Pesta Emas STF-Seminari Pineleng: Merayakan Pengakuan Sebagai “Bengkel” Pemikir

849
Gedung Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng/Dok/ STFSP
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM-MEI 2020, Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng (STF-SP), Manado, Sulawesi Utara, merayakan 50 tahun pengakuan resmi dari pemerintah sejak 11 Mei 1970 lalu.

Ius Commisionis ke Ius Mandatum

Dalam buku Pater Huub J.W.M Boelaars OFM Cap, “Indonesianisasi: “Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia”, 2005, menuturkan, selepas era 1940-1961 atau era Gereja misi menuju Gereja mandiri, muncul era baru yaitu dari Gereja yang mandiri menuju Gereja Indonesia.

Khususnya di era tahun 1969 salah satu peristiwa luar biasa yang terjadi dalam sejarah
Gereja adalah adanya perubahan dari ius commissionis (daerah tertentu dipercayakan kepada yurisdiksi ordo tertentu) kepada situasi baru ius mandatum (misi dipercayakan kepada mandatum uskup).

Seminari Pineleng di masa lampau yang sekarang menjadi asrama bagi para calon imam Diosesan/Dok. STFSP

Vatikan meniadakan ius commissionis sebagai konsekuensi dari Teologi Konsili Vatikan
II bahwa Gereja setempat harus makin mandiri. Hal ini membuat ius commissionis kehilangan faedahnya dengan berbagai alasan satu diantaranya yaitu meningkatnya penyerahan daerah-daerah misi kepada reksa pastoral klerus diosesan pribumi

Karena perombakan itu, uskup kenyataannya baru sungguh menjadi satu-satunya
penanggungjawab utama dalam keuskupannya. Di sini muncul instruksi “relationes” yaitu
hubungan timbal balik antara uskup dengan tarekat-tarekat religius, yang terjadi tanggal 24 Februaru 1969.

Mgr. Nicolas Verhoeven MSC bersama para frater angkatan pertama/Dok. SFTSP

Sejalan dengan hawa perubahan dalam Gereja, tanggapan atas perubahan Surat Apostolik Paus Benediktus XV yaitu Ensiklik Maximum Illuds (MI, 30 November 1919) di mana Paus
mengingatkan para uskup tentang tanggung jawab mereka untuk mendukung misi. Paus
menggarisbawahi bahwa perlunya persiapan yang tepat sebelum menjalankan pekerjaan itu.

Paus juga meminta agar secara terus menerus merawat kesucian diri dan bertekun dalam
kerasulan doa dengan mendukung panggilan para calon imam. Salah satu poin yang ditekankan di sini adalah para misionaris harus memiliki perhatian utama untuk menumbuhkan dan mendidik imam-imam pribumi. “Imam pribumi, dengan memiliki asal-usul, karakter, mentalitas, aspirasi yang sama dengan penduduk setempat, sangat cocok untuk menanamkan iman ke dalam hati mereka…” (MI art. 13)

Sepuluh frater dalam suasana sebelum Konsili Vatikan II/Dok. STFSP

Selanjutnya, agar bisa memperoleh buah-buah yang diharapkan, mutlak perlu bahwa imam pribumi hendaknya dilatih dan dididik secara memadai. Maka, tidaklah cukup suatu formasio sekadarnya dan hal-hal mendasar saja, asal bisa ditahbiskan menjadi imam. Formasio itu haruslah lengkap dan sempurna seperti yang diberikan kepada para imam dari negara-negara maju.

Tak salah juga inilah panggilan awal para misionaris dan imam-imam pribumi
untuk mendirikan beberapa seminari di Indonesia termasuk Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng.

Hierarki Gereja

STF-SP berdiri sejak 15 Agustus 1954 atas prakarsa Mgr. Nicolas Verhoeven MSC Uskup Manado (1961-1981). Uskup Tituler Hermonthis ini diangkat menjadi Uskup Manado pada 3 Januari 1961. Peristiwa penunjukan Mgr. Nicolas bersamaan dengan peristiwa penting dalam Gereja Indonesia yaitu pendirian Hirarki Gereja Katolik (1961). Salah satu hal penting yang pantas disampaikan sebagai penanda proses ini adalah kemandirian Gereja Nusantara. Dengan begitu, status daerah misi dihentikan.

