De Satana Numquam Satis

303
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Opini tentang setan di dua edisi HIDUP sebelumnya, meninggalkan sebuah pertanyaan: setan itu semacam makhluk atau kekuatan? Jujur saja, mendefinisikan setan (dan makhluk halus) itu tidaklah mudah. Sosok (atau realitas) ini lebih terkait dengan kepercayaan dan bukan fakta empiris yang dapat diverifikasi dengan metode ilmiah. Tradisi Yahudi-Kristiani memahami setan dengan mendasarkan pada Alkitab. Sayangnya, teks Alkitab tidak menyediakan definisi jelas tentang setan. Hanya ada rujukan. Ini tidak mengherankan sebab Alkitab lebih fokus pada pengalaman manusia akan Allah daripada pengalaman manusia berhadapan dengan setan. Pemahaman setan dan makhluk halus pun terkesan tumpang tindih lantaran para penulis Alkitab memiliki pandangan berbeda mengenai setan.

Para penulis Alkitab kiranya sangat familiar dengan dunia ‘makhluk halus’ pada zamannya. Sejumlah teks Alkitab menyebut makhluk tersebut dengan berbagai nama. Dalam Perjanjian Lama ada sosok Shadim (makhluk seperti sapi bersayap; Ul. 32:17), Sheirim (jin-jin atau hantu berbulu; Im. 17:7, 2 Taw. 11:15), Lilit atau hantu perempuan malam yang suka tinggal di tempat kosong (Yes. 34:14), Reshep (Ul. 32:24, Ayb 5:7), ‘Aluqah (‘lintah’ atau sejenis vampir Ams. 30:15), dan Azazel, penghuni gurun Yehuda (Im. 16:8), Asmodeus (Tob. 3:8). Alkitab mengkategorikan mereka sebagai roh jahat. Dalam Perjanjian Baru, jika ditemukan istilah roh jahat (Mat. 12:45), roh najis (Mrk. 5:1-20), roh yang melemahkan (Luk. 13:11), roh yang membisukan (Mrk. 9:14-29), dst, kemungkinan besar itu merujuk pada makhluk halus. Mereka adalah makhluk halus versi masyarakat Timur Dekat Kuno. Jika dikaitkan dengan keyakinan masyarakat di Nusantara, mereka ini bisa disejajarkan dengan hantu, demit, kuntilanak, tuyul, dsb. Hampir semua agama,
tradisi dan kultur di berbagai belahan dunia ini memiliki kepercayaan akan makhluk tersebut. Mereka itu semacam makhluk ‘antara’ atau makhluk di ‘luar’ manusia. Mereka kerap dipercaya suka mengganggu dan menjadi sumber bencana bagi manusia. Sebagian meyakini mereka adalah anak buah setan. Percaya atau tidak, itu urusan pribadi.

Konsep setan dalam Alkitab kiranya lebih luas daripada sekadar makhluk halus. Alkitab menunjukkan, konsep tentang setan pun mengalami perkembangan (bdk. Iblis dalam Alkitab, 2012). Maksudnya, cara orang memahami setan sangat tergantung pada zaman orang tersebut hidup. Istilah Ibrani ‘satan’, misalnya, pada mulanya tidak merujuk pada makhluk supranatural. Sebab, istilah setan (satan) berarti penghalang, lawan atau musuh, dan pendakwa. Manusia yang bertindak seperti itu kadang disebut setan (1 Sam 29:4; 1 Raj 5:4, Mzm 109:6, dsb). Baru dalam Kitab Ayub, istilah satan menjadi nama diri untuk makhluk supranatural. Namun, ia termasuk dalam barisan para malaikat yang bertugas menginspeksi hidup manusia dan tidak bisa berbuat sesukanya
tanpa izin Allah. Setan sebagai makhluk supernatural yang jahat berkembang pesat pada periode Antar-Perjanjian (abad IV SM-I M). Kitab-kitab apokrif Yahudi seperti 1 Henokh, Yubile, gulungan Qumran yang ditulis dalam periode ini, banyak berbicara tentang pertempuran kosmis yang melibatkan pasukan kebaikan yang dipimpin oleh malaikat terang dan pasukan kejahatan yang dipimpin oleh setan. Ini perang antara kuasa baik dan kuasa jahat, yang selalu dimenangkan oleh kuasa baik. Di sini, setan digambarkan sebagai sosok yang memberontak terhadap Allah dan ingin menghancurkan kebaikan. Selanjutnya, pandangan ini cukup memengaruhi para penulis Perjanjian Baru dan ajaran Gereja bahwa setan adalah malaikat yang memberontak terhadap Allah. Jika kita membaca kisah Yesus mengusir roh jahat, kiranya baik jika dibaca dalam konteks pertarungan antara kuasa baik dan kuasa jahat. Keberhasilan Yesus mengusir roh jahat perlu dilihat sebagai kemenangan kuasa kebaikan atas kuasa kejahatan.

Pada titik tertentu, tetapi bukan satu-satunya, setan dapat dipahami sebagai wujud dari kuasa atau kekuatan jahat. Ia misteri, tidak mudah dipahami, dan membahayakan. Tetapi, tidak perlu ditakuti selama kita masih beriman kepada Allah (bdk. 1 Ptr. 5:8-9). Ingat, membicarakan sosok atau realitas ini tidak akan pernah terpuaskan, de Satana numquam satis.

Albertus Purnomo, OFM

HIDUP NO.10 2020, 8 Maret 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here