Penderitaan Ini Berharga!

463
Yusuf Marwoto, Kontributor Tangerang/Broadcaster
Rate this post

 

HIDUPKATOLIK.COM – Pandemi belum menunjukkan tanda-tanda garis akhir. Korban berjatuhan dan ketidakpastian merajalela. Hampir semua orang; kaya dan miskin, tua dan muda, sedang menderita. Mereka kehilangan sesuatu dan dilanda kecemasan.  

ADA cerita tiga orang sedang terbaring sakit. Orang pertama berdoa, “Tuhan tolong enyahkan rasa sakit ini dari tubuhku. Aku tolak sakit ini dalam nama-Mu yang kudus.” Lalu orang kedua berdoa, “Tuhan, aku boleh sakit, tetapi aku mohon seminggu saja ya. Karena masih banyak hal yang harus aku kerjakan. Please, seminggu saja.” Lantas orang ketiga berdoa, “Tuhan, jika Engkau menginginkan penyakit ini datang ke dalam tubuhku, aku persilahkan. Hei penyakit, tinggallah semaumu, sebab kamu adalah bagian dari kefanaan diriku.”

Kira-kira dari tiga orang ini, siapakah yang akan lebih bahagia dalam menjalani hari-hari sakitnya? Benar! Orang ketiga. Saat penderitaan menghampiri kita, sebagian besar orang berlari menjauh, bersembunyi, dan sebisa mungkin menghindar dengan segala cara. Padahal, penderitaan adalah bagian dari diri kita yang mungkin belum hadir selama ini. Penderitaan hadir bukan untuk memperlemah, namun ia datang sesungguhnya untuk memperkuat sesuatu yang lemah dari diri kita.

“Ya” kepada Penderitaan

Kita tidak suka penderitaan. Analisis Freud mengatakan, manusia cenderung menghindari rasa sakit dan menghampiri (bahkan ingin mengulangi) rasa nikmat. Maka sangat naluriah, jalan penderitaan senantiasa ditolak oleh manusia. Dunia tidak mengajarkan jalan kebahagiaan melalui penderitaan. Berbagai praksis rekayasa teknologi ditujukan untuk mengurangi dan meniadakan rasa sakit, dan dengan demikian diikhtiarkan memperpanjang rasa bahagia.

Sangat sedikit orang yang memberanikan diri menempuh jalan penderitaan dalam kehidupannya. Bukan untuk dihindari, penderitaan, saat ia menghampiri, bagi sebagian kecil para sahabat yang tercerahkan ini justru diterima dan dirangkul. Mengatakan “ya” pada penderitaan tentu bukan perkara kata-kata. Menerima penderitaan adalah sikap seluruh keberadaan hidup kita; dari kepala sampai ujung kaki, dari pikiran sampai lubuk hati, dari rasa yang fana sampai jiwa yang abadi. Bahwa penderitaan bukanlah sesuatu yang datang dari luar, tetapi sesuatu yang muncul dari dalam diri; sesuatu yang sudah ada dan sekarang mencuat, bagian dari kerapuhan manusia yang bisa merasa sakit dan terluka, kehilangan dan kesepian. Bahwa siapapun yang lahir, pasti punya jatah akan penderitaan. Begitulah hukum alam: tidak ada kehidupan tanpa penderitaan.

Mereka yang tercerahkan menjadikan penderitaan sebagai rahim yang melahirkannya untuk kedua kalinya di dunia ini. Kelahiran pertama adalah kelahiran fisik, kelahiran kedua adalah lahirnya kesadaran baru.  Seorang sahabat saat sedang mandi di sebuah hotel di lantai 5 di Kota Palu beberapa tahun lalu, mengalami bencana gempa dasyat dan ia terkubur dalam reruntuhan puing-puing beton selama 20 jam dalam kondisi telanjang. Hingga akhirnya regu penyelamat menemukannya. Saat mereka mengangkat tubuhnya yang telanjang dari puing-puing beton, ia merasakan peristiwa ini bak kelahirannya yang kedua. Sama saat ia bayi, kini ia pun telanjang keluar dari rahim penderitaan. Ia merasa diberi kesempatan kedua untuk hidup lagi. Kini hidupnya berubah drastis, seiring fajar kesadaran yang terbit di hatinya.

Ada Tujuan dalam Penderitaan

 Hari-hari selama pandemi ini adalah sebuah teks meditasi bagi kita. Sesungguhnya, rahasia kita adalah: bukan jenis dan skala penderitaan yang penting. Yang paling penting adalah apakah kita menapaki masa-masa berat ini bersama Tuhan atau tidak. Seorang sahabat bersujud dalam kesesakan hatinya, “Tuhan, jika penderitaan ini justru membuatku lebih dekat dengan-Mu, biarkan derita ini bersamaku selamanya.” Saat Yesus bergumul dengan tetesan keringat darah di Taman Getsemani, Ia mengatakan “ya” pada hadirnya penderitaan itu, sebab hanya dengan cara itu Ia menyatu dengan Bapa yang Dia cintai. Bukan soal mengalami penderitaan, tetapi soal menemukan Tuhan di dalamnya.

Boethius, seorang filsuf yang hidup di akhir pemerintahan Romawi, mengalami penyiksaan dan eksekusi karena dituduh melakukan penghianatan. Di sel penjara ia menulis buku The Consolation of Philosophy yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi, terjadi menjadi lebih baik. Penghiburan (konsolasi) yang ditawarkan Boethius bagi dirinya dan kita, bahwa penderitaan adalah bagian dari kebaikan tertinggi itu.

Seorang atheis seperti Nietzsche saja melihat penderitaan dengan begitu indah, apalagi kita orang-orang beriman. Dalam karya pendeknya, “The Twilight of the Idols”, (1888), karya yang ditulis sebelum Nietzsche mengalami penderitaan gangguan mental, di dalamnya dia menulis ungkapan, “Apa yang tidak bisa membunuh saya akan membuat saya lebih kuat.”

Allah menaruh sebuah tujuan di dalam setiap penderitaan. Allah ingin membentuk Anda melalui penderitaan. Allah tidak pernah meninggalkan tetapi justru tinggal dalam penderitaan itu bersama Anda. Allah menopang dan menuntun Anda melewati hari demi hari yang menyesakkan ini. “Janganlah takut, karena Aku menyertaimu; jangan cemas; karena Aku adalah Tuhanmu: Aku akan menguatkanmu; Aku akan menolongmu; ya, Aku akan menopangmu dengan tangan kanan kebenaran-Ku.” (Yesaya 41:10).

Yusuf Marwoto, Kontributor Tangerang, Broadcaster

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here