BERHENTILAH MENCARI MAKA KAMU AKAN MENEMUKAN

815
Henry C. Widjaja, Kontributor/Penulis Buku
4.9/5 - (111 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – SUDAH menjadi pakem, jika dikatakan “Carilah, maka kamu akan mendapat” (Mat. 7:7). Namun sebaliknya, “Berhentilah mencari, maka kamu akan menemukan,” juga bukan salah, malah merupakan solusi. Berikut ini contohnya.

○ Seorang gadis religius berusia 28 tahun bilang, “Saya kepingin segera menikah, tetapi susah cari jodoh, karena mayoritas lingkungan kerjaku berbeda agama.” Secara spontan saya menjawab, “Stop mencari. Bukalah matamu. Lihat ke sekelilingmu.” Maksudnya, sih, “Emang lu ga lihat gue?”. Eh, ternyata setahun kemudian si gadis mengirimkan undangan married. Dan iseng saya mengirim WA, “Ini gara-gara, membuka mata?” Dan jawabnya “Bener! Dia adalah teman seangkatan MT, tapi ditempatkan di departemen lain. Terus kebetulan sehabis acara kebaktian kantor, kami hangout. Terus mataku terbuuuka deh. Makasih ya.”

○ Di penutupan sebuah retret pasutri, seorang ibu sharing begini: “Saya sangat suka mengejar momen mukjizat, seperti penampakan Bunda Maria di Spanyol, atau keajaiban Hosti yang menjadi darah di Korea. Begitu mendengar ada berita penampakan, ke mana pun di pelosok di bumi ini, akan saya kejar. Saya merekam semua kejadian itu. Saya punya banyak koleksi rekaman peristiwa-peristiwa ajaib itu. Saya ingin mencari wajah Tuhan. Saya dan suami, masing masing sibuk dengan bisnis sendiri-sendiri. Mengikuti retret ini pun hampir saja gagal karena jadwal kami tidak cocok. Jadi kesempatan kami bertemu ga banyak, belum lagi saya sering traveling demi mencari wajah Tuhan. Tetapi dalam perjalanan pencarian saya, saya menemukan bahwa retret ini jadi semacam halte. Di halte ini saya baru menyadari bahwa wajah yang saya cari, ternyata ada di sebelah saya, ialah wajah Suami saya.”

○ Cerita seorang ayah. “Kebahagiaan saya sebagai karyawan adalah saat membuka amplop bonus. Yessss!!! Karena itulah saya musti all out dalam bekerja untuk mencari kebahagiaan itu. Kantor adalah nomor satu. Dengan bonus, kemarin saya memboyong keluarga saya jalan-jalan ke Amerika. Selama trip itu, saya menemukan bahwa jalan kaki bersama, makan bersama, naik-turun subway bersama anak dan isteri, adalah seperti, kerinduan yang selalu dicari, tetapi sudah lama dilupakan. Lalu, tiba-tiba ditemukan kembali, justru ketika tidak dicari. Dan, eureka! Bukan amplop bonus, tetapi tertawa bersama, tidur bersama, wefi bersama keluarga adalah kebahagiaan yang asli. Bukan tentang bonus, bukan tentang Amerika. Kebahagiaan bukan tentang ke mana, bukan tentang makan apa, bukan tentang belanja apa, bukan tentang makan dimana, tetapi dengan siapa.”

Proses mencari pada era Industri 4.0 ini adalah googling, adalah AI, adalah algoritma. Dan, algoritma memanjakan kita dengan begitu banyak kemudahan dalam mencari, bahkan ia mampu menebak apa yang akan kita cari. Mbah Google mempersilahkan kita mengetik kata kunci, apa saja, yang kemudian dijadikan filter agar hasil pencarian kita fokus dalam lingkup yang lebih sempit, sehingga efektif. Lalu merujuk kata kunci yang kita masukan, via big data, Mbah Google menyuapi kita dengan semua informasi yang kita suka atau menjadi perhatian kita. Semua tersedia, sehingga kita menyangka bahwa opini, selera dan keprihatinan kita adalah juga opini, selera dan keprihatinan dunia, adalah yang paling benar. Tentu kita masih ingat, masyarakat terpecah menjadi 01 dan 02, dan saling berseteru, bahkan sampai sekarang, sehingga ada yang bertanya, “Apakah umat manusia akan semakin cerdas atau semakin bodoh?”

○ Sebuah contoh cocokologi, sebuah filter yang mengecohkan. Ketika mencari sosok Raja, yang belum pernah jumpa, filternya spontan begini: makannya pasti ala fine dining; ke mana-mana dikawal nguing-nguing; outfit-nya elegan; kesehatannya rupawan; dan rumahnya pasti istana. Tetapi, ternyata ciri Sang Raja 180 derajat dari filter yang panjang itu. Beliau mengidentifikasi dirinya sebagai orang yang hina dina. Dengan kecele, para pencari itu bertanya kepada Sang Raja, “Kapankah kami melihat Engkau lapar, atau haus, atau sebagai orang asing, atau telanjang, atau sakit, atau dalam penjara dan kami tidak melayani Engkau?” (Mat 25:44).

Yah, begitulah proses pencarian kita dalam keseharian. Secara spontan, bawah sadar kita juga memasang filter di mata dan pikiran kita. Kita hanya mau melihat, membaca, mendengar apa yang kita suka, yang kita tahu. Alamiah, otomatis, tiada yang salah. Namun dengarlah apa yang dikatakan oleh orang-orang manufaktur, “Melihatlah dengan kaki. Pergilah langsung melihat ke tempat dimana masalah terjadi.” Kita telah belajar ketika di sekolah dulu, bahwa teori itu begitu rumit, sedang penerapannya di dunia praktek ternyata sederhana saja.

Jadi pakem itu salah? Tentu tidak. Terus mencari atau berhenti mencari, poinnya adalah ‘eling’ terhadap filter yang spontan kita pasang. Ketika berhenti mencari, kita sempat menanggalkan “kacamata hitam penangkal sinar mentari” untuk berani menatap matahari, alias mencopot filter yang terpasang dalam pikiran, lalu membuka mata, melihat ke sekeliling kita, meresapi dan menyadari rahmat yang memang sudah tersedia sejak semula tanpa diminta. Rahmat yang tidak kita indahkan.

Wuih, cantik nian, jika momen puncak ini dibalut senandung desir angin pucuk cemara, “… I see the wind. Oh, I see the trees. Everything is clear in my heart. I see the clouds. Oh, I see the sky. Everything is clear in our world. Oh my love for the first time in my life. My mind is wide open …” (Oh My Love, John Lennon).

Henry C. Widjaja, Kontributor/Penulis Buku “Merayakan Sang Momen, Kumpulan PuisiFoto Hitam Putih”/@henrycwidjaja/7 Oktober 2020

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here