Romo Yohanes Indrakusuma CSE : Hanya Alat Kecil Allah

3227
3.2/5 - (12 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Romo Yohanes menganggap dirinya hanya alat kecil Allah. Semua yang ia kerjakan dan bangun sebagai karya Allah sendiri dan bukan karyanya.

Hidup sebagai pertapa yang dimulai Romo Yohanes Indrakusuma, CSE sejak 7 Desember 1979 di Pertapaan Karmel Ngadireso, Malang, Jawa Timur kini telah melahirkan juga Kongregasi Suster Putri Karmel dan Kongregasi Klerikal Carmelitae Sancti Eliae (CSE). Tidak hanya itu, berakar dari semangat ini, Romo Yohanes juga membentuk Komunitas Tritunggal Mahakudus (KTM) sebagai wadah bagi umat untuk mengalami
karunia pembaruan iman untuk mencapai kepenuhan hidup Kristiani.

Memperingati delapan windu Pertapaan Karmel Ngadireso, HIDUP berkesempatan berjumpa dengan Romo Yohanes untuk mendengar refleksinya melihat perkembangan kongregasi yang ia dirikan. Ia menganggap dirinya hanya sebagai “alat kecil” di dalam karya Tuhan yang besar itu. Ia memang yang pertama memulai karya
ini, namun ia meyakini, Tuhan yang akan terus merawatnya.

Tahun 2019 menandai 40 tahun, Romo Yohanes menjalani hidup sebagai pertapa di Pertapaan Karmel Ngadireso. Selama itu juga, ada banyak buah yang telah dihasilkan, Kongregasi Putri Karmel, Kongragasi CSE, dan juga KTM. Apa yang menjadi semangat awal Romo memilih cara hidup ini?

Sebenarnya awalnya bukan di Ngadireso namun di Ngroto. Mula-mula saya mengajukan permohonan kepada Provinsial Karmel, karena saya sebagai anggota Karmel. Awalnya memang ada beberapa anggota Karmel yang tidak setuju dengan ini. Keinginan saya tidak ada untuk mendirikan suatu serikat. Saat itu saya hanya meyakini, bahwa hidup bertapa, hidup menyepi ini sesuai dengan kehidupan Karmel, maka saya mohon diperkenankan untuk tinggal di tempat yang sunyi.

Pimpinan saat itu menyetujui. Saat itu saya memulai cara hidup ini berdua dengan Romo Veerbek (Romo Cyprianus Veerbek OCarm-Red). Lagi, saat itu saya masih menjadi dosen di STFT Widya Sasana, sehingga seminggu sekali, saya masih harus ke Malang untuk mengajar.

Tujuan saya menjalani kehidupan pertapa ini, saat itu sama sekali bukan untuk mendirikan sesuatu, saya hanya kepingin tinggal dalam keheningan. Kalau toh terjadi semua ini (berdiri Putri Karmel, CSE, dan KTM-Red) ini semua rencana Tuhan.

Setelah beberapa saat di Ngroto, Romo akhirnya pindah ke Ngadireso. Adakan tantangan atau kekawatiran yang Romo rasakan saat mulai kehidupan di Ngadireso?

Ada saat yang menentukan sekali. Saat saya berencana pindah dari Ngroto ke sini (Ngadireso-Red) ada banyak yang tidak setuju karena tempat ini kurang aman, ada imam dan juga umat yang
mengingatkan hal ini. Bahkan, ada yang mengatakan “Nanti kamu dibunuh,” dan
sebagainya.

Suatu saat saya berkonsultasi dengan Romo Tedjo O.Carm, Pastor Paroki Trinitas Tumpang. Ia mengatakan, “Kamu itu katanya orang Kristen kok takut mati.” Saya pun kaget, namun benar juga, sebagai orang Kristen mengapa harus takut mati?
Maka saat itu saya mengambil keputusan, saya pasrah, saya berdoa, “Kalau kehendak-Mu saya harus pindah ke Ngadireso, maka terjadilah.” Maka sejak itu kegelisahan saya hilang. Dari situ saya mengerti ini adalah kehendak Tuhan.

Setelah sekitar dua tahun Romo menjalani hidup menyepi di Ngadireso, kemudian lahir Putri Karmel. Bagaimana awal mulanya?

Tahun 1982, ada dua orang suster dari serikat lain dan seorang gadis yang mendesak saya untuk mengikuti cara hidup ini. Mereka diterima oleh Provinsial Karmel saat itu, Romo J.C.D. Poespowardojo, OCarm dengan diberikan jubah Karmel. Sekitar dua bulan kemudian, bergabung
dua orang suster lagi.

