Bulan Rosario di dalam Sel

180
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Kristoforus, demikian umat di lingkungan itu memberi nama lingkungan mereka. Mengapa Kristoforus? Alasannya sederhana. Kristoforus adalah pelindung dalam perjalanan, demikian keyakinan tradisional umat. Sebagian besar umat di lingkungan itu adalah warga pendatang dari berbagai daerah, bahkan ada yang dari Batak, Lampung, Dayak, dan Toraja. Lainnya, dari Kebumen, Cilacap, Muntilan, Klaten, Solo, Gunung Kidul, Bantul.

Menurut statistik, hanya ada satu keluarga yang merupakan penduduk asli di lingkungan itu. Namanya, Mbah Joyo, sudah bertahun-tahun ditinggal wafat sang suami. Anaknya lima, ada satu orang yang lelaki, ragil. Keempat anaknya yang perempuan sudah menikah dan menjadi mualaf, mengikuti keyakinan suami. Dengan demikian, tinggal seorang yang belum menikah, lelaki yang ragil itu.

Tampaknya karena ia fokus merawat Mbah Joyo, ibunya, yang sakit beberapa tahun terakhir. Mbah Joyo sendiri akhirnya meninggal dunia belum lama. Bulan November besok akan genap 100 hari menghadap Sang Khalik.

Dengan demikian, di dalam keluarga tersebut, hanya tinggal seorang saja yang Katolik, lelaki yang ragil itu. Pernah ada selentingan bahwa salah satu ponakannya yang perempuan sedang mengikuti pelajaran baptis dewasa, rupanya karena pacaran dengan seorang lelaki yang Katolik.

Tampaknya pacarannya sudah serius, mengandaikan bahwa akan berlanjut ke pernikahan. Nah, dia ingin menjadi Katolik, mengikuti keyakinan calon suami. Namun, belum ada informasi terbaru perihal selentingan itu. Jika masih serius dengan calon suami yang Katolik itu, boleh jadi ia masih dalam proses belajar sebagai calon baptis. Namun, jika ternyata hubungan itu putus di tengah jalan, sangat mungkin proses belajarnya berhenti juga. Atau … kendati sudah putus hubungan, proses belajarnya terus berjalan? Entahlah, walahuallam.

Tidak ada desas-desus tentang hal litu. Yang pasti, ketika jenazah Mbah Joyo diberkati oleh Romo Gaga, karena kedua romo yang ada di pastoran sedang mengikuti pertemuan di luar kota, dialah satu-satunya cucu perempuan yang tidak berhijab.

Demikianlah, singkat cerita, nama Kristoforus dipilih untuk menggambarkan bahwa umat yang ada di lingkungan tersebut sebagian terbesar orang-orang muzafir, pengembara yang kebetulan mampir, entah untuk setahun-sepuluh tahun atau sampai puluhan tahun hingga akhirnya menghadap Sang Khalik juga, mengikuti jejak Mbah Joyo.

Persisnya ada berapa jumlah umat di Lingkungan Kristoforus? Menurut data yang direkap oleh Bapak Setep, prodiakon anyar kinyis-kinyis yang pernah mengikuti kuliah filsafat dan teologi, ada setidak-tidaknya 90 kepala keluarga dengan 262 jiwa. Ya, setidak-tidaknya 90 kepala keluarga dengan 262 jiwa. Tidak ada angka yang pasti? Ya, kiranya begitulah harus dikatakan. Ada satu dua keluarga yang sesungguhnya sudah berpindah domisili, seperti Pak Pri dan Ibu Heru, tetapi masih tercatat dalam daftar karena mereka masih mengikuti pertemuan lingkungan sekali dua kali. Mereka juga bahkan masih cukup aktif di grup, tidak hanya sekadar sebagai pembaca, tetapi juga memberi informasi, tanggapan, dan bahkan candaan.

