St. Yosef Cupertino OFM Conv (1603-1663): “SI MULUT TERNGANGA” PELINDUNG MAHASISWA

2222
(www.catholic.org)
3.7/5 - (4 votes)

HIDUPKATOLIK.COM Ia dikenal sebagai pribadi yang tidak pandai. Namun semangat hidupnya dalam meraih cita-cita membuat ia dikenang sebagai pelindung para mahasiswa dan pelajar.

PENGALAMAN membuktikan, seorang pelajar akan lebih banyak berdoa saat sedang menghadapi ujian. Saban hari, ia ingin selalu dekat dengan Tuhan. Hanya saja, ketahanan iman ini bisa diukur, ketika sudah berhasil dalam ujian. Rata-rata, pelajar lupa akan Tuhan. Demikian secuil isi khotbah Kardinal Ignatius Suharyo dalam Misa pentakhtaan Relikui Santo Yosef Cupertino di Kapel St. Albertus Magnus, Universitas Katolik (Unika) Atma Jaya, Jakarta, 19 Maret 2016.

St. Yosef dianugerahi banyak karunia spiritual. Ia bisa berkata-kata dengan hikmat, memiliki penglihatan akan Allah, kuasa menyembuhkan, dan membuat mukjizat. Namun, menurut Kardinal Suharyo, orang kudus ini pernah dianggap tidak mampu, dikucilkan dalam masyarakat dan komunitasnya. “Ia menjadi besar dan kudus bukan karena pengetahuan intelektualnya, tetapi kesediaannya memikul salib,” ujar Kardinal Suharyo.  Kardinal Suharyo berharap, kehadiran St. Yosef Cupertino di Kapel Atma Jaya kiranya dapat menjadi berkat bagi para mahasiswa.

Ujian Tuhan

Kelahiran Yosef mirip cerita kelahiran Yesus, ia lahir di kandang ternak. Bagi masyarakat di Cupertino, Puglia, Italia, cerita kelahiran Yosef adalah sebuah cerita miris, cerita kebodohan sang ayah, Felix Desa.

Sebelumnya secara ekonomi, keluarga Yosef berkecukupan. Tragedi kemiskinan keluarga ini bermula dari kebaikan hati Felix yang terkenal berhati mulia. Ia gemar membantu teman-temannya yang kesulitan ekonomi. Ketulusan hati Felix berakibat fatal. Ia memiliki hutang di mana-mana. Pada akhirnya, ia kehilangan rumah.

Karena lilitan utang ini, Felix pun lalu melarikan diri bersama istrinya. Di waktu bersamaan, sang istri, Franceschina Panaca, sedang hamil tua. Tidak ada rumah sebagai tempat untuk melahirkan. Perteduhan yang mereka bisa dapatkan hanyalah sebuah kandang hewan. Di sinilah Yosef dilahirkan.

Kendati bertumbuh dalam kemiskinan, nyatanya Yosef seorang yang kaya akan hidup rohani. Kelahiran 17 Juni 1603 ini mengalami ekstase, saat usianya baru delapan tahun. Ia selalu terpana dan berlama-lama menatap ke angkasa. Masyarakat Cupertino tidak mengerti, apa yang dialaminya. Karena seringnya mengalami ekstase ini, Yosef tumbuh sebagai remaja yang lamban. Ia sering terlihat berjalan dengan diam tanpa arah tujuan yang jelas.

Saat mengenyam pendidikan, Yosef tidak memiliki banyak teman. Sifatnya yang tegas dan pemarah membuatnya selalu dimusuhi. Teman-teman sekelas memanggilnya “si mulut ternganga”, sebab acap kali, ia ternganga memandang angkasa dan saat mendengar suara lonceng gereja.

Yosef tidak menyelesaikan studinya. Penyakit tumor ganas di lutut memaksanya berbaring di tempat tidur. Kurang lebih lima tahun, ia bergulat dengan penyakit ini. Ada usaha medis, tetapi itu hanya menghilangkan rasa sakit sementara.

Suatu kali, Franceschina mengajak Franceschina berziarah ke Gua St. Maria Penuh Rahmat di Galatone, Lecce. Pada sat itu, Franceschina mengurapi anaknya dengan minyak lampu di gua itu. Mukjizat terjadi, Yosef pulang bersama ibunya dalam keadaan sembuh.

Setelah sembuh, Yosef bekerja membantu ibunya. Ia pernah bekerja membuat sepatu, tetapi gagal, karena tidak dapat berkonsentrasi dalam pekerjaan. Ia juga pernah berdagang sayuran, tetapi tidak berhasil.

Atas tuntutan kegagalan ini, kepala parokinya, Pater Ambrosius, OFMConv bahkan menilai Yosef seorang yang memiliki talenta terbatas. Ia seorang pemuda yang serba bisa tetapi tak memiliki tujuan. Ia bisa bekerja, namun tidak mengerti apa yang sedang dikerjakannya.

Terus Gagal

Yosef sempat putus asa, dan dalam keputusasaan ini, ia meminta izin ibunda untuk masuk biara Ordo Saudara Dina Conventual (Ordo Fratrum Minorum Conventuallum/OFMConv). Ia percaya, di tempat ini, ia bisa belajar mengampuni dirinya. Rupanya, Yosef masih mengingat pengalaman yang dijumpainya saat masih terbaring sakit. Ia bermimpi bertemu dengan St. Fransiskus Asisi yang meminta Yosef untuk menyerahkan dirinya kepada Allah sebagai biarawan.

