Kontemplatif yang Sekaligus Karismatik

945
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Karunia Roh Kudus tidak pernah berhenti tercurah bagi manusia. Kehadiran Pertapaan Karmel Ngadireso ingin membantu setiap orang untuk mampu merasakan curahan Roh itu.

Suster Justini, P.Karm masih mengingat, apa yang disampaikan Romo Yohanes Indrakusuma, CSE pada masa-masa awal kehidupan di Pertapaan Karmel Ngadireso, Malang Jawa Timur. Saat itu, anggota komunitas tidak terlalu banyak. Kehidupan sebagai pertapa juga bukan sebuah cara hidup yang mudah. Lagi, keberadaan mereka dengan cara hidup yang khas kontemplatif karismati itu juga mendapat tantangan, bahkan dari kalangan Gereja Katolik sendiri.

Apa yang disampaikan Romo Yohanes saat itu, diingat benar oleh Suster Justini, ada keragu-raguan dalam kata-kata itu. Dalam sebuah pertemuan dengan anggota-anggota awal Kongregasi Putri Karmel itu, sang pendiri bertanya, bagaimana kalau kehidupan yang mereka rintis itu, akhirnya tidak bisa dilanjutkan. “Bagaimana kalian
mau terus atau tidak?” begitu kenang Suster Justini mengingat kata-kata Romo Yohanes.

Peristiwa itu terjadi ketika kehidupan pertapa yang mereka rintis mendapat tantangan dari otoritas Gerejani di Malang. Suster Justini pun menjawab keraguan itu. “Saya bilang, kalau di tutup ya saya pulang, kalau terus ya saya terus saja,” kenangnya.

Suster-suster Awal
Di Ngadireso, Romo Yohanes memulai kehidupan sebagai pertapa seorang diri. Sampai pada awal tahun 1982, datang dua orang suster yang sebelumnya telah menjadi biarawati dalam suatu kongregasi yaitu Suster Melani, Suster Maria. Bersama mereka, bergabung juga seorang gadis
bernama Luki. Beberapa bulan berikutnya, pada Hari Raya Pentakosta, bergabung dua orang gadis, yang terakhir ini akhirnya bergabung menjadi Putri Karmel yaitu Suster Justini dan Suster Marrieta,
P.Karm. “Jadi saya termasuk angkatan yang pertama ini,” Suster Justini menceritakan.

Perjalanan memulai sebuah kongregasi bukanlah sebuah kisah yang mudah. Suster Justini mengenang, di awal kehidupan komunitas belum ada anggaran dasar juga konstitusi. Saat itu, suster-suster yang bergabung hanya mengikuti saja keseharian yang dijalankan Romo Yohanes.

Suster Justini juga mengingat, sebetulnya ketika ia ingin bergabung dengan Putri Karmel, beberapa temannya tidak begitu setuju. Mereka mendesaknya, mengapa tidak bergabung dengan sebuah kongregasi yang sudah mantab terbentuk
saja. Namun, ia tetap pada pendiriannya, ia ingin mengikuti cara hidup yang dijalankan Romo Yohanes. “Saya kepingin menghayati aja cara hidupnya, berdoa, lebih mengenal Tuhan dengan semakin mendalam,” ujarnya.

Jalanan Ngadireso pada tahun 1982 masih berupa jalanan tanah dan batu. Tanah yang saat ini berdiri menjadi pertapaan masih berupa tanah kosong.
Suster Justini menuturkan, Romo Yohanes yang memikirkan pembangunan pertapaan ini. Meski, Suster Justinimengikuti setiap proses yang ada, hingga akhirnya pertapaan dapat berkembang seperti sekarang ini.

Perlahan namun pasti, pengakuan Gereja Keuskupan Malang kepada keberadaan Putri Karmel pun semakin mantab. Suster Justini mengenang, baru ketika Mgr. Herman Joseph Sahadat Pandoyoputro, O.Carm memimpin keuskupan saat itu, Putri Karmel mendapat status sebagai Associatio Privata pada 2 Februari 1992.

Tiga periode Suster Justini melayani sebagai Pelayan Umum Putri Karmel dari tahun 2002 hingga 2014. Putri Karmel melebarkan sayap dengan membuka komunitas-komunitas baru yang dimulai dari Ruteng, Nusa Tenggara Timur pada tahun 1992. Kini Putri Karmel memiliki juga komunitas internasional, di antaranya di Malaysia, Vietnam, dan Amerika Serikat. Dengan perkembangan ini, Suster Justini hanya bisa mensyukuri kemurahan Tuhan ini. “Ini kehendak Tuhan, dan kini bisa berkembang seperti saat ini,” pungkasnya.

