Apatisme Politis

284
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Apatisme politis ialah sikap yang tidak peduli pada urusan politik. Orang bersikap tidak tahu-menahu tentang politik. Bahkan ada gejala di mana orang tidak mau terlibat dalam politik karena itu dianggap kotor dan mengotori partisipannya. Apatisme politis ini bisa menjangkiti siapa saja.

Kali ini saya mau menyoroti apatisme politis yang
menjangkiti tokoh Gereja abad kelima Masehi. Adalah filsuf Inggris kenamaan Bertrand Russell yang melukiskan pengamatan tentang fenomena apatisme politis tokoh Gereja itu.

Dalam bukunya yang terkenal (sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia), The History of Western Philosophy, ia memaparkan hasil pengamatan  dan evaluasi historis-kritisnya tentang hal itu. Berbeda dengan Will Durrant (The Story of Philosophy) yang melewatkan kurun Patristik dan Skolastik, karena menganggap kurun itu kurun kegelapan (dark ages), Russell justru memasukkan beberapa nama yang bagi filsuf profesional mengejutkan. Misalnya, Russell menyebut filsafat patristik dengan sebutan Catholic Philosophy. Itu karena memang yang berperan di sana adalah tokoh-tokoh Gereja, terutama Agustinus.

Dalam kurun itu, sama seperti filsuf Ettienne Gilson, Russell membahas orang seperti St. Ambrosius, St. Hieronimus, St. Benediktus, dan St. Gregorius Agung. Menurut Russell, mereka adalah orang yang berjasa membantu menyalakan obor peradaban di Barat untuk menjembatani keemasan Yunani dan keemasan gerakan Renaisans-Humanisme abad kelimabelas yang memuncak pada keemasan Rasionalisme Aufklarung yang arogan itu. Tanpa mereka, yang menyalakan api peradaban tadi melewati kegelapan malam akibat runtuhnya Roma tahun 476, mustahil dibayangkan muncul gerakan peradaban modern di Eropa yang dimulai dengan Humanisme-Renaisans.

Khususnya saya tertarik oleh fakta, bahwa Russell
memberi beberapa halaman untuk St. Hieronimus.
Memang Russell tidak secara eksplisit mengatakan apa persis peranan santo ini bagi Filsafat Barat. Tetapi dari uraian sekilas Russell tampak bahwa ia menganggap karya Hieronimus, yakni terjemahan Kitab Suci Yunani (Septuaginta, LXX) ke Latin (Vulgata) merupakan sumbangan peradaban intelektual yang luar biasa bagi Barat.

Selain Vulgata yang dipuja Russell (dikecam teolog feminis Jerman, Utta Ranke-Heinemann), Russell juga menyinggung upaya Hieronimus membangun dan mendorong teologi keperawanan, dalam rangka membangun hidup membiara perempuan. Tetapi, ada suatu yang tidak beres di sana, kata Russell.

Di satu pihak, dalam pelbagai suratnya, Hieronimus meratapi keruntuhan kekaisaran Roma secara perlahan-lahan akibat invasi suku-suku barbar, tetapi ia bukannya mengarahkan kemampuan intelektualnya untuk menyelamatkan Roma: “It is strange that, with all Jerome’s deep feeling about the fall of the ancient world, he thinks the preservation of virginity more important than victory over the Huns and Vandals and Goths.” (1972:344). Sebaliknya ia memakai daya inteleknya untuk mengembangkan teologi keperawanan. Kritik itu keras dan pedas.

Di akhir ulasannya tentang Hieronimus, Russell
memberi catatan pedih. Itulah apatisme politis yang dituduhkan Russell kepada tokoh Gereja, khususnya Hieronimus: “It is no wonder that the Empire fell into ruin when all the best and most vigorous minds of the age were so completely remote from secular concerns.”(1972:344). Tetapi dalam hal ini Hieronimus tidak sendiri. Ada Ambrosius, Agustinus. Semuanya tokoh Gereja yang hebat tetapi dijangkiti cuekisme politis. Dari sini kita belajar untuk tidak bersikap cuek terhadap politik sebab cuekisme itu bisa bermuara kepada kehancuran terutama di saat ada krisis politik yang mencengkam.

Fransiskus Borgias M.

HIDUP NO.08 2020, 23 Februari 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here