Bu Tejo Adalah Kita

304
P.M. Susbandono, Kontributor/Penulis Buku-buku Inspiratif
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – Jangan dengar berita bohong, karena datangnya dari  kebencian!

Tiba-tiba “Bu Tejo” mencuat hebat.  Media sosial    mengabarkannya.  Nada satir memakai namanya.  Ungkapan sinis mengutip celotehnya.  Film pendek berjudul “Tilik” berhasil viral dengan  jutaan pemirsa.  Singkat kata, “Tilik” dengan “Bu Tejo” sebagai leading actress, kondang kawenang-wenang di seluruh antero negeri

Nama asli “Bu Tejo” tak lagi penting diketahui khalayak.  Publik pun tak berusaha mencarinya.  Tak juga penting siapa sutradara atau produsernya.  Apalagi menelisik maksud pembuatan film itu.  Semuanya tak penting, kecuali “Bu Tejo”, “Bu Tejo” dan “Bu Tejo”.

Film pendek “Tilik” sebetulnya bukan karya istimewa.  Ceritanya simpel, bahkan terlalu sederhana. Teknik cinematografinya pun pas-pasan.  Adegan yang membuat penonton deg-degan atau mendebarkan juga tak ada.  Tapi sekali lagi, ini bukan masalah film, cerita, skenario, sutradara atau kecantikan artisnya.  Ini soal omelan Bu Tejo dengan menjeb bibirnya yang kadang menggemaskan, sering menjengkelkan.

Bermula dari cerita Yu Ning,  sembilanbelas ibu naik truk, bak terbuka, menuju RS guna menengok Bu Lurah yang konon sedang sakit.

“Bu Lurah ambruk”.

Tak ada yang mengecek, apalagi recek, kebenaran informasi itu.  Mereka langsung patungan dan menyewa truk yang dikemudikan oleh Gotrek, kebetulan sekaligus pemiliknya.  Tahu-tahu, adegan sudah menggambarkan hiruk pikuk suara ibu-ibu menggema di tengah jalan.  Drama sesungguhnya dimulai.

Bu Lurah sakit dan dirawat di RS Kabupaten, tapi bukan itu yang menjadi persoalan.  “Tilik” tidak peduli dengan sakitnya Bu Lurah.  “Tilik” malah getol menyorot suasana gegap-gempita selama mereka di atas truk, dalam perjalanan.

Apalagi yang menjadi keunikan “the power of enak-emak”,  kalau bukan “menggunjing”.  Di situlah daya tarik “Tilik”,  dari sanalah Bu Tejo memukau  penonton, begitulah cerita bo’ongan menjadi nikmat untuk didengarkan.

Ternyata, tidak hanya “emak-emak” yang suka perseteruan di atas truk. Buktinya, penonton “Tilik” banyak juga yang laki-laki. Kita suka sensasi.  Masyarakat mudah dihipnotis untuk mempercayai suatu berita, tak peduli benar-salahnya.  Itulah mengapa “Tilik” meledak tak tertahankan.

“Bu Tejo adalah cermin wajah kita”.

Omong-kosong seperti itu disebut “sensasi”.  Dalam Psikologi, “sensasi” dikenal sebagai proses yang dialami manusia untuk menangkap sesuatu, melalui panca indra.  “Sensasi” menangkap stimuli.  Ia bisa netral, positif, atau negatif.  Biasanya, “sensasi” dihubungkan dengan “persepsi”.  “Sensasi” mendahului “persepsi”.

Makna “sensasi” sudah bermetamorfosis menjadi “sensasi” seperti cerita tentang Bu Tejo dan teman-temannya.   Masyarakat tak peduli akan  “kebenaran”, melainkan hanya ingin sesuatu yang menarik untuk dinikmati. Stimulinya menggelitik. Semakin “aneh”, semakin menyenangkan pendengarnya.  Menyedihkan, karena pendengar tanpa sadar percaya begitu saja akan isinya.  Simak saja reaksi para penumpang truk, tetangga Bu Tejo

Entah pengaruh apa, masyarakat senang dengan kisah-kisah seperti itu.  Jalan tol macet panjang karena banyak pengemudi menyempatkan diri nonton kecelakaan yang terjadi di jalur sebelah sana.  Infotainmen laris, sementara  acara TV yang berbau gosip, mendapat rating tinggi.  Semuanya diserap pasar  dengan lahapnya, bak minum es kelapa muda di tengah hari bolong.

Kamus Bahasa Indonesia bahkan sudah “meresmikan” definisi “sensasi” dari kosa kata Psikologi ke arti yang lebih seksi.  “Kabar sensasi” adalah kabar yang membuat kegemparan atau keonaran, yang cepat menarik perhatian masyarakat.

Tak heran kalau Bu Tejo, Yu Ning dan “Tilik”   gampang membekas dalam ingatan masyarakat.  Lebih dari itu, “Tilik” juga berhasil mengirim pesan tentang bahaya “gosip”.  Ternyata, Bu Tejo sedang punya “gawe”.  Suaminya  berniat mencalonkan diri menjadi Lurah.

Kabar bohong atau fake news sedang trendy tak hanya di Indonesia, melainkan di seluruh dunia.   Revolusi digital memudahkan orang untuk menyerang musuh dalam bentuk plintiran fakta hingga bualan.  Caranya mudah, fitnah  diberi baju monster menakutkan dan berbagai cerita khayalan yang seolah nyata.  Pendengar  terkesima, dan percaya.  Tak hanya itu, banyak yang berubah mempercayainya dan menjadi pendukung yang fanatik.

Untung, sudah banyak orang mulai menganut teori  “The power of expectation”.   Berpikir dan berbicara  hal-hal yang baik dan benar akan menuai kejadian yang baik.  Menyebar kasih-sayang, akan membuahkan cinta-kasih.  Membuang kabar menyeramkan, atau menghapuskannya dari ingatan dapat membatalkan peristiwa buruk terjadi.  Positif tak akan melahirkan negatif.  Mencintai mustahil menghasilkan kebencian.

Jangan dengar berita bohong, karena datangnya dari  kebencian.  Jangan mau mendengar fake news, karena “Kebodohan dan kebohongan yang diulang-ulang, lama-lama akan tampak sebagai sikap bijak”.  (Voltaire – François-Marie Arouet : 1694 – 1778, sejarahwan, filosof dan penulis terkenal dari Perancis).

P.M. Susbandono, Kontributor/Penulis Buku-buku Inspiratif

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here