Banyak Sarana
Saat mendapat tugas belajar di Roma, Italia, Suster Marrieta kuliah di Institute Regina Mundi yang masih afiliasi dari Universitas Gregoriana yang dikhususkan untuk para suster. Tugas utamanya adalah belajar teologi hingga meraih gelar diploma
dalam bidang religius. Ia butuh waktu tiga tahun untuk meraih gelar ini.

Setiap liburan musim panas, Suster Marrieta menggunakan masa ini untuk mendalami cara berdoa ovisi Ritus Timur. Untuk tujuan ini, ia harus ke Prancis belajar bahasa. Dengan bekal bahasa ini, ia belajar cara berdoa Ritus Timur di komunitas-
komunitas biara di Prancis.

Suster Marrieta menuturkan, cara berdoa ini sebenarnya adalah cara berdoa yang digunakan di dalam Gereja Ortodoks, yang telah diadaptasi ketika digunakan di dalam komunitas-komunitas biara Katolik Roma di Prancis. “Komunitas ini juga
merupakan komunitas karismatik yang baru muncul akhir-akhir itu di Prancis,” timpalnya.

Setelah pulang ke Indonesia, Suster Marrieta pun menyiapkan doa ovisi ini untuk digunakan dalam komunitas Putri Karmel. “Doa ini kami gunakan hingga saat ini,” ujarnya.

Cara hidup membiara dengan menggabungkan semangat kontemplatif dan karismatik memang dirasa baru di Indonesia. Ada banyak sarana di dalam cara hidup Putri Karmel dan CSE yang
memungkinkan setiap orang dapat melatih diri dalam kehidupan rohaninya. “Cara hidup kontemplatif yang ada di sini, bisa saya katakan tidak ada di tempat lain di Indonesia,” katanya.

Ia mencontohkan, malam hari adalah waktu hening bagi para suster anggota komunitas. Sejak selesai makan malam adalah waktu silentium atau waktu hening. Sedangkan pada hari Senin, setiap anggota
hanya kerja setengah hari, sehingga sore hari dapat digunakan untuk waktu hening bagi setiap suster. “Artinya itu kesempatan untuk lebih banyak berdoa dan berefleksi,” ujarnya.

Setiap dua bulan, ada tiga hari rekoleksi komunitas. Sedangkan selama setahun sekali, diadakan juga retret komunitas selama delapan hari dan retret pribadi delapan hari. Selain itu, setiap empat tahun sekali sesudah kaul kekal, setiap suster masuk dalam “komunitas padang
gurun” selama satu bulan. Sesudah delapan tahun kaul kekal, setiap suster juga berkesempatan tinggal dalam “komunitas padang gurun” selama satu tahun, yang terakhir ini akan diulang setiap
delapan tahun. “Fasilitas untuk membina kehidupan doa semacam ini tidak ada di tempat lain. Ini yang bagi saya sangat-sangat bernilai,” papar Suster Marrieta.

Kesempatan ini, bagi Suster Marrieta, adalah sebuah keistimewaan. Ini adalah kesempatan yang sangat bernilai untuk membina kehidupan rohani. “Untuk hidup rohani ini, saya merasakan semua
berkelimpahan,” ujar Pelayan Umum Putri Karmel 2014-2018 ini.

Orang yang hidup di zaman ini kadang terbelenggu dengan aneka persoalan mereka. Suster Marrieta berpendapat, kuncinya ada pada iman yang hidup.
Perlu ada perjumpaan dengan Tuhan dan mampu menyadari kuasa Roh Kudus yang mampu menyadarkan batin manusia untuk dapat melihat bahwa Yesus dapat dijumpai di dalam setiap doa.

Kembali Menemukan Tuhan.
Saat ini, Putri Karmel dipimpin oleh Suster Petra, P.Karm yang terpilih menjadi Pelayan Umum sejak tahun 2018 lalu. Pada ulang tahun ke-40 tahun Pertapaan Karmel Ngadireso ini, Suster Petra mengatakan, peristiwa ini sungguh menggembirakan karena cara hidup yang awalnya dimulai oleh Romo Yohanes, dapat dihayati oleh
para suster dan akhirnya juga dibagikan kepada umat.

Visi misi Putri Karmel, adalah meng- alami terlebih dahulu kehadiran Allah dan kemudian membawa umat untuk mengalami hal yang sama. Suster Petra melihat, ada semakin banyak orang yang di
bawa untuk mengalami kehadiran Tuhan ini.

