Yohanes Dian Sutrisno: PANGGILAN HATI

399
Yohanes Dian Sutrisno di gang masuk Lapak Pemulung Wonocatur Yogyakarta. (HIDUP/H.Bambang S)
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM Hampir empat tahun, Yohanes Dian Sutrisno mendampingi para pemulung di sebuah kawasan di Yogyakarta. Di tengah pandemi Covid-19, ia membuka dapur umum di sana.

MEMASUKI  Gang Rukun di kawasan Lapak Pemulung Wonocatur, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta  sore itu tampak anak-anak pemulung tengah bermain. Beberapa anak yang lain tengah kejar-kejaran. Kawasan itu dihuni sekitar 23 kepala keluarga atau 60 jiwa. 

Di  lapak ini mereka menempati rumah tinggal semacam kos-kosan, berbentuk rumah  petak, memanjang.  Bangunan rumah  bentuk kotangan, yakni bangunan separuh bata dan bagian atas gedek (anyaman bambu). Ukuran rumah kos ini sangat sempit,  3 x 3 meter. Bahkan, antara tempat tidur dengan ruang dapur tidak bersekat.  Di petak rumah kumuh itu dihuni dua sampai delapan orang. “Mereka nyewa rumah kos di lahan pekarangan milik Pak Damar. Harga sewanya Rp. 150 ribu per bulan,” tutur Yohanes Dian Sutrisno, salah satu pendamping para pemulung itu.

Bersama tiga orang muda Katolik, ia hampir saban hari menyempatkan menjenguk para pemulung dampingannya. “Sebelum ada wabah korona, saya tiap sore sepulang  kerja selalu mampir ke lapak sini. Mengajari anak-anak pemulung menggerjakan PR, atau mengajari pelajaran sekolah yang mereka belum jelas,”  kata anak muda yang menyediakan ruangan perpustakaan ukuran 4 x 3 meter, untuk anak-anak pemulung belajar.

Dampak Covid-19

Pendampingan kepada para pemulung bermula dari aktivitas Dian dan rekan-rekannya di Komuntas Sant’Egidio Yogyakarta. “Kami mengajarkan anak-anak tentang perdamaian,” ujar umat Paroki St. Yohanes Rasul Pringwulung,  Sleman, Keuskupan Agung Semarang ini.

Memulai pendampingan pada November 2016, Dian mengurusi pendidikan bagi anak-anak pemulung bersama tiga relawan lainnya, masing-masing Aloysius Do Carmo Sobak, Daniel van Marshal Sinaga, dan Tika Subekti.  Di lapak pemulung itu mereka juga mengurusi kesehatan dampingannya.

Menyusul ditetapkannya DIY berstatus tanggap darurat virus korona, warga setempat termasuk para pemulung jalanan ini diimbau untuk tinggal di rumah. Ini upaya Pemprov setempat  dalam  memutus mata rantai wabah. Aturan untuk tidak keluar rumah itu praktis menjadikan para pemulung tak bisa memulung seperti hari biasanya.  “Keluar jalanan untuk narik gerobak hasil pulungan saja, mereka diopyak-opyak (diingatkan berulang kali) oleh petugas Satpol PP,” tutur Dian.

Dengan pembatasan keluar rumah, itu berdampak langsung dengan perolehan pendapatan dampingannya. Dian mengutarakan, dalam kondisi wabah seperti sekarang,  harga jual barang pulungan, seperti botol minuman kemasan, kardus, besi dan jernis rongsokan lainnya anjlok. “Harga barang bekas dari besi yang semula Rp. 4 ribu per kilo jadi seribu rupiah per kilo. Lagian, banyak pengepul barang bekas mulai tutup karena pabrik libur berproduksi,” sebut kelahiran Purworeja, 16 September 1989 ini.

Anak semata wayang dari pasangan Marsudi Waluyo dan Fransiska Susmiati ini menyebutkan,  para pemulung dampingan yang tinggal di lapak tersebut  keseluruhan beragama Islam. Meski mereka tinggal di wilayah Perkampungan Wonocatur, namun hanya segelintir keluarga saja yang  berstatus warga kampung itu. “Asal-usul mereka dari jalanan sehingga kebanyakan dari  mereka tidak punya KTP dan kartu keluarga,” ungkapnya.