Dua tahun setelah masa awal ini, saya juga dibantu oleh Suster Yosefa, FSGM dari Pringsewu, Lampung untuk mengajarkan dasar-dasar cara hidup religius kepada suster-suster pertama itu
selama dua tahun. Setelahnya suster itu pulang ke lampung lagi. Namun, sejak itu mereka sudah bisa hidup sebagai religius.

Kongregasi CSE lahir pada ta­ hun 1986, bagaimana awalnya?

Sebenarnya mulainya tahun 1985, ada tiga pemuda datang ingin bergabung. Sebenarnya mereka ingin bergabung dengan Ordo Karmel namun tidak bisa. Setelah banyak pemikiran akhirnya diputuskan mereka membentuk komunitas sendiri yang dimulai pada 20 Juli 1986.

Lalu bagaimana dengan KTM?

Saat itu saya kebetulan anggota Badan Pelayanan Nasional Pembaruan Karismatik Katolik. Saya melihat di dalam persekutuan-persekutuan doa perlu ada semacam komunitas yang ada pembinaan yang lebih terarah agar mereka bisa berkembang sebagai orang Kristen. Kemudian ada inspirasi untuk membentuk KTM itu.

Putri Karmel, CSE, dan KTM, sangat kuat memiliki karakter Pembaruan Karismatik. Apa sebenarnya semangat yang men­ dasari ini, Romo?

Saya memang waktu itu seorang Karmelit dan tersentuh oleh Pembaruan Karismatik. Saya sebagai imam, saya mempelajari Karismatik lebih dahulu dari segi teologisnya. Jadi saya sebagai seorang Karmel dan juga Karismatik. Waktu saya
memulai di sini (di Ngadireso-Red), saya tetap memegang semangat Karmel tapi juga menggabungkan dengan semangat Karismatik. Saat para suster bergabung di sini, saya juga mengajarkan semangat Karmel namun juga sepontan menggabungkan dengan semangat Karismatik, jadi tidak direncanakan sebelumnya.

Romo dulu sebagai seorang Karmel juga mendalami spiritualitas St. Yohanes dari Salib dan St. Theresia dari Kanak-Kanak Yesus. Apa nilai yang bisa diambil dari ajaran mereka dan bagaimana ini di­ satukan dengan Pembaruan Karismatik?

Semuanya sepontan saja. Saya sebagai seorang Karmelit hidupnya lebih ke arah Karmelit. Sejak saya menjadi frater saya sudah mendalami Yohanes dari Salib. Namun saya juga menemukan peranan Roh Kudus dalam Pembaruan Karismatik, dari situ kemudian digabungkan. Dalam buku Yohanes Salib, itu penuh dengan peranan Roh Kudus. Namun menjadi sesuatu yang baru, melalui pencurahan Roh, orang mengalami kehadiran Allah, mengalami kasih Tuhan.

Satu yang menjadi ciri khas kehidupan Putri Karmel, CSE, dan KTM adalah Bunda Maria yang
juga menjadi teladan dalam cara beriman. Bagaimana Romo menjelaskan ini?

Peranan Bunda Maria sebagai Bunda Penyelamat. Ia dipakai Tuhan untuk mewartakan Kerajaan Allah. Dia dipilih sebagai Bunda Allah, Maria mengantar orang kepada Yesus. Maria bukan tujuan, ia seperti para kudus yang lain. Ia juga
menjadi alat Tuhan untuk membawa orang kepada Tuhan.

Kini, Pertapaan Karmel Ngadireso sudah berusia 40 tahun. Bagaimana Romo merefleksikan titik ini?

Kalau saya refleksi, ini karya Tuhan, saya hanya alat kecil di dalam Tuhan. Ini bukan karya saya. Kadang ada orang bertanya, “Bagaimana kalau nanti romo meninggal?” lalu saya menjawab, kalau ini karya Romo Yohanes, kalau meninggal ya bubar. Kalau ini karya Tuhan, Yohanes akan meninggal namun Tuhan tetap hidup.

Untuk umat Katolik, yang paling penting harus terus berpaut kepada Yesus dan harus bisa membedakan antara isi dan bungkusnya. Jadi artinya, mana yang pokok dan mana yang tidak, dan di atassegalanya, mengutamakan kasih, kasih
kepada Tuhan dan kasih kepada sesama. Kemudian terbuka kepada karisma-karisma, namun karisma ini bukan tujuan, karisma hanya sarana. Yang inti dari semua adalah mengasihi Allah dengan segenap hati dan mengasihi sesama.

Antonius E. Sugiyanto

HIDUP NO.03 2020, 19 Januari 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here