Konflik Peran Ganda

597
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Saya seorang ibu rumah tangga, bekerja, dan sering pulang  larut malam. Saya sering bertengkar dengan suami, karena suami saya selalu menyalahkan saya atas kenakalan anak-anak kami di rumah, yang diasuh oleh pembantu. Ia selalu meminta saya untuk berhenti bekerja dan mengurusi anak-anak saja.
Tapi saya tidak mau, karena saya juga ingin menafkahi keluarga, sekaligus merealisasikan ilmu yang saya pelajari dulu. Bagaimana menjembatani hal ini?

Rani, Surabaya, Jawa Timur

Pertama-tama, saya ingin memberitahukan kepada Anda dan para pembaca, bahwa apa yang Anda alami biasa disebut dengan konflik peran ganda.
Anda mengalami konflik antara peran domestik – sebagai ibu rumah tangga yang mengurus rumah serta mengasuh anak – dan peran publik – sebagai seorang wanita karier yang ingin mengak-
tualisasikan dan mengembangkan diri.

Demi mengatasi persoalan ini, Anda perlu menciptakan keseimbangan antara dua peran tersebut. Ketika buah hati masih kecil dan membutuhkan peran orangtua, sebaiknya peran domestik diberi porsi yang lebih besar. Sebaliknya, kalau mereka sudah cukup besar dan tidak terlalu banyak menuntut peran orangtua, maka peran publik bisa ditambah secara bertahap.

Hal ini memang tak semudah yang dikatakan, karena biasanya justru pada waktu anak masih kecil, ibu sedang merintis karier dari bawah, sehingga membutuhkan usaha dan perhatian yang
besar juga. Untuk mewujudkan solusi yang seimbang, perlu komunikasi dan pembagian peran domestik antara ibu dan bapak dalam mengasuh anak. Karena pengasuhan anak bukan semata-
mata tugas istri, tapi juga suami. Meskipun sudah ada pengasuh yang bisa berperan sebagai orangtua pengganti (substitute parent), peran orangtua kandung tetap dibutuhkan.

Oleh karena itu, orangtua masih harus menyempatkan diri untuk mengasuh anak. Hal ini bisa dilakukan dengan berkomunikasi dan bermain dengan anak-anak pada waktu luang. Atau bisa juga dengan menyisihkan waktu untuk bersama anak-anak, seperti makan malam bersama, pergi berbelanja bersama, atau rekreasi bersama. Dalam komunikasi dan acara-acara bersama ini orangtua bisa mengendalikan, mengasuh, dan mengajarkan
kepada anak bagaimana anak harus berperilaku, sekaligus menjaga ikatan kebersatuan sebagai keluarga.

Permintaan suami untuk berhenti bekerja, sebaiknya juga dinegosiasi lagi. Boleh saja, seorang istri membantu suami menafkahi keluarga, tapi sebaiknya ibu juga perlu memperhatikan bahwa perannya di sini adalah membantu suami dalam mencari nafkah. Bekerja dan mencari nafkah bukan peran yang utama istri.

Pemeran utama pencari nafkah tetap ada di pundak suami. Bila keduanya sama-sama mengambil peran utama sebagai pencari nafkah, tidak heran kadang juga terjadi konflik dan penga-
suhan terhadap anak-anak menjadi terabaikan.

Seperti dalam suatu teater atau film, bila semua pemain ingin menjadi pemeran utama, maka tidak ada pemeran pembantu dan sutradara pun akan
bingung dalam mengarahkan drama atau film tersebut. Akibatnya, film atau pertunjukkan tersebut takkan enak ditonton. Maka dari itu, perlu dirancang pengaturan peran dalam keluarga.

Ada baiknya juga Ibu dan bapak saling mengingatkan akan janji yang dulu pernah diucapkan pada waktu melangsungkan pernikahan di gereja. Di antaranya akan saling menyatu dalam suka dan duka dan akan mengasuh anak-anak secara Katolik. Dalam perjalanan waktu, janji tersebut kadang makin kabur dan mungkin juga terlupakan. Oleh karena itu, perlu ada penyegaran kembali, baik melalui acara rekoleksi keluarga atau yang lain.

Mengenai penerapan ilmu yang Anda pelajari dulu, ada baiknya Anda juga mengingat bahwa penerapan ilmu itu tak hanya melalui bekerja di luar rumah. Anda masih bisa menerapkannya di dalam rumah. Hal ini bisa dilakukan dengan berwiraswasta atau wirausaha di bidang yang sesuai. Bisa juga ilmu itu diterapkan dengan mengajarkan kepada anak keterampilan atau keahlian yang Anda miliki.

George Hardjanta

HIDUP NO.05 2020, 2 Februari 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here