Mgr. Nicolas Verhoeven MSC/Dok. Keuskupan Manado

Dari sudut Gerejawi, kawasan Nusantara dinyatakan mandiri oleh Roma. Kenyataan ini diungkapkan secara luar biasa oleh Paus Yohanes XXIII dalam Surat Apostoliknya (3 Januari 1961), … “dengan didirikannya Hierarki Gerejawi, di situ keuskupan-keuskupan kalian masih membutuhkan tenaga para misionaris dalam bidang dan lapangan hidup rohani, terutama yang mengenai pemeliharaan jiwa untuk jumlah umat yang bertambah…mereka hendaknya mendidik dan mengajar calon rohaniwan asli yang sangat
kami harapkan makin terpelajar dan makin kaya akan kebaikan…”

Kendati Hierarki Gerejawi telah terbentuk, masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang
belum terpecahkan. Pertanyaan mendasar adalah, mengapa tahun 1961 baru keluar keputusan ini, padahal Indonesia sudah merdeka 1945? Pertanyaan lain yang mencuat adalah, Hierarki Gerejawi didirikan saat sudah ada 25 keuskupan, padahal 22 dari 25 ordinaris bukan orang Indonesia? Ada 21 uskup yang berasal dari Belanda dan ada beberapa di antaranya masih berkewarganegaraan Belanda.

Para pembina dan para frater/Dok. STFSP

Pastor Huub Boelaars OFMCap memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Tak bisa dilupakan salah satu tokoh yang pantas diberi tempat khusus dalam peristiwa sejarah ini adalah Mgr. T.van Valenberg OFMCap. Uskup Agung Emeritus Keuskupan Agung Pontianak (1934-1957), yang kala itu berada di Handel, Belanda menceritakan beberapa alasan keterlambatan keputusan Takhta Suci.

Menurut Mgr. Valenberg, tidak ada usaha dari pihak Indonesia sendiri yang mengarah
pada didirikannya Hierarki Gerejawi. Ordinaris Indonesia “mati suri” karena masih bergelut
dengan ragam persoalan masing-masing vikariat. Usaha mendirikan Hierarki Gerejawi itu ada ketika kunjungan Kardinal Krikov Bedros Agagianian, Prefek Kongregasi Pro-Propaganda Fide pada September 1959.

Para dosen di STF-Seminari Pineleng/Dok. STFSP

Kardinal Armenia ini hadir dalam audiensi bersama para Vikaris Apostolik Indonesia dan
mendengarkan permintaan untuk mendirikan hierarki. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa inisiatif mendirikan hierarki berasal dari Roma, yakni Propaganda Fide. Hanya saja ada salah satu kemungkinan syarat yang ditawarkan adalah, semua Ordinaris non-Indonesia bersedia mengundurkan diri supaya digantikan oleh ordinaris Indonesia, sekiranya itu yang diminta Roma. Alasan lain yaitu di Roma, ada suatu keprihatinan tertentu tentang tidak stabilnya Republik Indonesia. Mendirikan hierarki dianggap sebagai pengakuan atas republik yang masih muda, labil, dan rentan terhadap keretakkan.

“Bengkel” Pemikir

Meski begitu, pada kenyataannya angin reformasi Gereja berembus sampai bidang pendidikan. Dalam sejarah misi, membangun dunia pendidikan merupakan metode ampuh bagi perkembangan misi, di luar metode pastoral lainnya. Dua “bengkel pemikir”  baru saja merayakan Pesta Emas yaitu Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta (2 Februari 1969-2 Februari 219). Di tahun yang sama, tepatnya Januari 1969, berdiri lagi Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Para dosen dan mahasiswa STFSP angkatan pertama yang siap ditahbiskan imam/Dok. STFSP

Merayakan Golde Jubilee bagi STF-SP tak lain merayakan pengakuan sebagai lembaga gerejani yang setia mendidik dan menyiapkan pemimpin rohani, di antaranya para calon imam baik Misionaris Hati Kudus Yesus (MSC) maupun calon imam Diosesan dari Keuskupan Manado, Keuskupan Amboina, dan beberapa keuskupan lain seperti Keuskupan Timika, serta para guru dan katekis awam.

