Tolong Aku, Cintai Aku

200
3.5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Penyebab gangguan  mental beragam. Umumnya seseorang menerima penolakan dan tidak dicintai.

Sesosok berperawakan tinggi besar itu terlihat murung ketika menapaki jalan panjang menuju salah satu ruang diskusi film pendek di sebuah Universitas Katolik di Jakarta. Ketika berjalan, matanya hanya memandang lurus mengikuti arah jalan dan tidak ada yang membuatnya bergeming. Belum lagi setiap orang yang memandang kagum dengan sosoknya karena memiliki ciri kaukasian. Namun penampilan fisik khas bule ini tidak serta
merta membuatnya mudah diterima. Patrick Matthew Godlee banyak menerima bullying lantaran penampilan fisiknya yang berbeda dari kebanyakan anak Indonesia.

Remaja 19 tahun ini membeberkan, sejak duduk di bangku TK Patrick sudah menerima perundungan. Teman sekelasnya senang menertawakannya, ketika ia minta izin untuk pergi ke toilet. Menginjak bangku SMP, ia pernah mendapatkan pukulan di perut. Teman sekolahnya pun kerap lari, ketika melihat sosoknya. Itu membuat seolah Patrick seperti monster.

Dalam suasana kelam itu, tidak ada yang menemani Patrick bermain atau berceloteh layaknya anak sebayanya. Rasa terasing membuatnya begitu terpukul. Hanya tangisan kepada ibunya yang mampu membuatnya lega. “Saya tidak punya teman. Semua orang memperlakukan saya buruk. Tapi saya bisa menerimanya karena saya doa kuat,” akunya.

Suatu hari, Patrick pernah memohon dengan sangat kepada teman-temannya, agar menghentikan perlakuan kasarnya itu, “Saya mohon berhentilah mem-bully saya,” ujarnya memelas dibarengi dengan tawa puas teman-temannya. Remaja yang suka melukis ini juga mengisahkan pedihnya ditinggalkan oleh sang ayah ketika ia masih bayi. Perasaan marah dan kesal campur aduk di benaknya. “Klo ketemu papa saya pengen nyampein saya kangen kamu,” ujarnya lirih.

Beranjak dewasa dalam keterisolasian, remaja berkacamata ini pun mulai merasa ada keganjalan di dalam dirinya. Pandangannya mulai sering kabur, akibat munculnya bayangan hitam yang kian lama kian membesar. Di bangku kelas dua SMP,
Patrick sering mendengar suara orang memanggilnya, “Permisi Patrick..Patrick..” dari arah depan kelas. Namun, tidak ada seorangpun yang memanggilnya.

Gangguan itu kian besar ketika tidurnya juga terusik. Patrick mengaku, sering mendengar suara ketokan dari arah jendela dibarengi dengan panggilan namanya. Akan tetapi, sekali lagi ia menemukan tidak ada orang di sana. Kondisinya semakin genting kala ia kehilangan kendali atas
dirinya. Ia mengamuk sejadi-jadinya. Melihat kondisi anak semata wayangnya ini, sang ibu pun langsung membawa Patrick ke psikiater.

Selama enam bulan, Patrick harus rutin datang ke psikiater. Hingga saat itu, ia sendiri belum tahu apa yang menimpanya dirinya. Sampai akhirnya kabar buruk itu sampai ke telinganya. Patrick dikatakan memiliki skizofrenia, sebuah gangguan mental yang terjadi dalam jangka panjang. Gangguan ini menyebabkan penderitanya mengalami halusinasi, delusi atau waham, kekacauan berpikir, dan perubahan perilaku. Penderitanya juga memiliki kesulitan membedakan kenyataan dengan pikirannya sendiri. Penyebabnya beragam, mulai dari kombi-
nasi genetika, lingkungan, serta struktur dan senyawa kimia pada otak yang berubah.
Penderitanya bisa mengidap ini selama bertahun-tahun bahkan seumur hidup.

Sayangnya, saat itu Patrick kecil masih belum mengerti tentang penyakit itu sampai akhirnya ia bergabung dengan Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI). Di sana, ia mendapatkan penjelasan secara untuh mengenai skizofrenia. Patrick juga memiliki tim pendukung sesama penderita yang siap membantu dan menopangnya.
Sampai saat ini, Patrick adalah penyintas skizofrenia. Ia tidak pernah putus asa. Ia selalu bermimpi untuk sukses agar bisa memiliki penghasilan sendiri dan membahagiakan ibunya.

Patrick juga mulai aktif mengampanyekan hentikan bullying. Ia mengutarakan harapannya, “Semoga kasus bullying di Indonesia semakin menurun dengan ada penangan dan pencegahan. Bagi mereka yang menghadapi bullying supaya bangkit lagi. Semoga pemerintah juga mengedukasi ke sekolah-sekolah, guru-guru juga
peduli sama muridnya tanpa membeda–bedakan,” ungkapnya polos.