Perkembangan jumlah umat yang datang mengikuti retret dan camping rohani yang diadakan di Pertapaan Karmel Ngadireso cukup menunjukkan, di mana jumlahnya semakin bertambah.

Suster Petra menjelaskan, ada banyak persoalan yang dibawa oleh orang-orang yang datang ke pertapaan, banyak dari mereka yang akhirnya dapat menemukan lagi kehidupan mereka yang hilang.

Untuk itu, Suster Petra menjelaskan, setiap tahap pembinaan menyiapkan para suster untuk dapat menjadi pendamping umat menemukan kembali kebersamaan dengan Tuhan. “Arah pengajaran para suster untuk membimbing umat supaya dapat mengalami kehadiran Tuhan,” ujarnya.

Suster Petra menekankan, kekuatan pendampingan yang dijalankan di Ngadireso adalah Ekaristi, Doa Yesus, Lectio Divina, dan Adorasi. Ia menjelaskan,  masih ada lebih banyak pembicara yang  lebih baik dari mereka, namun yang membedakan pendampingan mereka adalah kegiatan-kegiatan rohani yang menyertai pendampingan ini. “Di dalam doa inilah umat mengalami secara pribadi kehadiran Allah,” urainya.

Membaca Tanda Zaman
Berdiri sejak 1986, Kongregasi Carmelitae Sancti Eliae (CSE) baru memiliki imam pertamanya pada tahun 2006. Dia adalah Romo Sergius Paulus, CSE. Ia ditahbiskan setelah 20 tahun kongregasi ini berdiri. Saat ini, Romo Sergius dipercaya menjadi Pemimpin Umum kongregasi yang juga didirikan Romo Yohanes ini.

Merefleksikan momen perayaan 40 tahun Pertapaan Karmel Ngadireso, Romo Sergius bersyukur karena selama ini baik Kongregasi Putri Karmel, Kongregasi CSE,  maupun KTM, dapat menjadi tempat di mana banyak orang menemukan kembali kehidupan mereka.

Ia menceritakan, ada begitu banyak orang, pasangan suami istri, orang muda, bahkan orang yang tidak beriman kembali menemukan Tuhan setelah datang baik ke Ngadireso maupun ke Lembah Karmel Cikanyere, Bogor, Jawa Barat.
“Ada banyak suami-istri yang hampir bercerai dan sudah pisah secara sipil datang. Setelah didampingi dan diberi peneguhan, mereka kembali menemukan Tuhan dan tidak jadi bercerai,” Romo Sergius bercerita.

Cara hidup yang awalnya dirintis Romo Yohanes, juga pertapaan-pertapaan yang didirikan, pada akhirnya berkembang menjadi sebuah oase rohani bagi banyak orang. Romo Sergius mengungkapkan, Lembah Karmel terbuka bagi siapa saja yang ingin berjumpa dengan Tuhan. Tak terkecuali bagi mereka yang tidak beriman. Setiap orang dapat datang dan menimba kekuatan rohani di tempat ini. “Bahkan seorang yang tidak beriman pun menemukan iman mereka di tempat ini,”
tambahnya.

Romo Sergius berharap, para anggota CSE dan Putri Karmel dapat membaca tanda-tanda zaman untuk menangkap kebutuhan Gereja dan dunia. Dengan ini, tarekat akan mampu memberikan karya pelayanan bagi dunia yang semakin modern ini.

Ia juga berharap, semakin banyak calon orang muda yang terpanggil menjadi Biarawan CSE dan Suster Putri Karmel. “Tidak hanya jumlah yang bertambah, namun kualitas kehidupan rohani mereka juga semakin dalam,” pungkasnya.

Semua berjalan seolah-olah secara spontan. Romo Yohanes mengaku, sejak awal tidak pernah merencanakan membentuk Putri Karmel, CSE, dan KTM. Namun, cara hidup kontemplatif yang ia mulai di Ngadireso, akhirnya menginspirasi begitu banyak orang. Sebagian dari mereka berkumpul untuk lebih dalam menjalani cara hidup ini.

Atas berkat ini, Romo Yohanes berharap semakin banyak orang dapat mengalami kasih Tuhan di pertapaan ini. “Inilah yang dibutuhkan manusia. Karena di zaman ini, banyak manusia kehilangan tujuan hidup. Di tempat ini, mereka boleh merasakan kasih Tuhan itu.”

Antonius E. Sugiyanto

HIDUP NO.03 2020, 19 Januari 2020

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here