Persaudaraan Harus Memenangkan Perjuangan

265
Kardinal Julius Riyadi Darmaatmadja, SJ, (tengah) menemui beberapa umat yang berkunjung ke Wisma Emmaus, Gisisonta, Ungaran, Jawa Tengah.
[HIDUP/Antonius E. Sugiyanto]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Ia melihat panggilannya sebagai kardinal adalah untuk terlibat dalam dialog dengan sesama dari agama lain. Panggilan ini kemudian menjadi gerak seluruh Gereja.

Tak begitu susah untuk meminta waktu wawancara kepada Kardinal Julius Riyadi Darmaatmadja SJ. Saat HIDUP menyampaikan permohonan ini, ia langsung menjawab dan memberikan kemungkinan waktu untuk bertemu. Alhasil, kami pun bertolak ke Wisma Emmaus, Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah, 1/10.

Kardinal Darmaatmadja, demikian sapaan akrabnya, sudah menunggu di ruang kerjanya, saat HIDUP tiba di rumah para pensiunan Serikat Yesus ini. Setelah berbasa-basi beberapa saat, ia pun mengajak HIDUP ke ruang tamu, tempat yang biasa ia pakai untuk bertemu dengan orang-orang yang silih berganti menemuinya.

Bulan ini, Kardinal Darmaatmadja sudah 25 tahun menyandang gelar kardinal. Ia dilantik menjadi kardinal oleh Paus Yohanes Paulus II pada 26 November 1994. Ada banyak cerita yang disampaikannya tentang pengalamannya mengemban amanat ini.

Iman dan Pancasila
“Gereja selalu berkembang dan itu saya syukuri, baik di Jakarta maupun di sini. Perkembangan di Jakarta antara lain makin lama makin memperhatikan pelayanan kemasyarakatan. Kalau tidak salah, arah dasar dari keuskupan menunjukkan ke sana. Bahkan dibuat secara konkret menggerakkan umat dengan Rosario Merah Putih dengan mendukung keberagaman,” ungkapnya mengawali percakapan kami.

Kardinal Darmaatmadja menilai, baik pemerintah maupun umat beragama, sebaiknya semakin menyadari, bahwa Indonesia terdiri dari beragam suku bangsa, kebudayaan, kepercayaan, dan agama. Ia menilai, dengan keberagaman ini, Gereja harus menanggapi dan menyesuaikan diri dengan dunia yang terus berkembang. “Tidak hanya itu, keberagaman profesi juga semakin menonjol sehingga Gereja kita harus menanggapi selanjutnya perkembangannya bagaimana. Moga-moga dengan perkembangan ini tidak ada lagi konflik antar agama, tidak ada lagi orang merasa canggung bertemu dengan orang beragama dan berkeyakinan lain,” ujarnya.

Beberapa hari sebelum kami mengajukan permohonan untuk wawancara, Kardinal Darmaatmadja terlebih dahulu meminta untuk dikirimkan daftar pertanyaan yang harus ia jawab. Kami pun memenuhi permintaan ini, dan mengirimkan pernyataan yang kami harap dapat menggambarkan pandangan Kardinal Darmaatmadja tentang Gereja, bangsa, dan dunia saat ini. Saat kami akhirnya datang menjumpai Kardinal Darmaatmadja, ia sudah mempersiapkan beberapa lembar tulisan yang menjadi jawaban dari pertanyaan yang sebelumnya kami kirimkan.

Menurutnya, sebagai satu bangsa dan satu tanah air, setiap warga Indonesia seharusnya mampu bersama mengejar kesejahteraan umum. Kardinal Darmaatmadja berpendapat, dengan Pancasila, hal ini mempermudah mewujudkan kebersamaan di Indonesia. Dengan dasar negara ini, masing-masing dapat mengamalkan Pancasila menurut terang iman masing-masing. “Dalam kebersamaan yang bagus ini kesejahteraan umum semoga semakin dapat terjadi. Itulah kesan saya arah yang paling pokok dan penting untuk dapat ditekuni,” paparnya.

