Santo Gonzaga Gonza (†1885) : Pelindung Para Wisatawan

226
Beberapa umat mengunjungi Museum Para Martir Uganda.
[martyruganda.org]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Gonzaga Gonza adalah pejuang sejati yang tak pernah menolak imannya meski nyawa taruhannya. Ia menjadi pelindung para wisatawan.

Gereja Uganda bisa berkembang pesat bukan sebuah kebetulan. Semua itu terjadi lewat proses iman yang panjang. Tatkala kunjungan Paus Fransiskus ke Uganda, November 2015 lalu, sebuah tulisan, “Uganda: Tanah para Martir” terpampang di halaman Katedral Para Martir Kampala, Uganda.

Tulisan ini mengingatkan perjuangan para martir yang gugur di zaman Raja Mwanga II. Sikap Raja Mwanga II bertolak belakang dengan sikap sang ayah, Raja Mutesa I. Raja Mwanga II yang merupakan penganut agama tradisional Buganda enggan menerima Kekristenan. Ia menganggapnya sebagai agama penjajahan.

Kebencian kepada orang Kristen berujung pada kematian sejumlah martir. Dalam buku Sejarah Gereja Uganda, Uskup Kotido, Uganda, Mgr Giuseppe Fillipi MCCI merilis, sedikitnya 25 martir Uganda yang tewas karena kekejaman Mwanga. “Di antara mereka adalah para remaja yang menjadi pelayan di istana raja,” tulis Mgr. Fillipi.

Pembunuhan pertama orang Kristen diawali oleh tiga orang Kristen Anglikan pada 31 Januari 1885. Mereka adalah Yusufu Rugarama, Makko Kakumba, dan Nuah Serwanga. Tanggal 29 Oktober 1885, Raja Mwanga II juga memerintahkan membunuh Uskup Anglikan, Mgr. James Hannington yang dianggap memihak barat. Setelah itu, kematian demi kematian dialami umat Kristen.

Dari sekian mereka ada seorang anak dari Suku Musoga (Busoga), sebuah suku yang sekarang mendiami wilayah Kotido yaitu Santo Gonzaga Gonza. Dia dibunuh dengan cara ditusuk dengan tombak di Mukujanga, tanggal 27 Mei 1885.

Anak Pemberani
Nama Gonzaga ini diberikan sesuai dengan nama sang ayah, Hoseop Gonza, dari keluarga Zibondo. Dengan nama ini, ada banyak harapan yang diletakkan di atas pundah Gonzaga. Di pihak keluarga sang ayah, Gonzaga adalah cucu pertama.

Terkait nama ini, beberapa sumber menyebutkan, bahwa nama ini diberikan oleh Pastor Gonzaga, seorang imam The Society of Missionaries of Africa (White Fathers). Konon Pastor Gonzaga pernah bertugas di wilayah Ttabazimu, Provinsi Mawokota, dan wilayah suku-suku Musoga tahun 1868.

Terkait asal-usul Gonzaga, Mgr. Fillipi menulis, “Setidaknya sang kakek yang berasal dari Bulamogi, berharap bahwa Gonzaga dapat menjadi pelindung klan mereka dari suku-suku lain. Ini tanggung jawab yang berat karena disisi lain, Gonzaga adalah seorang yang membenci kekerasan.”

Karena mendapat perlakuan yang istimewa dalam keluarga, Gonzaga kecil sangat dimanja. Kendati demikian, ia menolak semua perhatian berlebihan dari keluarga. Ia terbiasa berburu dan berladang. Ia menghabiskan hari-hari di hutan, menemani Hoseop dan kakeknya. Ia bisa memasang jerat, menangkap ikan di sungai, menombaki binatang-binatang kecil seperti kelinci. Menjelang matahari terbenam, Gonzaga dilatih sang ayah agar terampil menggunakan tombak dan pedang. Ia sangat mahir dalam menggunakan senjata.

Pernah suatu ketika, saat di hutan, seekor badak bercula menanduk ayahnya hingga terluka. Gonzaga yang menyadari kejadian itu sontak mengambil tombak dan melemparkannya tepat di atas kepala badak tersebut. Kebiasaan di masyarakat Musoga, bila menombakki badak, hendaknya berdiri di atas pohon agar terhindar dari tandukkan badak. Tetapi Gonzaga tidak melakukan hal itu. Ia menentang maut dengan berdiri di tanah sambil melempar tombak ke kepala binatang itu. Badak itu pun mati karena kehabisan darah.

Peristiwa ini lantas menjadi buah bibir di tengah masyarakat Musoga. Mereka menyebutnya sebagai anak pemberani. Sebagian lagi memanggilnya penakluk hutan, pawang binatang, “badak kecil”, dan sebutan lainnya.

Rupayanya cerita heroik remaja 16 tahun dari Musoga ini terdengar hingga ke telingah Kasoma Tegusaaga Bulusi, panglima kerajaan yang bertugas mencari para remaja menjadi pelayan di istana. Dengan berbagai tawaran yang menarik, keluarga Gonzaga mengizinkan remaja ini melayani raja.