Sementara itu, temannya, Ferry, lahir dari keluarga yang tak harmonis, 27 tahun silam. Semasa kecil, pertengkaran kedua orangtua menjadi makanan sehari-­harinya. Ayahnya yang gemar mabuk, bahkan tak berpikir dua kali untuk melampiaskan
emosinya kepada Ferry. Kekerasan yang ia lihat dan ia alami rupanya tidak sekadar tindakan di luar kontrol emosi sehingga melukai fisik.

Menginjak usianya yang ke-19, Ferry mulai mengalami depresi. Ia kerap berhalusinasi, mendengar bisikan-bisikan yang tidak nyata, dan muncul berbagai gejala gangguan kejiwaan lainnya. Tak jarang, ia mendengar suara-suara yang berbisik menyuruhnya menyayat nadi di tangannya. Ia juga menyadari, bahwa ia mengalami perubahan perilaku selama beberapa
waktu.

Beruntung, Ferry peduli pada dirinya sendiri dan didorong rasa penasaran, ia mencari tahu di internet apa sebenarnya yang ia alami. Ia akhirnya mengetahui, ia juga mengidap skizofrenia. Ia pun menemukan KPSI, berkumpul dan aktif di
perkumpulan ini hingga saat ini. “Waktu itu, saya mencari komunitas, orang-orang, yang sama seperti saya agar tak merasa sendiri,” kata warga Jakarta Timur ini.

Ferry terus berjuang untuk sembuh, dengan melakukan pengobatan medis dan terapi. Ternyata, depresi akibat pengalaman masa kecil menjadi penyebab utama ia mengalami skizofrenia. Meski menjalani pengobatan dan meyakini pertolongan Tuhan Yesus, Ferry masih sering mendengar bisikan-bisikan, yang menyuruhnya tidak mengonsumsi obat-obat yang diberikan padanya. “Ada suara yang berbisik, obat-obatan itu membunuh saya,” ujarnya. Setelah beberapa lama mengetahui kondisinya, Ferry meminta para orangtua untuk tidak bertengkar di hadapan anak-­anaknya. “Mungkin setelah besar nanti anak-anak tahu orang tuanya kurang cocok dan bertengkar. Tetapi jangan sampai itu terjadi
saat anak-anak masih kecil,” ujarnya.

Luka Terselubung
Gejolak itu timbul tenggelam di dalam benak Sara (nama disamarkan) ketika melihat seorang pengacara berpapasan di hadapannya. Hatinya berdegup kencang saat sang pengacara melemparkan senyum tipis ke arahnya. Sambil memegang cincin kawin yang terpasang di jari manisnya, ia pun memutuskan untuk menyapa pria yang baru ia temui itu. Obrolan menarik semakin mengakrabkan dua insan ini. Pengacara itu pun mengajak Sara untuk bertemu lagi keesokan harinya. Dengan antusias, ia pun menyambut undangan itu.

Esoknya, Sara dengan hati riang mencoba mengontak pengacara itu lewat telepon gengammnya. Namun, setiap kali hendak melakukan itu, asam lambungnya naik seolah meminta ia untuk mengurungkan niatnya itu. Sara pun mengurungkan niatnya dan memilih mengikuti
alarm dalam tubuhnya.

Tak lama berselang, Sara kembali bertemu seorang pengacara lain di sebuah kafe di salah satu kota besar di Pulau Kalimantan. Dari raut wajahnya, pengacara itu memiliki umur lebih muda dibandingkan dirinya. Ia begitu terpesona dengan sosok berjas hitam itu. Ketika pria itu beranjak,
Sara dengan sigap berlari ke arahnya. Pria itu kebingungan namun keraguan itu ditepis dengan senyum manis Sara. Singkat cerita, keduanya berkenalan dan saling menukar nomor kontak.

Selama seminggu, Sara rajin menghubungi pria itu. Anak perempuan pertamanya pun menangkap perilaku janggal ibunya. Ketika ibunya mandi, ia mengendap ke kamar ibunya dan mencuri lihat obrolan Sara dengan pria itu. Anaknya begitu terpukul sampai, ia tidak berani mengutarakan perilaku ibunya kepada anggota keluarga yang lain. Ia terus menyimpan peristiwa pahit itu di dalam hatinya.

Di lain pihak, Sara yang senang bercengkrama dan menjalin relasi terlarang dengan para pengacara ini terus melanjutkan aksinya. Namun, kebanyakan gagal ketika alarm tubuhnya bergejolak mengigatkannya. Sampai suatu hari, ia mendapati
anak perempuannya berteriak sambil mengurung diri. “Mama sakit…sakit,” teriaknya lirih dengan derai air mata. Sara pun langsung meminta putrinya untuk membuka pintu. Ketika didapatkan wajah sembap anaknya, ia pun langsung merangkul putri kecilnya itu.

“Mama kenapa tega sama papa?” ucapnya dengan isak tangis. Mendengar itu, Sara terkesiap. Tanpa tedeng aling-aling, anaknya langsung bertanya perihal pria-pria yang kerap ia hubungi. Sebelum putrinya mengetahui sisi gelap ibunya, Sara dikenal sebagai sosok ibu penyanyang keluarga dan religius. Ia selalu siap sedia ketika beberapa orang datang untuk meminta pertolongannya.