Namun malang, karena kurang berpendidikan, Yosef tidak diterima masuk biara. Tak hanya sekali, ia juga ditolak saat mencoba bergabung dengan para Kongregasi Fransiskan Reformasi di Casole. Kesempatan datang ketika bersama beberapa rekannya, Yosef mendatangi Provinsial Ordo Saudara Dina Kapusin (OFMCap). Ia mendaftar untuk menjadi seorang bruder. Ia diterima, lalu dikirim ke Novisiat Martina Franca pada Agustus 1620.

Namun, lagi-lagi panggilannya harus pupus, hal ini karena pengalaman ekstase yang sering dialaminya. Saat itu, Yosef sering menjatuhkan tumpukan piring dalam saat menjalankan tugasnya sebagai tukang masak. Ia juga terus-menerus lupa akan perintah yang diberikan kepadanya. Delapan bulan Yosef bertahan, lalu meninggalkan Biara Kapusin.

Ibunya tidak senang dengan kepulangan Yosef. Dengan berat hati, sang ibu mencari pekerjaan bagi Yosef. Ia mendapatkan pekerjaan sebagai pesuruh di Biara Conventual. Ia diberi sebuah jubah Fransiskan untuk dikenakan dan diserahi tugas mengurus beberapa kuda milik biara.

Setiap hari, ketika bekerja di kandang, Yosef perlahan-lahan berubah. Ia menjadi seorang yang lembut dan rendah hati. Ia berhati-hati dalam pekerjaannya. Setiap perintah yang diberikan, ia mencoba mengingat dengan menuliskannya. Ia juga melakukan silih atas hidupnya dan dosa-dosanya.

Pemimpin biara pun melihat kemajuan ini dan menerima Yosef sebagai seorang biarawan Conventual. Pemimpin biara percaya, meski Yosef mengalami sejuta persoalan fisik, tetapi dengan pertolongan Tuhan, Yosef pun akan dipakai sebagai alat di kebun anggur-Nya.

Kardinal Ignatius Suharyo mentakhtakan Relikui St. Yosef Cupertino di Kapel St. Albertus Magnus di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta. (HIDUP/Yusti H. Wuarmanuk)

Tugas Terendah

Perjalanan panggilan Yosef tak lepas dari peran dua pamannya, Pater Fransiskus Desa, OFMConv dan Pater Yohanes Baptis Panaca, OFMConv. Pater Fransiskus selalu memberi motivasi kepada Yosef. Ia percaya dengan pengetahuan yang terbatas, Yosef cukup diberi tugas melayani di paroki pedesaan. Namun Pater Yohanes berpendapat lain, ia mengusulkan dalam rapat superior Conventual di Altamura, 19 Juni 1625, agar Yosef diberi kesempatan agar menjadi imam.

Kepercayaan dua pamannya terjawab, Frater Yosef berhasil mengatasi kesulitan, khususnya dalam pelajaran bahasa Latin. Ia mampu menghafal 12 peraturan Hidup Ordo Fransiskan. Di bawah bimbingan Pater Yohanes, Frater Yosef berhasil dalam studi Teologi Moral dan Teologi Dogmatik. Ia ditahbiskan diakon pada 27 Februari 1627 setahun kemudian, tanggal 18 Maret 1628, ditahbiskan menjadi imam Conventual.

Kendati sudah menjadi imam, Pastor Yosef tetap menyadari keterbatasannya. Berbeda dengan teman-temannya, ia memposisikan diri sebagai paling terakhir dalam komunitas. Ia terbiasa menjadi tukang kebun, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, memelihara kandang hewan, memasak di dapur, dan seringkali mengangkat batu untuk pembangunan biara.

Di malam hari, Pastor Yosef menggunakan waktunya untuk belajar pengetahuan teologi, Kitab Suci, dan Dogma. Kadang kala di malam hari yang sunyi, ia terbangun dan membersihkan gereja. Ia seorang yang berjalan dengan semangat kemiskinan yang tinggi.

Hidup Pastor Yosef pun terus dihiasi dengan serangkaian mukjizat, visitasi, dan ekstase. Ia bisa langsung masuk ke dalam ekstase saat dipicu suara lonceng gereja, suara paduan suara, atau penyebutan nama Allah. Puluhan orang sering melihatnya terangkat dari tanah, ketika sedang mempersembahkan Misa. Sebuah keadaan yang bahkan dirinya sendiri tidak menyadarinya.

Atas semua peristiwa ini, Pastor Yosef selama 35 tahun “diasingkan”. Ia diminta tidak menghadiri paduan suara. Ia dicegah pergi ke ruang makan umum, berjalan dalam prosesi rohani, bahkan dilarang mengadakan Misa bagi umat.

Pastor Yosef pun mengawali hidup dalam kesendirian, begitu juga akhir hidupnya. Ia meninggal dalam ruangan kecilnya di Biara Osimo pada18 September 1663. Ia dibeatifikasi oleh Paus Benediktus XIV pada 24 Februari 1753 di Roma. Kemudian Paus Klemens XIII mengkanonisasinya di Roma pada 16 Juli 1767.

Pestanya dikenang setiap 18 September. Gereja mengangkatnya sebagai pelindung bagi para mahasiswa yang memiliki keterbatasan dalam bidang pengetahuan. Selain itu, ia juga menjadi pelindung para pilot dan para navigator.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP NO.24, 14 Juni 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here