Melayani untuk Mengembalikan Kehidupan

2248
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Komunitas membantu para penderita gangguan kesehatan mental dan keluarganya untuk menemukan harapan kembali.

Aroma buku tua menyeruak ke cuping hidung ketika pintu kantor Pastoral Counceling Center (PCC) Keuskupan Bogor dibuka. Kantor PCC menempati ruang perpustakaan pribadi Uskup Emeritus Bogor, Mgr. Cosmas Michael Angkur, OFM. Ruangan ini terletak di depan Seminari Stella Maris Keuskupan Bogor.

PCC adalah suatu pusat pelayanan konseling pastoral yang melayani permasalahan psikologis umat dari sejak dalam kandungan hingga menjelang ajal menjemput. Didirikan oleh (Alm.) Romo Alfonsus Sebatu pada tanggal 30 Maret
2008 di Keuskupan Bogor. Romo Alfonsus yang menyelesaikan studi doktoral dalam bidang psikologi klinis di University of Philippines ini membentuk PCC sebagai bentuk keprihatinan akan banyaknya persoalan yang tidak bisa ditangani seorang diri.

Oleh karenanya, Romo Alfonsus memandang perlunya untuk mendidik awam sebagai tenaga terlatih melalui kursus konseling pastoral. Selain itu, PCC bertujuan membantu para imam dalam
melayani umat.

Pastoral Konseling
Meskipun Romo Alfonsus telah berpulang pada tanggal 12 Agustus 2013 lalu, tetapi semangat dedikasinya untuk membantu setiap orang, khususnya umat Katolik, agar jauh dari gangguan mental tetap hadir dalam PCC. Terhitung sebanyak
enam paroki telah memberikan ruang untuk PCC, yakni: Paroki St. Perawan Maria (Katedral), Paroki St. Fransiskus Asisi, Sukasari, Paroki Bunda Maria Segala Bangsa, Kota Wisata, Paroki St. Matheus,
Depok Timur, dan Paroki Keluarga Kudus, Cibinong.

Ketua bidang konseling PCC, Catharina Lauw saat ditemui di kantor PCC pada Selasa, 21/1, menjelaskan, umat yang datang beragam dan tak terbatas dari agama mana pun. “Banyak dari mereka datang dari keluarga Kristen, Muslim, dan Buddha. Semua kami layani dengan baik,” jelasnya.

Alumni angkatan pertama PCC ini juga berkisah, masalah konseling beragam. Dimulai dari masalah keharmonisan keluarga, komunikasi dengan anak,
pekerjaan, studi, psikologi perkembangan bahkan rusaknya gambar diri yang membawa seorang pribadi tidak percaya diri dan menghambat kesuksesannya. Ia menambahkan, kebanyakan konseli (orang yang datang untuk konseling) baru
datang setelah masalah membesar. Namun dalam setiap pendampingan ini, ia selalu menganggap semua kasus penting dan berat karena menyangkut jiwa manusia.

Sudah lama, Catharina rindu memiliki komunikasi yang baik dengan anak. Kerinduan inilah yang menjadi pendorong ia mengikuti PCC. Ia berharap mampu menerapkan pola asuh yang benar kepada
anak-anaknya. Keterusan, ia justru terus melayani dalam PCC setelah lulus kursus. Ia terus ingat petuah pendiri PCC agar menempatkan keluarga dulu sebelum menyerahkan diri dalam pelayanan.
“Kita tidak boleh meniadakan keluarga kita sendiri ketika pergi untuk melayani,” ungkapnya.

Catharina selalu hadir di kantor PCC setiap waktu pelayanan. Mulai dari hari Senin hingga Sabtu dimulai dari pukul 09.00 sampai 12.00 WIB. Ada atau tidaknya konseli, ia akan selalu berada di sana. Jika ada konseli yang hadir, proses konseling
akan berjalan sekitar satu jam. Konseli bahkan bisa hadir beberapa kali untuk menuntaskan permasalahannya.

Dua Metode
Catharina mengungkapkan, dalam pendampingan, PCC setidaknya memiliki dua metode terapi bagi penyembuhan luka batin. Keduanya adalah “Metode Berbicara dengan Allah” dan “Metode Emmaus”. Dari kedua nama ini jelas, unsur rohani sangat kuat menjadi latar konseling. Untuk itu, setiap konselor selalu mengawali kegiatan konseling dengan doa minta bimbingan Roh Kudus.

Di dalam Injil diceritakan, Yesus yang sedang bersedih di Taman Getsemani. Saat itu, Yesus berbicara kepada Bapa-Nya dan keluar dengan begitu tabah serta teguh menghadapi penderitaan salib yang akan Ia pikul (Lukas 22:41-46; Matius
26:39; Markus 14:34-36). Inspirasi dari kisah inilah yang menjadi dasar Metode Berbicara dengan Allah. Melalui metode ini, konseli dibawa dalam situasi relaksasi untuk menemukan Yesus. Saat bertemu Yesus, konseli mengutarakan isi hati dan
meminta rahmat untuk mengampuni orang yang telah melukai maupun situasi sulit yang ia hadapi.