Sebuah tempat yang terletak di antara jalan raya Pineleng Tomohon ini, menawarkan jalan kehidupan lain. Filsafat pada hematnya, bukan sekadar merupakan mata kuliah. Filsafat adalah suatu tindakan, suatu aktivitas. Dalam ingatan yang segar pada kuliah pengantar filsafat, bahwa filsafat adalah aktivitas untuk berpikir secara mendalam tentang pertanyaan-pertanyaan besar dalam hidup manusia dan mencoba menjawabnya secara rasional, kritis, dan sistematika.

Gubernur Alexander Lasut memberikan “chaque” kepada seminari sebagai bentuk penerimaan pemerintah kepada seminari/Dok. STFSP

Hanya saja, bila STF-SP berbicara dan menjawab sebatas realitas yang rasional, kritis, dan sistematika, rasa-rasanya sangat mendangkal. Ilmu filsafat dan teologi terutama membuka pikiran dan membentuk hati manusia sehingga bukan hanya mencapai profesi tertentu, melainkan juga bertindak sebagai manusia yang memiliki sense of spiritual, sense of value, sense of crisis dalam hidup. Lebih tajam lagi, filsafat dan teologi membantu para alumni untuk mencintai virtus (kebajikan) tertentu.

Para mahasiswa dan dosen pembimbing STFSP/Dok. STFSP

Mengutip pernyataan Latin, Gaudete Tentamine Virtus, “Dalam cobaan ada kebajikan.” Maka itu, para almuni diharapkan memiliki sikap-sikap yang mencerminkan kebajikan seturut teladan Jules Chevalier (pendiri Tarekat MSC), dan St. Yohanes Maria Vianey (patron para imam Diosesan), tak lupa searah teladan sang Guru Sejati, Filsuf Abadi: Yesus Kristus.

Untuk alasan yang istimewa ini STF-SP menawarkan motto dalam gerak pendidikannya, “Fides, Veritas, dan Ministerium” (iman, kebenaran dan pelayanan). Ketiganya menjadi soko guru pembinaan, tetapi juga sekaligus karakter dasar para lulusan yang dicita-citakan.

Sejak pengakuan itu, STF-SP terlibat dalam seluruh gerak pendidikan dan pembinaan di Indonesia. Sumbangan khas STFSP di sini adalah bidang studi Filsafat dan Filsafat Keilahian yang mencerdaskan akal budi, memurnikan hati nurani dan membangkitkan sikap peduli.

Selamat merayakan pengakuan almamater tercintaku. Selamat menetaskan profil lulusan yang diidealkan Gereja. Agunglah namamu.

Jejak Sejarah

Berikut ini beberapa kegiatan Sekolah Tinggi Filsafat pada masa sekarang. Foto-foto ini didapat dari beberapa koleksi alumni STF-SP.

Para dosen pembina dan mahasiswa dalam acara Seminar Sumpah Pemuda 2019/Dok STFSP
Para dosen pembina dan mahasiswa dalam acara Seminar Sumpah Pemuda 2019/Dok STFSP
Kegiatan para mahasiswa STF-SP/Dok. STF-SP
Kegiatan para mahasiswa STF-SP/Dok. STF-SP
Serah terima tugas darai Ketua STFSP lama Pastor Amrosius Wuritimur (Kanan) kepada Ketua STFSP yang baru Pastor Gregorius Hertanto MSC/Dok. STFSP
Acara penerimaan para imam baru di STFSP/Dok. STFSP
Kegiatan Upacara bendera 17 Agustus di halaman kampus STF-SP/Dok. STFSP
Para mahasiswa STF-SP/Dok. Pribadi

Yusti H. Wuarmanuk

Alumni STF-SP (2006-2010)

 

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here