Terhenyak dengan pernyataan anaknya, Sara pun menangis tersedu-sedu. Kenangan masa kecilnya mulai menyeruak. Ia teringat akan pemandangan pahit, ketika ia melihat secara langsung ayahnya yang seorang pengacara, menjalin hubungan dengan pengasuhnya di rumah. Luka itu terus menganga dan meninggalkan bekas mendalam, hingga membawa alam bawah sadarnya untuk melakukan pembalasan ke setiap pengacara. Namun sebenarnya, ia benci tindakan ayahnya yang melukai hati ibu dan keluarganya.

Sadar akan tindakannya yang melukai keluarganya, Sara pun memutuskan untuk datang bertemu dengan psikolog. Ia sadar, ia harus membereskan perilakunya yang menyimpang. “Luka sekecil apapun yang menorehkan sakit di dalam batin harus segera dibereskan,” pesannya.

Lain kisahnya dengan Wita, 26 tahun. Ia cerdas, periang, dan supel. Namun, sorot mata yang penuh antusias dan ceria itu hilang saat ia menjalin kasih dengan pacarnya, Leo (bukan nama sebenarnya). Leo, delapan tahun lebih tua dari Wita, selain tampan, sangat religius, dan tenang. Keduanya bertemu dalam suatu komunitas di keuskupannya. Tak jarang, pulang kerja mereka bertemu di salah satu gereja untuk berdoa bersama.

Sayang, hubungan yang tampak manis ini hanya bertahan seumur jagung. Meski hanya 11 bulan, hubungan ini menyisakan depresi dan membuat Wita merasa tak berharga. Baru beberapa minggu bersama, Leo selalu mengirimkan foto perempuan-perempuan dengan tubuh yang atletis dan proporsional kepada Wita via pesan pribadi di Instagram. “Awalnya aku positive thinking, dia mau aku sehat, rajin olahraga. Tapi itu terjadi setiap saat dan aku merasa di-judge,” kisah Wita.

Setiap kali berkaca, Wita selalu mengeluh pada dirinya, kenapa dia tak mempunyai tubuh indah seperti yang diimpikan kekasihnya. Beberapa kali, saat ia berkenalan dengan teman-teman Leo, ia langsung merasa sangat minder dan kehilangan
rasa percaya diri. Sikap Leo padanya pun perlahan berubah. Leo kerap mengomentari penampilannya dan terutama tubuhnya. “Dia bilang aku kurang putih, kurang tinggi, kurang berisi, kurang ini, itu, dan semuanya soal penampilan,” keluh Wita.

Menginjak usia dua bulan pacaran, Wita mulai mengonsumsi obat peninggi dan penambah berat badan yang ia beli secara online. Meski tinggi badannya tidak menunjukkan perubahan sama sekali, berat badannya memberikan tanda obat itu
bekerja. Ia menjadi lebih sering makan. Namun, wajahnya yang tak biasa berjerawat menjadi berjerawat karena efek samping obat. Leo pun menjadi semakin kasar mengomentari fisiknya.

Wita menjadi sering melamun dan suka menyendiri. Ia semakin tak percaya diri, saat harus bergabung bersama teman-temannya yang penampilannya lebih menarik. Ia juga menjadi tak nyaman, bila dalam komunitasnya, ada perempuan
yang secara fisik masuk dalam kategori sempurna dalam standar Leo. Stres pun mulai menghantui Wita, membuatnya susah tidur, hingga mulai rutin mengonsumsi obat tidur. “Sering sekali aku mengeluh sama Tuhan dan merasa tak berharga. Lebih tepatnya aku tidak merasa cukup dengan apa adanya aku, merasa tak pantas,” ungkap Wita, Kamis, 23/1.

Wita pernah menceritakan apa yang ia alami kepada seorang teman di komunitas yang sama dengan dia dan Leo. Namun, reaksi temannya justru membuatnya semakin stres. Temannya tidak percaya Leo yang religius dan tak banyak bicara bisa seperti apa yang dituturkan. Justru Wita yang dituduh merasa insecure dan terlalu
melebih-lebihkan.

Sementara, hubungan tak sehat ini sempat membuat Wita menjadi pemurung. Di rumahnya sendiri, ia lebih suka menyendiri di kamar. Tidak seperti Wita yang dulu, sering menghabiskan waktu bersama adiknya, atau berkumpul bersama teman-temannya. Ibunya yang memperhatikan
perubahan perilaku ini, mengajak Wita berbicara. Butuh waktu sampai akhirnya dia mau terbuka.

Setelah putus dari Leo, ia mulai terbuka pada ibunya. Tak lama, sang ibu membawanya untuk konseling di Lembah Karmel di Cipanas, Jawa Barat. Konseling itu berlanjut melalui WhatsApp. Ia diajarkan untuk kembali mencintai diri sendiri sebagai citra Allah, dan menyibukkan diri dengan hobi-hobinya. Meski demikian, satu tahun setelah hubungan itu berlalu, tak jarang Wita masih merasa tak berharga dan tak pantas dicintai.

Hermina Wulohering/Felicia Permata Hanggu

HIDUP NO.05 2020, 2 Februari 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here