Sedangkan, Metode Emmaus adalah metode yang Yesus gunakan untuk membuka mata dua murid dalam perjalanan ke Emaus. Selama konseling,
konseli akan dibawa kembali kepada situasi pahit yang dialami. Selanjutnya, konseli berusaha menghadapi kebenaran. Setelah menghadapi masalahnya, konseli akan meminta Yesus untuk menghadirkan gambaran yang penuh damai.

Internal Audit PCC, Indrawati Gunawan menambahkan, sebelum diadakan terapi, permasalahan konseli akan dipetakan dalam diagram empat kebutuhan dasar yakni: romansa, kemampuan bertahan hidup, uang, dan pengakuan. Pemetaan ini bertujuan agar konseli juga sadar akan kebutuhannya selama ini dan bisa mengkomunikasikan itu dengan orang terdekat.

Indrawati menjelaskan, setiap orang punya empat kebutuhan di atas. Untuk itu, setiap orang harus dapat mengelola kebutuhan itu sehingga tidak berlebihan yang berujung pada munculnya beragam permasalahan.

Dukungan Sosial
Dukungan Gereja untuk pendampingan gangguan mental memang sangat diperlukan untuk zaman ini, terutama di kota-kota besar, ketika tingkat aktivitas dan kemungkinan orang mengalami stres sangat tinggi. Di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) misalnya. Pelayanan dalam bidang ini di antaranya diwujudkan Komunitas Rahmat Pemulihan (KRP). Komunitas ini memberikan pelayanan bagi para
penderita gangguan mental dan mereka yang merawatnya (caregiver).

Clementine Titin Herlina dari Wilayah St. Thomas, Paroki Bidaracina, Jakarta Timur, Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) adalah ibu dari Patrick Matthew Godlee. Anak semata wayangnya ini sejak berusia 14 tahun telah mengidap penyakit
skizofrenia. Ia mengaku ada banyak faktor yang menyebabkan anaknya menderita skizofrenia seperti perundungan, ditinggal oleh sang ayah ketika masih kecil, dan mengalami kehilangan beruntun orang terdekat yang dikasihi karena tutup usia.

Sejak mengetahui fakta tentang anaknya, kehidupan Titin berubah total. Sebagai single parent, ia harus berjuang sekuat tenaga untuk mendampingi Patrick, baik secara ekonomi maupun emosional. Titin mengingat, ada kalanya sang anak kambuh, di situlah hatinya seakan tersayat.

Tidak sekadar rasa takut, sebagai ibu, ia juga khawatir akan masa depan anaknya. Beruntung, Titin menemukan komunitas yang dapat membantunya melewati masa sulit ini. Sudah dua tahun sejak 2018, ia bergabung dengan KRP. Ia bersyukur KRP menjadi alat Gereja untuk menjawab keprihatinannya. “Awalnya saya merasa
sendirian, tetapi dengan berkomunitas, saya bisa mendengar cerita mereka yang punya masalah sama dengan saya. Ini memotivasi dan menguatkan iman saya,” ungkapnya.

Titin juga berharap, Gereja semakin memberikan tempat kepada isu gangguan mental dan perhatian bagi keluarga yang memiliki masalah seperti ini. Setidaknya, Gereja dapat mengusahakan edukasi untuk memberi pengertian kepada masyarakat
dan para caregiver bagaimana merawat mereka yang menderita dengan gangguan jiwa (ODGJ). Terlebih lagi, ia berharap Gereja juga turut memikirkan masa depan ODGJ.

“Di Tahun Keadilan Sosial ini saya berharap Gereja mulai memikirkan masa depan ODGJ. Bisakah Gereja membuat atau memberikan pekerjaan yang lebih ramah ODGJ? Agar saat kambuh, mereka tidak serta-merta dipecat, tapi diberikan kesempatan lagi untuk kembali bekerja,” harapnya.

Peran sebuah komunitas dalam usaha menyembuhkan ODGJ rasanya sudah menampakkan hasilnya. Hal ini setidaknya terlihat dari rasa syukur yang diungkapkan Osse Kiki. Pada tahun 2008, Kiki mengetahui bahwa ia mengidap
skizofrenia. Awalnya, ia mengalami depresi berat saat itu. “Saya merasa sudah kehilangan harapan saat itu,” akunya.

Kiki bersyukur, yang awalnya bergabung dalam Komunitas Peduli Skizofrenia (KPSI) ia dapat menemukan kembali kehidupannya. Selanjutnya, sebagai salah satu wujud syukur, ia berkontribusi bersama KRP. Inilah yang perlahan memulihkan
harapannya. Perlahan, ia menyadari dan meyakini, Tuhan menempatkan dia untuk menggeluti bidang kesehatan jiwa.