Kemarahan Mwanga
Peranggainya yang sederhana tetapi bersahaja membuat Raja Mwanga II terkesan kepada Gonzaga. Ia menjadi orang penting di kerajaan karena diminta membersihkan kamar raja. Biasanya, para pelayan baru tidak diizinkan melayani di ruang pribadi raja. Mereka biasanya mendapat tempat “terluar”, seperti dapur, membersihkan ruangan, atau halaman istana.

Dia melayani bersama saudara sekampungnya Joseph Mukasa. Dalam pelayanan itu, Gonzaga pelan-pelan mulai tertarik kepada agama Kristen yang diajarkan oleh Mukasa, yang telah dibaptis oleh Pastor Simon Lourdel di Stasi Misi Nalukolongo tanggal 17 November 1885. Kedekatannya dengan Mukasa membuatnya mulai belajar berdoa dan membaca kitab suci.

Sementara itu, di luar kerajaan, para imam White Fathers semakin gencar memberitakan kekristenan. Mendengar peristiwa ini, Raja Mwanga II menjadi sangat marah. Ia merasa ada pencaplokan kekuasaan dari orang-orang kulit putih (barat). Mwanga menjadi cemas, kalau-kalau kekuasaannya jatuh di tangan orang asing.

Kecemasan ini berpuncak dengan pembunuhan Mukasa. Dari kesaksian tentara istana, Raja Mwanga II mengetahui, bahwa sebagian besar para pelayan istana sudah menjadi Kristen. Ia juga tahu, bahwa sebagian lagi sedang dipersiapkan menjadi katakumen, termasuk Gonzaga.

Berita lain yang membuatnya jengkel adalah kesaksian beberapa pelayan yang sudah menjadi Kristen seperti Achileo Kiwanuka, Adolofu Mukasa Ludigo, Ambrosio Kibuuka, Anatoli Kiriggwajjo, Anderea Kaggwa, Antanasius Bazzekuketta, Bruno Sserunkuuma, Karolus Lwanga, dan Denis Ssebuggwawo. Mereka bersaksi, bahwa tidak akan melepaskan iman meski maut jalan terakhir. Mereka siap menghadang maut demi bersatu dengan Kristus.

Kematian Mukasa dianggap teguran keras Raja Mwanga II kepada para pelayan yang lain. Meski baginya, bagi Gonzaga, kematian Mukasa adalah berkat tersendiri bagi jalan panggilannya darinya, Gonzaga mengenal Kristus.

Kecintaannya pada Kristus diikuti dengan ragam penolakan. Gonzaga menolak perintah raja untuk bekerja di hari Minggu. Ia lebih memilih mengikuti Misa di luar istana. Ia berpikir, hari Minggu adalah hari untuk Tuhan, maka segala pekerjaan hendaknya ditiadakan. Pada hari Minggu, ia sering mengajak beberapa rekannya, seperti Mathias Mulumba Kalemba, Luke Baanabakintu, Noa Mawaggali, Mbaaga Tuzinde, Gyaviira, dan Adolf Mukasa Ludigo, untuk membaca kitab suci di bilik mereka. Tidak saja satu dua jam, aktivas ini bisa seharian.

Tombak Kemartiran
Penolakan ini membuat Raja Mwanga II naik pitam. Setelah Mukasa, mulailah masa pembunuhan secara keji terhadap para pelayan istana. Tragedi berikut yang menyayat hati James adalah kematian Mwafu, seorang katekis belia.

Raja Mwanga II meminta Gonzaga agar melepaskan kepercayaan barunya itu. Tetapi Gonzaga menolak dengan berkata, “Saya sudah terbiasa menderita kesakitan. Saya seorang pejuang dan sampai mati, saya akan memperjuangkan apa yang saya anggap benar. Kristus adalah kebenaran itu,” ujar Gonzaga.

Raja Mwanga II memerintahkan untuk membunuhnya dengan cara ditombaki. Ia meninggal sebagai orang kesepuluh yang dibunuh raja Mwanga. Setelah kematiannya, tercatat sekitar 25 martir gugur di Uganda, dan 22 orang dibunuh antara tahun 1885 dan 1887. Dua orang lagi dibunuh di Paimol, Uganda Utara tahun 1918. Kebanyakan dari 24 martir itu adalah para hamba di istana raja.

Para martir yang dibunuh itu digelari venerabilis pada 29 Januari 1920 oleh Paus Benediktus XV. Para martir ini dibeatifikasi pada 6 Juni 1920 oleh Paus yang sama. Paus Paulus VI pada 18 Oktober mengkanonisasi mereka. Gereja mengenang mereka setiap 27 Mei-3 Juni. Santo Gonzaga Gonza diangkat sebagai pelindung para wisatawan.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP NO.52 2019, 29 Desember 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here