Kardinal Indonesia
Girisonta terletak sekitar 500 meter di atas permukaan Laut Jawa. Di tempat ini, sepanjang hari udara terasa sejuk. Wisma Emmaus terletak di Jalan Raya Semarang-Bawen. Meksi sepanjang hari kendaraan berlalu-lalang di jalan itu, namun suasana di biara ini tetap hening. Saat pagi menjelang siang, beberapa umat kadang datang mengunjungi para imam sepuh yang tinggal di rumah ini.

“Girisonta kini sangat berbeda, ketika pertama kali di sini kan pertengahan 71 menjelang 72. Saat itu, umat paroki belum terlalu banyak, seperti sekarang ini. Dulu, kalau tidak salah, mata uang masih lumayan cukup berharga. Kolekte mingguan kira-kira 10 ribu. Namanya uang 25 sen masih masuk di dalam kolekte. Kalau seminggu hanya 10 ribu, berarti sebulan hanya 40 ribu. Saya tidak tahu sekarang, pasti ratusan ribu,” ujarnya.

Saat masih menjadi frater dan kemudian setelah menjadi imam, Kardinal Darmaatmadja memang pernah beberapa saat tinggal dan bertugas di Girisonta. Namun, hidupnya ternyata menuntun ke tugas-tugas yang lebih besar. Ia akhirnya sempat menjadi Provinsial Serikat Yesus (Societas Iesu/SJ) Indonesia sebelum ditahbiskan menjadi Uskup Agung Semarang pada 29 Juni 1983.

Kini saat ia sudah menjadi uskup emeritus, ia kembali memilih tinggal di Girisonta. Kardinal Darmaatmadja masih mengingat, dahulu, jalan-jalan Girisonta belum diaspal, rumah orang pun masih belum banyak yang terbuat dari batu bata. “Sekarang tentu saja sudah lain, dan kelihatannya menjadi makmur,” ujarnya.

Saat kami menanyakan tentang refleksinya sebagai kardinal, ia sejenak menarik nafas, dan membuka satu lembar lain tulisan yang sudah ia persiapkan. “Saya diangkat menjadi kardinal tahun 1994, dan tahun 1996, saya sudah dipindah ke Jakarta. Tahun 1997 sudah ada huru-hara, dan kerusuhan memuncak pada tahun 1998, di mana Presiden Soeharto mengundurkan diri, digantikan Presiden B.J. Habibie,” tuturnya.

Kardinal Darmaatmadja merefleksikan, pengangkatannya menjadi kardinal yang kemudian setelah dua tahun dipindah untuk bertugas di Jakarta membawa suatu panggilan untuknya. Ia menyadari, keterlibatannya diperlukan untuk perkembangan bangsa yang pusatnya terjadi di Jakarta. “Sepertinya dipanggil untuk ikut terlibat dalam situasi-situasi yang sulit itu,” kenangnya.

Kardinal Darmaatmadja berkisah, saat ada kerusuhan Mei 1998, suatu hari ia dihubungi oleh K.H. Abdurrahman Wahid. Tiba-tiba dihubungi, ia pun merasa ragu. Namun, pada akhirnya ia merasa Gus Dur, panggilan akrab K.H. Abdurrahman Wahid, adalah pribadi yang jujur, bersih, dan perjuangannya juga tulus. Sejak itu, ia kerap menghadiri acara yang dibuat Gus Dur.

Perkembangan selanjutnya, Kardinal Darmaatmadja berjumpa dengan tokoh-tokoh Muslim, di antaranya Ahmad Syafii Maarif, Nurcholis Madjid, dan Ruslan Abdul Gani. Ia juga mengingat perjumpaannya dengan Pendeta Natan Setiabudi, dan Sri Panyawaro Mahatera dari Borobudur.