Berbeda dengan Pak Pri dan Ibu Heru … Oh ya, ini bukan pasangan suami istri lho ya, melainkan 2 keluarga yang berbeda namun disatukan dengan selera yang sama: suka KKN – kumpul, kulineran, dan nyanyi-nyanyi. Keduanya bagian dari DMC, Djamaah Madhangiyah Christophorus, grup WA yang untuk sementara ini vakum karena satu dan lain hal.

Ceritanya agak panjang. Ya, berbeda dengan Ibu Heru dan Pak Pri, yang seolah tidak rela menyendiri dari Lingkungan Kristoforus yang sudah ditinggal pergi, ada satu-dua-tiga keluarga bahkan lebih yang masih menyendiri kendati tinggal di dalam Lingkungan Kristoforus. Pada setiap pertemuan lingkungan, entah itu pertemuan bulanan, Misa lingkungan, pendalaman Adven, APP Prapaskah, Bulan Katekese Liturgi, Bulan Rosario, umat yang hadir rerata 30an orang saja, orang-orang tua. Anak-anak amat jarang, apalagi OMK. Pada saat Bulan Kitab Suci Nasional, lebih sedikit lagi umat yang hadir.

Dalam salah satu pertemuan forum ketua lingkungan separoki, para ketua lingkungan tidak percaya saat Ketua Lingkungan Kristoforus, Bapak Kris, melaporkan jumlah umat lingkungan. Maklum, lingkungan lain rata-rata terdiri atas 30an KK saja, dengan jumlah jiwa kurang dari 100, karena tidak sedikit yang sudah menjanda. Semua lingkungan memiliki janda, sekurang-kurangnya satu. Ada lingkungan yang jandanya lima, ada yang delapan. Ada seorang ketua lingkungan yang melaporkan sebanyak enam, ya, enam, tetapi cepat-cepat meralatnya, “Nuwun sewu, bukan enam, tetapi tujuh, ya, betul, tujuh.”

“Enam atau tujuh? Mohon dipastikan,” seorang ketua lingkungan, sebut saja dengan inisial Pak B, menyela, “Soalnya, ini menyangkut nyawa seorang suami.” Sebulan lalu Pak B telah menyelenggarakan upacara seribu hari meninggalnya sang istri. Ada tiga romo yang hadir memimpin Ekaristi. Ramai. Ada tiga tenda yang didirikan di depan rumah. Meriah. Kornya dari paroki, juara bertahan sekabupaten 2 tahun berturut-turut. Mereka memakai seragam baru, donasi dari Pak B. Pak B menyembelih tiga ekor kambing, dibeli dari peliharaan Mbah Mitro, lewat Mas Ramidi yang dikenal sekampung ampuh dalam hal jual-beli kambing. Kalau pas Idul Qurban, wah … Mas Ramidi kipas-kipas. Dagangannya, atau persisnya, dagangan orang lain yang ditawarkannya, laris manis tanjung kimpul. Dari ketiga kambing yang disembelih itu, satu untuk acara kenduren sesama warga se-RT, satu untuk umat lingkungan, dan satu untuk frater-frater di biara. Selain suguhan kambing, Pak B juga mengundang katering yang jozz gandhozz, top markotop, langganan kabupaten.

“Ya, betul, tujuh. Eh, sebental. Itu, itu, itu, tiga, empat, lima, terus …,” kata pak ketua lingkungan itu sambil jari telunjuk kanannya menunjuk-nunjuk ke atas, ke sisi kanan, sisi timur, sementara kepalanya sedikit mendongak dengan pandangan ke kiri, sisi barat. Sepertinya ia ingin memastikan bahwa hitungannya tidak melewatkan satu pun janda. Semuanya disisir, dari timur dengan jari telunjuk kanan dan dari barat dengan kepala dan pandangan.

“Ita-itu, ita-itu …, persisnya berapa?” Pak B mendesak.