Dari komunitas ini, Kiki mendapat rujukan dokter yang tepat. Ia juga mengetahui pentingnya mengonsumsi obat secara rutin. Lebih dari pada itu, ia mengaku saat keluarga mengalami ODGJ baik si penderita maupun keluarga, imannya pasti terpuruk. Penyakit ini bisa menghancurkan keluarga. “Itulah gunanya komunitas untuk memulihkan kembali kasih dalam keluarga,” ungkapnya.

Klinik Mental
Pelayanan yang berusaha memberikan pendampingan kepada ODGJ perlahan bermunculan dalam kehidupan menggereja. Di KAJ, saat ini seksi keluarga di paroki-paroki telah memiliki konseling keluarga. Paroki Santo Yohanes Penginjil Blok B, Jakarta Selatan, mempunyai klinik kesehatan mental yang disebut Klinik Konseling Keluarga (K3). Klinik ini dijalankan dengan serius. Para konselor adalah umat paroki yang memang ahli dalam bidang psikologi.

Sejak dibuka tiga tahun silam, K3 mendapat tanggapan yang antusias dari umat. Terbukti hingga Rabu, 23/1, tercatat ada 180 kasus yang ditangani. Melalui WhatsApp, K3 membuka layanan hotline bagi umat yang hendak berkonsultasi.

Di dalam K3, tim inti, yang terdiri atas lima orang, akan mendalami setiap kasus yang dialami konseli secara mendalam. Mereka kemudian memetakan seberapa berat persoalan yang dihadapi. Bila kasus tergolong kasus berat, maka K3 akan membentuk tim konselor khusus. Konselor yang ditentukan kemudian akan menghubungi calon konseli untuk bertemu dan memulai proses konseling. Selanjutnya, konseli akan menerima pendampingan hingga kasus terselesaikan.

Koordinator K3, Ricardo Bhirawa mengatakan, permasalahan yang diterima awalnya hanya seputar keluarga. Namun seiring waktu, kasus yang masuk berkembang tanpa batasan. Konseli
awalnya kebanyakan pasangan suami istri, tetapi kini ada juga remaja yang memiliki permasalahan di sekolahnya. Ricardo mengutarakan, kasus yang mendominasi adalah luka batin dan permasalahan
keluarga.

Luka batin bisa diturunkan dalam keluarga. Ketika seorang anak mengalami luka akibat perlakuan orangtua, ia sangat berpotensi melakukan hal yang sama kepada anaknya kelak. Masalahnya, kebanyakan orang tidak menyadari bahwa ia mempunyai luka batin tetapi, Ricardo mengatakan, biasanya penderita luka batin menunjukkan sikap cenderung menarik diri dari pergaulan, sering marah dan meledak-ledak, dan ada juga yang berganti-ganti pekerjaan dalam kurun waktu yang
singkat.

Dalam kasus keluarga, para konseli yang sedang dalam ambang perceraian adalah mereka yang memiliki pengalaman luka batin karena berasal dari keluarga broken home. Dari kasus-kasus yang ditangani, luka batin adalah kasus di mana seseorang tidak mendapat cinta penuh dari orangtuanya. Kasus ini tidak bisa disembuhkan kalau bukan inisiatif dan kesadaran pasien yang
bersangkutan.

Ricardo mengatakan, apabila inisiatif datang dari orang lain, seperti ibu, maka proses pemulihan biasanya tidak bisa benar-benar beres. Luka batin paling rentan dialami saat anak berusia di bawah 13 tahun. Luka batin juga tidak bisa dihubungkan dengan religiositas seseorang. Yang paling berbahaya dalam menanamkan pengaruh pada anak adalah mereka yang memiliki figur otoritas,
seperti orangtua, kakek, nenek, guru, paman, bibi, om, tante, pastor dan suster.

Dari kasus-kasus yang ditangani K3, pelajaran yang bisa dibagikan, kata Ricardo adalah penting sekali bagi para orangtua, suami istri, keluarga muda atau
calon pasangan yang hendak menikah untuk mengetahui dan mengenali dirinya masing-masing, bahwa dia mempunyai pengalaman-pengalaman buruk, apakah ada luka yang dibawa dari rumah. “Pelajari kekurangan dan kelebihan keluarga suami
seperti apa, kekurangan dan kelebihan keluarga istri seperti apa. Lalu tentukan saya mau keluarga saya seperti apa, termasuk hal-hal kecil seperti tradisi perayaan-perayaan dalam keluarga,” katanya.

Ricardo mengatakan, penting bagi para orangtua untuk meningkatkan pengetahuan soal pola asuh anak dan pola komunikasi suami istri. Apalagi bagi
pasangan yang sama-sama bekerja. “Di Gereja biasanya ada retret keluarga, ikutlah. Terus belajar, ikuti seminar keluarga dan anak, tambah pengetahuan dengan baca buku,” ujarnya. Ia mendorong, pasangan muda pada usia perkawinan tertentu, sebaiknya bergabung dengan komunitas
suami istri di Gereja, aktif terlibat di sana, maka mereka akan tahu bagaimana mengelola keluarganya.

Felicia Permata Hanggu/Hermina Wulohering

HIDUP NO.05 2020, 2 Februari 2020

 

 

3 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here