Kutuk Rasisme, Para Imam Asli Papua Sebut JPU Tidak Adil pada Bucthar Tabuni, cs

405
Para imam asal Papua dalam jumpa pers Senin, 8 Juni 2020 di Rumah Imam Projo-Condios, Jayapura. Dok. Jubi/Hengky Yeimo
5/5 - (1 vote)

SEBANYAK 57 imam asal Papua di lima keuskupan di Regio Papua menyatakan mereka “mengutuk rasisme, menolak ketidakadilan dan segala bentuk kekerasan kepada umat Tuhan di Tanah Papua”. Pernyataan disampaikan dalam jumpa pers di Rumah Imam Projo-Condios, Jayapura, Senin, 8/6.

Pernyataan ini dikeluarkan menyusul isu rasisme yang belakangan ramai diperbincangkan di media sosial. Tak hanya George Floyd, pria kulit hitam yang tewas di tangan polisi Amerika Serikat, masyarakat juga menyoroti tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada Bucthar Tabuni, cs, yang terkesan tidak adil. Buchtar Tabuni bersama enam orang lainnya adalah tahanan politik (tapol) asal Papua yang kini dititipkan di Rumah Tahanan Balikpapan, Kalimantan Timur.

Mereka didakwa pasal makar terkait unjuk rasa mengecam ujaran rasisme di Kota Jayapura pada 19 dan 29 Agustus 2019 lalu, dengan tuntutan hukuman hingga belasan tahun penjara. Unjuk rasa itu merupakan protes terhadap ujaran rasisme yang dilemparkan terhadap mahasiswa asal Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019.

JPU Kejaksaan Tinggi Papua menuntut para tapol 5 sampai 17 tahun penjara. Tuntutan terberat diberikan kepada Bucthar Tabuni yakni 17 tahun penjara. Keenam tapol lainnya dituntut 5 hingga 15 tahun penjara.

Sementara itu, pelaku ujaran rasis di Surabaya hanya divonis lima bulan.

Para imam asal Papua dalam pernyataan persnya menilai ada ketidak-adilan dari JPU dalam memberikan tuntutan tersebut. Para imam yang menyebut diri mereka “Pastor Katolik Pribumi Papua” ini menilai Bucthar Tabuni, cs adalah korban rasisme dan bukan pelaku rasisme. “Kami melihat adanya kerancuan dalam menangani para aktivis yang terkena akibat dari kasus rasisme ini. Mereka ditangkap dalam situasi Demo Nasional Papua, demi harga diri manusia Papua yang direndahkan sama dengan ‘monyet’,” kata para imam dalam pernyataannya.

Lebih lanjut dikatakan, protes pada Agustus 2019 itu dilakukan secara damai tetapi kemudian “diprovokasi” oleh orang tak dikenal (OTK) sehingga “demo yang murni berubah menjadi anarkis” dan berujung pada penangkapan para aktivis kebenaran-keadilan dan mereka dipenjarakan atas tuduhan makar. “Bagi kami ini namanya akalisasi kasus atau pengalihan sosial. Artinya, entah demi kepentingan siapa?”

Dalam pernyataan ini juga, para imam asli Papua mengatakan mereka pernah mendengar, ada rumor, yang beredar terkait penahanan Buchtar Tabuni, cs. Disebutkan, ada pihak yang berujar, “Kami sudah setengah mati tangkap mereka, mengapa kamu mau seenaknya saja bebaskan mereka? Kasih hukuman yang berat lah, supaya mereka sadar dan tidak buat pusing kita lagi.”

Ke-57 imam ini adalah seluruh imam asli Papua yang terdiri atas 39 imam diosesan, 9 imam Santo Agustinus (OSA), 6 imam Ordo Fransiskan (OFM), dan 3 imam Misionaris Hati Kudus Yesus (MSC). Komunitas ini dipimpin oleh Pastor Alberto John Bunay, yang juga merupakan Koordinator Jaringan Damai Papua.

Hermina Wulohering

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here