“Sabar, to, ini lagi dihitung. Tadi sudah sampai berapa, nggih?”

“Limaaa,” forum itu kompak menjawab. Ternyata semua ketua lingkungan, hampir 90% bapak-bapak, memberi perhatian penuh.

“Lima nggih, tlus … itu, itu, ya, betul, tujuh, tujuh, ada tujuh,” segaris dengan kepala dan pandangannya, jari telunjuk kanannya kini berhenti pas di tengah, bergerak-gerak memberi penegasan. Pak Ketua Lingkungan yang berjanda tujuh itu melepas napas lega. Dia memang sudah sepuh, tujuh puluh tujuh tahun lebih umurnya kira-kira. Beberapa giginya sudah tanggal. Ia telah melayani sebagai ketua lingkungan sejak Romo Suryo menjadi romo paroki, hampir 20 tahun yang lalu. Romo Suryo sendiri sudah meninggal, dimakamkan di kompleks makam para romo sekongregasi, dekat pastoran. Rupanya regenerasi di lingkungannya tidak berjalan mulus.

“Saya sendiri belum sempat mendata yang janda,” kata Pak Kris memberi pengakuan polos lagi jujur dalam forum itu. Para pendata janda sedikit menarik muka. Ada yang lalu saling berpandangan, beberapa tersenyum kecil sambil mengangguk-anggukkan kepala. Entah apa yang ada di pikiran para bapak ketua lingkungan itu. Yang pasti, sesungguhnya ada juga beberapa duda, tetapi entahlah, tidak terlalu mendapatkan perhatian. Perhatian pada para janda kiranya merupakan warisan baik dari Jemaat Perdana terjadi sungut-sungut di antara orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani terhadap orang-orang Ibrani, karena pembagian kepada janda-janda mereka diabaikan dalam pelayanan sehari-hari, (Kis 6:1), bahkan dari jemaat Perjanjian Lama. Kata Yesaya, “Perjuangkanlah perkara janda-janda!” (Yes1:23). “Janganlah menindas janda …!” demikian kata Nabi Zakharia (7:10).

Kembali ke Kristoforus. Di Kristoforus ada juga janda, tetapi lupakanlah sementara. Pak Kris sendiri, sebagai ketua lingkungan, belum memiliki data yang akurat, lima atau delapan, atau … mungkin tujuh. Beliau mempunyai keprihatinan yang lain. Ada hampir sembilan puluhan keluarga, tetapi yang aktif hanya sekitar dua puluhan. Yang tujuh puluh ke mana? Sesungguhnya tidak ke mana-mana, kebanyakan mungkin hanya di rumah saja, tetapi entah mengapa tidak menghadirkan diri di dalam pertemuan-pertemuan lingkungan.

“Ada yang punya usul?” demikian Pak Kris bertanya di dalam grup WA pengurus inti lingkungan, isinya hanya empat orang: ketua lingkungan, wakil ketua lingkungan, sekretaris lingkungan, dan bendahara lingkungan.

“Kita hidupkan kembali blok yang pernah ada,” wakil memberi masukan. Sekian waktu yang lalu, pernah dilakukan pembagian lingkungan yang cukup luas secara teritori dan cukup besar secara demografi itu ke dalam bentuk blok. Ada tiga blok, tetapi praktis blok hanya berfungsi sesekali, umumnya dalam urusan penyediaan logistik semata jika ada upacara penerimaan Sakramen Rekonsiliasi di lingkungan. Itu pun hanya dua kali setahun, menjelang Natal dan Paskah. Di luar itu, belum ada kegiatan di tingkat blok yang berdampak.

