Frater Agato Edy, CJD : Mengerjakan dengan Cinta yang Besar

936
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Tugas hariannya, antara lain, memelihara ayam. Meski karya ini tak mentereng, namun punya andil besar bagi kongregasinya.

Suara kokok ayam meramaikan pagi yang sejuk di Biara Agustinian, Maumere, Flores, Nusa Tenggara
Timur. Biara itu merupakan rumah studi dan formasi bagi Anggota Kongregasi Kanonik Reguler dari Yesus Tuhan (Canonici Regulares A Jesu Domino/CJD). Kongregasi yang terdiri dari para imam dan frater ini menghayati semangat hidup
seturut regula St. Agustinus dari Hippo. Kongregasi CJD lahir di Kota Vladivostok, Rusia, pasca runtuhnya rezim komunis pada 1991.

Kongregasi CJD saat ini telah berkembang ke sejumlah negara, seperti Filipina, Amerika, Indonesia, dan Kazakhstan. Di Tanah Air, komunitas ini pertama kali masuk ke Keuskupan
Surabaya. Kemudian, pada Desember 2014, CJD mulai berkarya di Keuskupan Maumere, Nusa Tenggara Timur.

Di biara Agustinian Maumere, kokok ayam-ayam setiap haru menjadi “alarm” alami bagi Frater Agato Edy, CJD. Usai doa dan ibadat, pukul enam pagi, Frater Edy sudah berada di kandang ayam. Tugas membersihkan kandang-kandang unggas
itu adalah tugasnya sehari-hari. Untuk anak ayam berusia 0-7 hari, setiap pagi alas kandang yang terbuat dari kantung semen harus diganti dengan yang baru. “Alas yang lama harus dicuci dan dijemur. Bila tempatnya kotor, lalat berdatangan,” ujar Frater Edy.

Begitulah keseharian Frater Edy. Ia menjalankan tugas di kandang ayam itu dengan bahagia. Bagi orang kebanyakan, tugas itu boleh jadi sangat sederhana. Namun, bagi Frater Edy, itulah jalan untuk setia pada panggilannya.

Pemasukan Komunitas
Setelah selesai membersihkan peralatan dan kandang, tugas lain telah menunggu. Ia memberi makan dan minum ayam-ayam yang berjajar rapi di kandang. Setelah beristirahat sejenak, Frater Edy
membersihkan kolam bebek, menyapu, dan mengecek telur-telur dari induk-induk ayam yang mengeram. Pada sore hari, ia kembali datang ke kandang untuk membersihkan kandang dan mengambil telur. “Saya juga memberi vaksin ayam-
ayam setiap tiga bulan sekali. Atau pada saat anak ayam yang baru menetas,” jelas kelahiran Kelepu Taba, Sanggau, Kalimantan Barat, 29 September 1988.

Frater Edy mesti ekstra hati-hati, merawat ayam yang baru menetas atau anak ayam dari usia 0-1 bulan. Mereka membutuhkan perhatian khusus.
Kelembaban dan kebersihan kandang harus selalu dijaga. Tempat untuk anak ayam tak boleh terlalu dingin atau panas. Suhunya harus stabil antara 32-33 derajat celsius. Kandangnya pun harus selalu
bersih. Alas karung semen atau koran atau sekam padi harus selalu diganti minimal sekali sehari pada pagi atau sore hari.

Tak hanya manusia, ayam petelur pun bisa stres. Jika sudah terkena stres, urai Frater Edy, ayam-ayam tersebut tak mau bertelur. Lingkungan kandang juga harus bersih, hening, dan tak ramai dengan orang-orang baru. Jika semua itu kurang
atau tak diindahkan, hewan unggas itu rentan stres.

Kualitas makanan ayam-ayam tersebut pun turut menentukan produksi telur. Bila tak teratur memberikan makanan atau jumlahnya tak stabil, kualitas telur ayam-ayam ini bisa buruk. Ayam petelur, lanjut Frater Edy, juga tak boleh terlalu gemuk. Jika tubuhnya terlalu tambun atau kurus, ayam-ayam peliharaannya enggan bertelur. Atau jika bertelur, hasilnya bakal berukuran kecil.

Frater Edy biasa menjual ayam-ayam hasil ternaknya di pasar. Tingkat konsumsi ayam kampung di Maumere cukup tinggi. Harga ayam pun lumayan mahal. Per ekornya bisa seharga Rp.100.000. Menjelang hari raya, harga jual daging
ayam per kilogram bisa melonjak hingga Rp 120.000.

