Pastor Pédro Opeka CM : Cinta Misionaris Tempat Sampah

201
Pastor Pédro Opeka, CM, bersama anak-anak di Akamasoa.
[madagascarfoundation.com]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Tiga dekade, ia mengabdi kepada kaum termiskin di Madagaskar. Ia mengubah wajah muram tempat pembuangan sampah terakhir menjadi kota penuh persahabatan dan harapan.

Tsiadino Fannie, bocah berusia 13 tahun. Ia tergopoh masuk ke dalam rumah berkelir hijau pastel. Fannie baru saja pulang bermain dengan enam saudaranya di lapangan dekat lereng bukit Akamasoa. “Kau sudah siapkan semua untuk minggu depan?” tanya sang ibunda, Erlinne.

“Untuk ujian, saya siap!” Fannie melanjutkan, “Oh ya, kedatangan Paus Fransiskus. Saya siap dan amat senang!”

Erlinne, seorang ibu tunggal dari empat anak kandung. Ia juga mengadopsi dua anak laki-laki yatim piatu. Sejak tujuh tahun lalu, ia menetap di Akamasoa. Ia diberi rumah dan bekerja di kantin sekolah. Semua anak-anaknya bisa sekolah.

Hari itu, genap sepekan sebelum kedatangan Paus Fransiskus ke Madagaskar, sebuah negara pulau di Samudra Hindia, lepas pesisir timur Afrika. Awal September lalu, Paus melakukan lawatan apostolik ke Mozambik, Madagaskar, dan Mauritius.

Dan pada Minggu, 8 September lalu, Bapa Suci Fransiskus benar-benar berada di Akamasoa. Tak hanya itu. Fannie, anaknya, benar-benar berada di hadapan pemimpin tertinggi umat Katolik sejagat itu. “Saya, orang yang berada di paling bawah dalam segala hal. Saya sungguh terharu melihat Fannie berbicara dengan Paus,” ujar Erlinne sembari menyeka air di pelupuk matanya. “Hati saya penuh sukacita.”

Murid Paus
Sukacita yang meluap dirasakan Erlinne dan Fannie pada hari itu, tak lepas dari sosok Pastor Pédro Opeka, CM. Komunitas Akamasoa didirikan Pastor Pédro pada 1989. Akamasoa, dalam bahasa Malagasi berarti “teman baik” atau “persahabatan”. Akamasoa hanya salah satu dari 20 kawasan yang diinisiasi imam dari Kongregasi Misi (Congregation of the Mission) ini.

Selama tiga dasawarsa, organisasi yang didirikan Pastor Pédro telah membangun rumah untuk 25.000 orang hingga memunculkan 18 desa baru, seratus sekolah, enam klinik, dan dua stadion sepak bola. Sekitar 500.000 orang telah merasakan sentuhan kasih Pastor Pédro. “Tahun depan, kami akan membangun sebuah perguruan tinggi untuk paramedis,” sebut Pastor Pédro.

Imam misionaris Lazaris berjanggut putih itu kini telah berusia 71 tahun. Paus Fransiskus bukanlah orang asing bagi Pastor Pédro. Paus adalah salah satu dosennya ketika ia masih di jenjang teologan di Argentina.

Pastor Pédro Pablo Opeka, nama lengkapnya, lahir 29 Juni 1948, di San Martin, kawasan pinggiran Kota Buenos Aires, Argentina. Orangtuanya imigran dari Slovenia. Kemiskinan bukanlah hal asing baginya. Semenjak kanak-kanak, ia telah dididik berdikari. Pédro membantu ayahnya mencari nafkah sebagai tukang batu.

Negeri Miskin
Saat berusia 15 tahun, Pédro memilih meniti jalan panggilan sebagai imam. Ia masuk seminari yang dikelola imam Lazaris. Ia menyelesaikan studi di Institut Katolik Paris, Prancis. Pada 28 September 1975, ia ditahbiskan menjadi imam di Buenos Aires, Argentina.

Ia langsung dikirim sebagai misionaris di paroki pedesaan di bagian Tenggara Madagaskar. Namanya Vangaindrano. Madagaskar, salah satu negeri termiskin di dunia. Sembilan dari sepuluh orang di sana dikategorikan miskin oleh Bank Dunia. Negeri penuh putus asa dan seolah tiada harapan.