Akhirnya disampaikanlah dalam pertemuan lingkungan pada awal Oktober kemarin perihal keprihatinan menyangkut kehadiran umat dalam acara-acara lingkungan. Disampaikanlah pula rencana untuk menghidupkan kembali blok. Kegiatannya tidak harus yang bersifat rohani. Murni jasmani pun baikbaik saja, entah itu rujakan, lotisan, cooking class kecil-kecilan, pokoknya yang menyenangkan. Targetnya, yang amat jarang atau bahkan tidak pernah memunculkan batang hidungnya akhirnya hadir dengan segala jiwa dan raganya, komplet. Srawung, kata Romo Uskup. Namun, jika ingin melakukan kegiatan rohani, nah, mumpung Bulan Rosario, ini merupakan kesempatan yang baik untuk melakukan doa Rosario bersama di tingkat blok.

Jika ada kesulitan untuk berkumpul bersama di tingkat blok, diusulkanlah pula supaya doa Rosario bersama bisa diselenggarakan dalam tingkat sel, dengan tiga atau empat keluarga yang bertetangga dekat dalam area yang kecil. Ukurannya, bisa saling menjangkau cukup hanya dengan berjalan kaki saja. Karena hanya berjalan kaki, maka tidak perlu mengokupasi bahu jalan untuk parkir kendaraan. Karena hanya dekat, anak-anak pun bisa diajak serta tanpa menimbulkan keribetan yang luar biasa. Karena hanya sesama tetangga, keluarga C yang selama ini jarang muncul diharapkan lebih tergerak untuk muncul. Karena hanya sebentar, paling lama 30 menit, maka diharapkan tidak ada alasan kesibukan atau banyak pekerjaan yang menghalangi untuk ikut terlibat. Karena hanya komunitas kecil, interaksi di antara semua yang hadir bisa lebih intens. Dan … karena hanya sedikit orang, yang ketempatan pun tidak perlu terlalu repot menyiapkan tempat. Disarankan untuk tidak menyuguhkan apa pun, alias molaikatan, tetapi andai ingin model AMDG, air mineral dalam gelas, semoga tidak terlalu terlalu repot karena hanya komunitas kecil.

Lalu beginilah yang terjadi. Ibu Cin, yang belum pernah hadir sama sekali di dalam pertemuan lingkungan, akhirnya hadir dalam doa Rosario di tingkat sel di TM. Suaminya bekerja di luar kota. Ia datang dengan putri semata wayangnya, sekolah di SD Kanisius Sengkan, Kelas VI. Katanya, nanti mau masuk SMP di Stella Duce. Di sel DR, anak-anak terlibat aktif. Ibu Andi, koordinator blok selatan, memetakan keluarga dalam 5 sel. Hasilnya? Di sel JB 2, si kecil Robert amat antusias. Rosario mulai pukul 18.00, tetapi dia sudah siap sejak pukul 16.30, demikian informasi dari Ibu Agnes, korsel (baca: koordinator sel) setempat.

“Luar biasa! Anak-anak sudah mulai terlibat,” demikian apresiasi Pak Setep menanggapi unggahan foto-foto di grup lingkungan. Foto-foto itu diambil setelah doa Rosario selesai.

Di sel JB 4, doa Rosario diadakan pada pagi hari, pukul 09.00. Pagi? Ya. Pukul sembilan? Betul. Wow … itu sama sekali tidak terpikirkan sebelumnya. Sel MV, kompleks perumahan mewah, akhirnya menggeliat juga dengan memanfaatkan waktu pagi hari berkat the power of emak-emak. Ibu Modes, keponakan Monsinyur dari seberang, dan Ibu Yudho mengambil inisiatif, dan … jadilah. Satu dua warga yang selama ini belum terlibat bahkan sekarang menawarkan diri untuk ketempatan, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ternyata, sel itu, kendati kecil, ia bisa menggerakkan dan dampaknya amat luar biasa. Itulah berkah bulan Rosario untuk Kristoforus, lingkungan para muzafir. Santa Maria, Bunda Allah, doakanlah kami, para muzafir yang berdosa ini ….

Endik Piato Raya

HIDUP NO.45 2019, 10 November 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here