Dialog yang dibangun bersama tokoh-tokoh agama disadari oleh Kardinal Darmaatmadja selaras dengan tugas yang harus ia jalankan saat ia diangkat menjadi kardinal. Di Vatikan, ia ditugasi masuk dalam consilium, yang tingkatnya lebih rendah dari kongregasi, yang membidangi hubungan antar agama. “Berarti pengangkatan kardinal ini mempunyai warna, kok arahnya Tuhan ke situ. Hubungan antar agama menjadi benang merah untuk saya,” urainya.

Kardinal Darmaatmadja tetap juga terlibat dalam kongregasi lain di Vatikan, terutama bidang pengembangan iman dan kebudayaan. Namun, bidang hubungan antar agama ini nampaknya menjadi sesuatu yang lebih khusus. Ia melihat bidang ini sebagai suatu panggilan saat ia diangkat menjadi kardinal. “Ini saya tangkap sebagai panggilan. Jadi panggilan saya sebagai kardinal harus mendukung gerakan hubungan antar agama,” ujarnya.

Tantangan Besar
Kardinal Darmaatmadja mengingat, Paus Yohanes Paulus II (YP II) menempatkan diri sebagai orang yang berdialog. Dalam Redemptoris Missio, YP II menyebutkan, bahwa karya Roh Kudus ada di luar Gereja, karya Roh Kudus yang diciptakan sejak awal dunia diciptakan. Karya Roh Kudus yang membuat harmoni yang bagus untuk alam semesta. Tetapi juga mempengaruhi budaya-budaya, agama-agama. “YP II menghayati rumusan Konsili Vatikan II, tetapi dia menambah sendiri refleksinya, yaitu Roh Kudus hadir di setiap orang. Bagi dia bukan hanya orang Katolik, tapi setiap orang yang berkehendak baik, yang mencoba berbakti kepada Allah, yang hidupnya juga baik, dan melayani sesama,” paparnya.

YP II akhirnya memang dikenal sebagai Paus yang berdialog, ia bahkan mengumpulkan tokoh-tokoh agama di Assisi, Italia. Saat Paus Benediktus XVI memimpin Gereja, pertemuan tokohtokoh agama ini kemudian dilanjutkan. “Ini sesuatu yang baru, bahwa seorang Paus harus duduk bersama dengan orang beragama lain. Biasanya orang Katolik mengira agama lain itu tidak benar sehingga tidak perlu hadir bersama agama lain,” ujar Kardinal Darmaatmadja.

Dari sejak awal, Kardinal Darmaatmadja menceritakan perjalanan panggilannya sebagai kardinal. Langkah demi langkah jalan itu rasanya tidak selalu mudah. Pada 12 Septermber 2006, Paus Benediktus XVI menyampaikan sebuah pidato di Universitas Regensburg, Jerman. Pidato ini disusul dengan protes dari kalangan Islam di seluruh dunia, karena salah satu perkataan Paus yang menyinggung umat Muslim.

Atas peristiwa yang terjadi di Jerman itu, Kardinal Darmaatmadja pun meminta maaf kepada umat Islam. Atas tindakan ini, ia dikritik oleh sabagian orang, yang menilai bahwa sebenarnya tindakan ini tidak perlu dilakukan. Namun, ada juga yang mendukung. “Saya syukuri itu, meskipun untuk banyak orang beda pendapat. Ada yang mendukung saya, namun ada yang mencela. Kok minta maaf sepertinya Paus salah. Saya tidak peduli mengenai salah atau benar, tapi kalau orang terluka, bagaimana pun juga kita minta maaf,” katanya.

Kardinal Darmaatmadja pun mengingat, tindakannya ini sontak mengundang apresiasi dari umat Islam. Bahkan, sejak itu hubungan dengan umat Islam menjadi semakin erat. Salah satu yang menyambut permintaan maaf ini adalah Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Hasyim Muzadi. “Kalau Romo Kardinal sudah minta maaf, ya sudahlah, jangan kita memperpanjang masalah,” Kardinal Darmaatmadja menirukan perkataan Hasyim.

Saat terjadi pengeboman di area Masjid Istiqlal, Kardinal Darmaatmadja pun menelepon imam Masjid Istiqlal. Ia mengucapkan ikut berbela duka, karena ada orang yang merusak bagian bawah Masjid Istiqlal. Bahkan, imam itulah yang kemudian berbicara di mana-mana tentang rasa simpati dari Kardinal.