Tak Ada Identitas

Ketiadaan identitas, menurut Dian, membuat para pemulung tak dapat menerima bantuan jatah hidup dari pemerintah. Sebab, kucuran bantuan diberikan berbasis data C1 atau kartu  keluarga. Selain itu, mayoritas penghuni lapak pemulung belum terdaftar sebagai warga Kampung Wonocatur. Dia mengaku, pihaknya sempat mengalami kesulitan mengurus pemakaman ketika salah satu penghuni lapak meninggal. “Waktu pertama saya di sini ada balita meninggal, kami susah mencarikan makam. Akhirnya diarahkan ke Dinas Sosial,” kenang Dian.

Kendati orangtuanya tidak memiliki identitas kependudukan, namun anak-anak pemulung yang sudah berusia sekolah bisa berkesempatan bersekolah. Penghuni Lapak Pemulung Wonocatur ini diakui tidak keseluruhan pemulung, namun ada  satu-dua penghuninya yang  menjadi “Pak Ogah”, dengan menjual jasa menyeberangkan kendaraan di belokan badan jalan.

Dampak virus korona juga menjadikan banyak gang masuk perkampungan di DIY ditutup secara mandiri. Ini menjadikan para pemulung dampingan Dian benar-benar lumpuh dalam  mencari nafkah. Padahal, mereka perlu memulung untuk memenuhi hidup keseharian.

Menyadari itu, Dian dibantu pelbagai jaringan, seperti Solidaritas Pangan Jogja dan Jaringan Gusdurian membuka dapur umum lawan korona. Dapur umum ini dibuka sejak 26 Maret lalu di salah satu ruang lapak pemulung.  “Kami berpikir bagaimana memenuhi kebutuhan pokok mereka. Utamanya menyediakan makan. Maka, kita putuskan membuat dapur umum. Warga dampingan yang masak, kita yang mengusahakan bahan pokoknya,” tutur alumnus Akademi Akuntansi YKPN Yogyakarta ini.

Dian mengakui, pekan pertama membuka dapur umum hanya bisa menyediakan sekali makan bagi dampingannya. Lalu, setelah koordinasi dengan Solidaritas Pangan Jogja  dan jaringan lain, mereka bisa menyediakan dua kali makan, pagi dan sore hari.

Dian sendiri yang keseharian bekerja di sebuah distributor minuman kemasan di Kabupaten Sleman mengaku, selalu mengingatkan rekan relawan yang berniat mengunjungi dampingannya di lapak pemulung. Baginya mendampingi pemulung adalah  panggilan hati yang didasari pelayanan.

Ia selalu berpesan kepada rekan-rekannya, bila hendak berkunjung ke Lapak Pemulung tidak membawa materi. Ini bertujuan agar para pemulung tidak hanya merindukan materi, namun lebih pada sebuah perjumpaan. “Jadi ketika tidak ada yang ke sini, mereka akan rindu sebuah perjumpaan dan pelayanan. Jangan semua diukur dengan materi atau mengedepankan materi saja. Kedepankan perjumpaan, itu lebih penting daripada materi,” ujar dia.

Suasana dapur umum saat menyiapkan makan untuk para pemulung. (HIDUP/H.Bambang S)

Bulan Ramadhan

Mengingat semua warga dampingan beragama Islam, Dian sempat merencanakan untuk mengadakan Tarawih selama bulan Ramadhan. Acara itu akan diisi dengan pengajian  khusus bagi anak-anak. Kegiatan itu semula akan menempati ruang perpustakaan. Namun karena tempat tersebut sempit, sekitar 3×4 meter, rencana itu pun gugur. “Pengajian dengan berdesakan berisiko tinggi  tertular  Covid-19,” pikir Dian.

Pengajian bagi anak-anak akan kita ditempatkan di rung terbuka, dengan saling jaga jarak dan saling mengenakan masker. “Nanti kami coba koordinasi dulu dengan pengurus Pondok Pesantren Kotagede,” ucap Dian.

H. Bambang S

HIDUP NO.20, 17 Mei 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here