bangkit dengan salonnya. Waktu suaminya masih ada, katanya daripada menganggur, dia tetap buka salon sambil mengasuh anak. Ketika suaminya telah tiada, salon itulah gantungan hidupnya. Dik Nanik berhasil membiayai pendidikan anaknya. Sekarang yang sulung, sudah memberinya dua cucu. Dan adiknya sudah mau menikah juga. Aku mengatakan dalam hati, Dik Nanik memang wanita perkasa.

“Wulan, aku mau potong rambut dulu ya,” aku pamit kepada adikku meskipun hanya mau pergi ke sebelah rumah.

“Jangan potong rambut di situ Mbak. Sekarang kan sudah banyak salon yang lain, tidak harus di situ.”

“Memang kenapa?”

“Nanik itu sekarang suka omong yang tidak mengenakkan kuping. Tidak seperti dulu.”

“Kupingku belum dengar Dik Nanik omong yang tidak enak,” kataku sambil pergi.

***

“Permisi Dik Nanik,” aku memberi salam. Ia sedang memotong rambut seseorang.

“O …, Mbak Widya. Silahkan duduk dulu Mbak. Ini sudah selesai kok. Kapan datang?”

“Kemarin Dik”, kataku sambil duduk di kursi yang tersedia. Benar, Dik Nanik memang sudah selesai memotong rambut pelanggannya. Sesudah menyerahkan biaya, gadis itu permisi.

“Ya, hanya dikurangi panjangnya, dan masih bisa ditali jadi satu,” kataku. Begitulah Dik Nanik sudah tahu, bagaimana harus memotong rambutku. Sudah sejak rambutku masih hitam dan sekarang menjadi abu-abu, tak pernah aku ganti model potongan rambut.

“Gimana kabarnya cucu Dik?” tanyaku membuka obrolan. Dia sangat antusias bila ditanya tentang cucu.

“Yang pertama sudah kelas dua Mbak, adiknya baru tiga tahun, sedang lucu-lucunya.” Aku senang mendengar celoteh Dik Nanik yang ramah. Bercerita tentang sang cucu dan keluarga anak sulungnya itu. Nampak sekali bahwa dia bangga dengan keluarga anaknya. Karena Dik Nanik juga melayani cuci rambut, maka aku minta cuci rambut sekalian. Yah, biaya salon di desa ini sangat murah. Biarlah aku agak sedikit lama ngobrol dengan yang empunya salon.

“Mbak Widya, saya mau tanya boleh kan?” Begitu kata Dik Nanik sesudah beberapa saat dia berhenti menceritakan cucunya.

“Boleh Dik, mau tanya apa?”

“Orang Katolik itu kok berbondong-bondong ke Gua Maria, ada apa to Mbak?” Tidak jauh dari rumah kami memang ada Gua Maria. Dulu gua itu sederhana saja. Di lereng bukit kecil dibuat ceruk, lalu di depannya dibuatkan tempat sempit saja untuk berdoa. Dulu yang datang ke situ hanya umat Katolik sekitar saja. Tapi ketika gua itu dibangun, dilengkapi dengan jalan salib, ruang untuk mempersembahkan Misa, banyak peziarah datang. Bahkan dari kota-kota yang cukup jauh.

“O …, mereka itu berdoa Dik. Mungkin mereka mempunyai permohonan-permohonan tertentu. Lalu mereka mohon kepada Bunda Maria supaya menyampaikan permohonan mereka itu kepada Yesus.” Aku merasa tidak menemukan jawaban yang lain, jadi begitulah aku katakan, entah dia bisa memahami atau tidak. Dik Nanik memang seorang Muslimat, bahkan sekarang pun dia juga sudah berjilbab.

“Bunda Maria itu kan ibunya Nabi Isa ya Mbak?”

“Iya Dik, kami percaya bahwa orang yang sudah bahagia di surga itu dapat menyampaikan doa kepada Tuhan untuk kami yang masih ada di dunia ini,” kataku karena kepalang tanggung, mau menjawab bagaimana.

“Jadi kami memang berdoa, mohon supaya Bunda Maria yang sudah berbahagia di surga itu menyampaikan permohonan-permohonan kami kepada Yesus.” Dik Nanik tidak mengajukan pertanyaan lagi. Ia sibuk mengeringkan rambutku dengan handuk dan kemudian dengan hair dryer. Beberapa saat hening. Untuk memecah keheningan aku mau menanyakan tentang anaknya yang kedua, Sofiatun. Wulan, Sofiatun sudah menjadi dosen di Bandung. Sekarang sedang liburan di rumah. Tak lama lagi dia juga akan menikah. Mudah-mudahan jurus yang kupilih ini membuat Dik Nanik kembali ramah dan banyak cerita tentang keluarganya.

“Saya dengar dari Wulan Sofi sedang liburan di rumah Dik, kok tidak kelihatan?”

“O …, Sofi sedang bersama tunangannya nyekar ke makam embahnya. Ya, mohon doa restu supaya hari pernikahannya nanti berlangsung lancar. Supaya keluarganya menjadi keluarga yang sakinah. Hidup rukun sampai kakek-nenek,” kata Dik Nanik sambil tertawa.

“Nah, itu dia Dik Nanik, mohon doa restu kepada embahnya. Seperti orang Katolik juga mohon doa restu kepada Bunda Maria, yang sudah ada di surga.”

“O …, begitu ya Mbak?”

“Iya Dik ….” Setelah selesai mengeringkan rambutku, aku menyerahkan biaya potong rambut dan cuci rambut, yang menurutku sangat murah dibanding biaya salon di kotaku.

***

“Nanik omong apa Mbak?” tanya adikku ketika aku sampai di rumah.

“Biasalah, cerita tentang anak, cucu, menantu, juga tentang Sofi yang akan menikah. Lalu tanya-tanya juga tentang Gua Maria.”

“Betul kan, dia suka tanya macam-macam. Untuk apa dia tanya tentang Gua Maria.”

“Tanya kan boleh, tentunya dia ingin tahu maka bertanya.”

“Lalu Mbak jawab apa?”

“Aku jawab sesuai dengan apa yang aku tahu.”

“Memang dia percaya?”

“Percaya atau tidak itu urusan dia. Wulan, sekarang ini toleransi saja belum cukup. Perlu ada dialog,” kataku menirukan seorang narasumber dalam suatu seminar.

“Kalau ada orang bertanya, ya dijawab. Bertanya artinya membuka dialog. Kita tanggapi dengan baik,” aku bergaya menasihati adikku.

Kembali ke biara aku mendapat kabar dari Wulan. “Mbak, sekarang Dik Nanik kembali ramah dan baik seperti dulu.” Aku jawab “syukurlah”. Di kapel aku doakan Dik Nanik pemilik salon di sebelah rumahku. Semoga salonnya tambah maju. Semoga ia dianugerahi panjang umur, berbahagia bersama anak, cucu, menentu.

Maria Antonia SFS

HIDUP NO.43 2019, 27 Oktober 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here