Perjalanannya selama 25 tahun menjadi kardinal, disimpulkan Kardinal Darmaatmadja, banyak terkait dengan hal-hal hubungan antar agama. Kini, saat Gereja dipimpin oleh Paus Fransiskus, Kardinal Darmaatmadja melihat bahwa Paus juga ingin mendekatkan diri dengan kardinal-kardinal yang memiliki pengalaman dengan umat Islam. “Kemarin ada 13 kardinal baru. Kalau tidak salah ada empat kardinal sempat bersinggungan dengan hubungan antar agama,” tuturnya.

Kardinal Darmaatmadja mengenang kembali, bahwa tak hanya panggilannya sebagai kardinal, yang harus ikut terlibat dalam dialog, tetapi menurutnya, Paus Fransiskus juga sangat getol untuk membangun persaudaraan antar agama. Maka ia menegaskan, ini menjadi panggilan Gereja Indonesia juga. Ia mengapresiasi dokumen bersama yang dibuat Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar, Syeikh Ahmed Al-Tayeb, mengenai persaudaraan berdasarkan kemanusiaan.

Saat mengetahui kunjungan Gerakan Pemuda Ansor ke Vatikan, Kardinal Darmaatmadja membacanya sebagai satu tanggapan terhadap dokumen ini. Islam sendiri bergerak menanggapagi peristiwa Abu Dhabi. “Kita semakin yakin bahwa itu jalan yang benar yang diharapkan Tuhan. Karena semangat persaudaraan harus memenangkan perjuangan,” ujarnya.

Membangun NKRI
Beberapa bulan lalu, Kardinal Darmaatmadja menulis sebuah buku berjudul Umat Katolik Dipanggil Membangun NKRI. Kardinal melihat Indonesia dalam terang iman. Menurutnya, Roh Kudus yang berkarya di luar Gereja di antara bangsa-bangsa, itu berkarya juga di Indonesia. “Yang sangat menonjol, bahwa kita yang begitu banyak suku, budaya, agama, tahun 1908 muncul kebangkitan bangsa, sadar bahwa kita ini bangsa,” ujarnya.

Buku itu memberi contoh, beriman berarti juga tidak hanya menggereja, soal mengimani Yesus Kristus, tetapi bagaimana Allah, Roh Kudus, dan Kristus berkarya secara khusus di luar Gereja. Sangat penting bahwa umat Katolik tahu sejarah Gerejanya, yang juga dipimpin oleh Roh Kudus. Tahu sejarah Gerejanya dalam kebersamaan mengarungi sejarah sebagai Bangsa Indonesia.

Kardinal Darmaatmadja mencerminkan ada dua arus pimpinan Roh Kudus, lewat Gereja langsung dan lewat di luar Gereja, menuju kemerdekaan berdasarkan Pancasila. Sehingga, menurutnya, Pancasila sebenarnya mencerminkan keluhuran cita-cita, dan keluhuran cita-cita ini tidak ada yang bertentangan dengan Iman Katolik. “Bahkan seandainya tidak ada Pancasila pun, umat Katolik seharusnya menghayati Ketuhanan, berarti beriman kepada Yesus Kristus, menghormati sesama bangsa, menghormati kemanusiaan yang adil dan beradab, dan sebagai bangsa harus berbuat begitu rupa, sampai ada kesejahteraan umum yang merata,” paparnya.

Tak terasa, percakapan dengan Kardinal Darmaatmadja sudah berlangsung satu jam lebih. Lembar demi lembar pemikirannya sudah ia sampaikan. Saat suara beberapa umat mulai terdengar dari luar ruang tamu, kami menyudahi obrolan. Kami pun beranjak menyapa beberapa orang yang berada di luar. Sejenak, kesejukan angin pegunungan menerpa hari yang semakin siang.

Antonius E. Sugiyanto

HIDUP NO.46 2019, 17 November 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here