Selain dijual di pasar, ada pula pembeli yang langsung datang ke peternakan ayam biara CJD. Harga sepapan telur ayam (30 butir) adalah Rp 50.000 atau Rp 5000 untuk harga tiga butir telur. Selain dijual dan hasilnya untuk pemasukan komunitas, telur dan ayam juga untuk konsumsi
anggota komunitas. Jadwal, santap ayam ini hanya pada Rabu sore atau Sabtu siang.

Menikmati Tugas
Frater Edy menikmati, merawat ayam-ayam itu. “Melalui karya saya, saya menerapkan salah satu prasetya saya yaitu kaul kemiskinan. Setidaknya telur dan daging ayam bisa menjadi lauk untuk
teman-teman saya, sehingga mengurangi pengeluaran (komunitas),” ujar biarawan berkulit kuning langsat ini.

Pekerjaan sebagai peternak seringkali dipandang sebelah mata. Namun inilah persembahan hidup yang diberikan Frater Edy kepada Tuhan dan kongregrasi. Ia selalu berpegang pada kalimat dari St. Teresa dari Kalkuta, “Lakukan pekerjaan meski kecil (namun) dengan cinta yang besar.”

Bila mengenang sejarah panggilannya, frater asal Keuskupan Sanggau, Kalimantan Barat ini mulai tertarik membiara kala duduk di bangku SLTP. Ia
tertarik dengan busana dan pernak-pernik milik salah satu kongregasi. Saat itu, Edy kerap membayangkan dirinya suatu hari kelak dapat mengenakan habet tersebut.

Sayang, ketika impian masuk membiara begitu bergelora, keluarganya dilanda duka. Ayahnya, tulang punggung keluarga, meninggal karena dipagut ular saat bekerja. Kejadian itu membuat cita-citanya sirna. Sebagai anak sulung, Edy ingin
membantu sang ibu untuk mencari nafkah dan menyekolahkan adik-adiknya.

Panggilan Tuhan itu bergema kembali saat Edy sudah bekerja di perkebunan sawit. Malang, ibunya tak memberi restu. Edy diam-diam pergi ke Sekadau dan mendaftarkan diri sebagai calon biarawan salah satu tarekat.

Edy diterima dan diminta untuk pergi ke Malang. Sang ibu menolak memberi rekomendasi untuk putranya itu. Namun, Edy tetap pergi. Sayang,
perjalanan membiara itu tak berjalan mulus. Putra Dayak ini memutuskan untuk mengundurkan diri dari tarekat tersebut. Ia kembali ke kampung dan membanting tulang untuk sang ibu.

Ketika sedang melihat sosial media, Edy menemukan akun tarekat CJD. Ia berusaha menghubungi alamat email yang tertera di sana, namun tak ada tanggapan. Untunglah kali ini ibunya memberi restu. Pada Maret 2014, ia pergi ke Surabaya. Setelah live in selama satu minggu, Edy merasa, CJD merupakan “lahan” yang bagus untuk panggilannya. Dari Surabaya, ia diminta kembali ke Kalimantan Barat. April 2014, ia mendapatkan informasi bahwa dirinya diterima sebagai calon frater kekal CJD.

Masa novisiat dilaluinya di kota Vladivostok Rusia Timur. Ia terkendala bahasa. Penduduk Rusia jarang yang bisa menggunakan bahasa Inggris. “Minggu-minggu awal berada di sana saya merasa
sepi dan ingin pulang ke Indonesia. Namun saya teringat panggilan awal saya untuk menjadi frater CJD. Untunglah, saya berhasil melalui saat-saat sulit itu,” kenang frater yang mengikrarkan kaul pertama di Rusia dan kembali ke Indonesia pada
Januari 2019 ini.

Membangkitkan Harapan
Alumnus SMA Karya Sekadau ini mengakui tak mudah menjalani panggilannya. Tantangan selalu ada, apalagi di tengah perkembangan teknologi komunikasi seperti saat ini. Kehidupan doa yang baik dan persaudaraan yang akrab dengan teman-teman setarekat membuat biarawan asal Paroki Santa Maria tak Bernoda, Pusat Damai, Parindu, Sanggau bertahan hingga kini.

Selain mengurusi peternakan ayam, Frater Edy meluangkan waktu untuk menjadi teman bicara bagi para narapidana di Rumah Tahanan Kota Maumere. “Saya ingin menjadi pendengar yang baik dan membangkitkan harapan bagi mereka yang berada di balik jeruji besi. Semua orang
diberi kesempatan untuk kembali ke jalan Tuhan,” ujar pemilik moto kaul “ Aku tidak takut bahaya sebab Engkau besertaku” (Mazmur 23:4) ini .

Ivonne Suryanto

HIDUP NO.06 2020, 9 Februari 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here