Kemiskinan yang tiada tara itu menjadi medan karya pastoral Pastor Pédro. Ketika berjalan-jalan di sekitar Antananarivo, ia berjumpa dengan gunungan sampah. Dari balik tumpukan sampah itu muncul sosok-sosok mungil. Tubuhnya belepotan. Pakaiannya pun tak karuan. Mereka mengais sampah, mencari benda yang bisa diubahnya menjadi berkah. “Anak-anak itu seperti malaikat yang sedang mengais sampah. Pengalaman itu tak pernah saya lupakan,” ucap Pastor Pédro.

Nyatanya, gunungan sampah yang merupakan tempat pembuangan terakhir itu menjadi gantungan hidup bagi sekira 800 keluarga. Mereka hidup di atas sampah dan menghirup udara tak sedap saban hari. “Setiap kali ada orang asing datang, mereka berteriak meminta bantuan. Namun, tak ada satu pun orang yang peduli,” kisah Pastor Pédro.

Perjumpaan dengan pengalaman miris itu, membuat malam-malam Pastor Pédro kian panjang. Ia sulit tidur pulas. Ia terus berpikir dilambari doa agar mendapat jalan untuk meringankan derita mereka.

Akamasoa
Tekad Pastor Pédro bulat. Ia mau membantu mereka yang paling miskin. Ia segera mengayunkan lengan, melangkahkan kaki. Pastor Pédro menghimpun kekuatan, gagasan, dan dana. Ia mendirikan Komunitas Akamasoa.

Melalui komunitas ini, ia melibatkan warga miskin dengan cara kreatif, membangun gaya hidup bermartabat, serta kemandirian warga. Bermartabat, bagi Pastor Pédro berarti memiliki tempat tinggal yang layak, pekerjaan, dan pendidikan. Tiga hal inilah yang menjadi karya utama imam yang fasih berbahasa Prancis, Jerman, Italia, Slovenia, dan Inggris.

Kini, gunungan sampah itu telah berubah menjadi perumahan warga yang berwarna-warni, dengan jalanan berbatu, dan dikelilingi pohon pinus. Akamasoa menjadi tempat yang indah. “Kami memang membuat kota kami indah,” kata Pastor Pédro. “Keindahan itu bukanlah hak istimewa bagi orang kaya.” Melalui Akamasoa, kandidat penerima hadiah Nobel Perdamaian ini telah memutuskan mata rantai kejahatan, tindak kriminal, dan keputusasaan.

Bagi Pastor Pédro, tinggal di Akamasoa berarti memulai peziarahan untuk memulihkan martabat; menerima hidup dalam kebenaran dan merangkul perjuangan sehari-hari demi keadilan. “Yang pertama bukan kata, tapi tindakan nyata. Kami tak pernah menyamarkan kebenaran. Inilah ketulusan hati.”

Karya nyata Pastor Pédro ini menggelitik saraf kreatif jurnalis televisi Slovenia, Jože Možina. Ia membuat film dokumenter bertajuk “Good Friend-Pédro Opeka”. Film yang mengangkat karya Pastor Pédro ini telah ditayangkan di berbagai negara, termasuk Vatikan. Beragam penghargaan pun diberikan kepada Pastor Pédro, seperti Knight of Legion of Honor, Prancis (2008), dan Matthew Foundation Awards dari Presiden Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian (2008).

Hanya Cinta
Kegembiraan, persaudaraan, kebahagiaan, menjadi kata yang tepat untuk menggambarkan Akamasoa, kata Pastor Pédro. Anak-anak yang dulu hidup berkelindan di gunungan sampah, kini bisa mengenyam pendidikan dan bermain penuh keriaan. Warga juga bangga, lantaran mampu membangun fasilitas sosial. “Perayaan Ekaristi setiap Minggu menjadi perayaan sejati bagi semua orang di sini. Kami semua berdoa, bernyanyi, menari dalam persekutuan, sebagai ungkapan syukur kepada Allah,” ujar Pastor Pédro.

Pastor Pédro tak memiliki resep rahasia dalam membantu orang miskin. Tapi satu hal yang ia tekankan, cara terbaik untuk membantu orang miskin adalah dengan menghormati mereka, berdiri sederajat di hadapan mereka, tanpa topeng, tanpa hak istimewa, tanpa otoritas apa pun. “Hanya dengan cinta dan hormat. Cinta itu akan membantu kita bertahan meskipun ada kekecewaan dan kegagalan di tengah jalan,” ujar Pastor Pédro.

“Ya, semua mesti berlandaskan cinta!” Katanya, “Ketika cinta yang menggerakkan, Dia akan selalu menuntun kita di jalan yang benar.”

Y. Prayogo

HIDUP NO.45 2019, 10 November 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here