Senandung Toleransi dari Kampung Pancasila

102
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Dari gerbong MRT sampai Kampung Pancasila, kaum muda menggaungkan semangat toleransi agar kesatuan bangsa dan negara tetap utuh terjaga.

Lagu “Yaa Lal Wathan” berkumandang di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta Selatan, 19/12. Lagu ini
biasanya dinyanyikan oleh para santri Nahdlatul Ulama (NU). Tetapi pagi ini, bukan hanya anggota Banser Jakarta Selatan yang menyanyikan “Yaa Lal
Wathan” dengan tangan mengepal ke atas, Komunitas Alumni Santa Maria Surabaya
(Semut Ijoers), tidak kalah semangat menyanyikan lagu ciptaan K.H. Wahab Hasbullah ini.

Salah satu anggota Banser, Fuad mengatakan bahwasanya lagu “Yaa Lal Wathan” merupakan lagu yang difatwakan oleh salah satu pendiri NU, K.H. Hasyim Asy’ari. Waktu itu, Fuad menjelaskan, kejadian di Surabaya, yang sekarang diperingati dengan Hari Pahlawan, keluarlah fatwa ini. “Mencintai tanah air dan membela negara itu hukumnya wajib dan sebagian dari iman dan meninggal dalam kedaulatan negara hukunya jihad,” ungkap Faud.

Sebelumnya, Komunitas Semut Ijoers juga berkolaborasi dengan Sejati Choir meramaikan Stasiun MRT Blok B BCA, Jakarta Selatan di pagi hari dengan lagu-lagu Natal. Membawa semarak menyambut Sang Juru Selamat, mereka tidak sekadar memakai aksesoris Natal. Dengan berdandan berciri khas Nusantara, tidak sedikit yang mengenakan kebaya, kemudian mengenakan
balutan ulos sampai memakai udeng. Semarak itu pun dibawa hingga gerbong-gerbong MRT.

Model Toleransi
Menggunakan transportasi ikonik Ibu Kota MRT dan Transjakarta rombongan melaju menuju Kampung Pancasila. Kampung Sawah dikenal memiliki ciri khas adanya sikap toleransi beda
agama antar warga. Sikap ini semakin penting melihat kondisi bangsa yang kian carut marut dengan paku tajam radikalisme yang menyobek jantung Pancasila. Diskriminasi dan aksi kekerasan terhadap minoritas baik dalam segi agama dan
suku bangsa di Indonesia melukai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Terlebih tercatat provinsi Jawa Barat di daulat menjadi wilayah dengan tindak intoleransi tertinggi.

Di tengah naungan limbah intoleransi itu, Kampung
Sawah memberikan oase kebangsaan guna melawan tren pencederaan hak beragama. Kampung Sawah menawarkan wisata religi dengan melihat tiga tempat ibadah tertua dengan jarak sekitar 80 meteran satu sama lain, yakni: Gereja Katolik Santo Servatius Paroki Kampung Sawah,
Gereja Kristen Pasundan, dan Masjid Agung Al-Jauhar Yayasan Pendidikan Fisabilillah (Yasfi). “Kami ingin menjaga api toleransi tetap menyala di
tengah bangsa,” tutur ketua panitia, Riana Janarti.

Rombongan dari berbagai komunitas yang bermayoritaskan Kristen dan Katolik ini pun akhirnya memilih untuk mengunjungi Masjid Agung Al-Jauhar. Di tempat ini, rombongan bersama tiga narasumber: pemimpin Masjid Agung, K.H. Rahmaddin Afif atau yang akrab disapa Abah, aktivis Paroki Kampung Sawah, Matheus Nalih, dan wakil pemerintahan Kota Bekasi, Andy Frenky mengulik resep rahasia awetnya toleransi di wilayah ini. Dengan gaya sederhana Abah berpesan bak ayah kepada anak agar senantiasa menjaga dialog. Komunikasi menjadi kunci utama untuk menepis bias-bias kecurigaan.

Pernyataan itu diamini oleh Matheus yang akrab
disapa Mathe. Ia menjabarkan kunci komunikasi bertumpu pada tiga hal: agama, budaya, dan sosial. “Berkomunikasi dengan tulus dan mau ikut
serta merasakan keresahan masyarakat adalah kunci utama,” tegasnya.

Karina Chrisyantia/Felicia Permata Hanggu

HIDUP NO.01 2020, 5 Januari 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here