Lima Manggis dan Dua Salak: Apa yang Seorang Tukang Buah Dapatkan dari ‘Percaya’

217
Margareta Astaman, Kontributor/CEO Java Fresh, Penulis & Digital Content Avisor
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM –  “YA berdoa saja, Bu!” Adalah satu jawaban yang sering saya dengar, setiap kali saya bertanya kepada para petani, terkait prediksi panen, volume petikan, kualitas buah atau maupun hal-hal lain terkait hasil bumi dalam usaha ekspor buah segar yang saya jalankan. Sesuatu yang biasanya akan saya jawab, “Ya nggak bisa gitu dong!”

Maklum, sebelum saya menjalankan usaha ekspor, saya bekerja di bidang konten digital. Sebuah bidang yang sebab-akibatnya sangat jelas dan bisa selalu diukur. Setiap usaha, setiap data yang masuk akan dapat ditelusuri hingga ujungnya. Dari setiap tautan kita akan dapat mengetahui, berapa yang klik, siapa yang klik, berapa lama ia membacanya, yang klik masih jomblo atau sudah punya pacar, akun instagramnya apa, mau liburan ke mana, suka bubur yang diaduk atau tidak, dan lain sebagainya.

Teknologi memastikan segala sesuatunya terkontrol dan terukur, sehingga wajar saja, ketika saya banting setir menjadi eksportir beberapa tahun lalu, saya sulit menerima jawaban yang terkesan pasrah dan tak terjamin itu.

Dan hari itu, jawaban berdoa saja kembali saya terima. Di saat kami sedang mempersiapkan pengiriman salak dengan kontainer laut untuk pertama kalinya. Target kami adalah 10 ton salak, sedangkan yang ada di rumah kemas kami saat itu, baru delapan ton, masih harus disortir. Batas penutupan kontainer adalah besok subuh. Saat itu sudah magrib.

“Ya nggak bisa dong Pak, kalau cuma berdoa aja, dicek kebunnya, berapa yang bisa dipetik, dikasi tanda, dimasukkan datanya ke komputer, nanti ditabulasi, dianalisa, jadi kita bisa tahu metiknya di mana sekarang, bukan ngarepin Tuhan,” saya menjawab sewot.

Letih, saya pun pulang ke tempat menginap saat itu, rumah seorang kerabat di desa tetangga. Dengan muka kusut saya mengeluh pada Bulik. Tapi ya maklum Bulik juga orang desa itu, bukannya membela saudara, Bulik malah membela petani, “Nak, kamu kok kurang percaya? Jika Tuhan bilang YA waktunya hari ini packing, tidak akan ada yang bisa mencegah kamu mengumpulkan barang. Tapi jika Tuhan bilang bukan hari ini, tidak ada yang dapat kamu lakukan yang bisa membuat pengiriman ini berjalan,” ujarnya.

Alih-alih dibela, saya malah disuru berdoa (lagi) dan tidur. “Sudah, istirahat saja, yang diusahakan manusia sampai sini,” ujarnya. Jadi warga minoritas, maka saya menyerah, memutuskan mengikuti saran Bulik. Berdoa, tidur, dan subuh-subuh bangun untuk kembali ke rumah kemas.

Ketika saya datang, suasana rumah kemas sedang heboh-hebohnya. Para ibu-ibu pekerja sedang kejar setoran menyortir salak dan mengemas. Pada pukul lima subuh, kontainer selesai terisi 10 ton. Seorang pengemas menghampiri bertanya apakah sisa satu ton salak yang sudah dikemas juga boleh ikut kontainer, sayang jika ditinggal.

“Pak kemarin kan salaknya cuma delapan ton?” Saya bertanya tidak percaya. Tapi pertanyaan saya terasa tidak relevan bagi para petani dan pengemas. Hal yang baik biarpun tidak masuk akal bukan sesuatu yang perlu dipertanyakan bagi mereka. “Ya berarti doa kita dijawab, Bu,” jawab mereka tenang, sambil mengumpulkan sisa sortir salak. Sekitar dua ton.

Tentu saja, kejadian 5 roti dan 2 ikan versi salak ini tidak sering terjadi. Lebih banyak hal-hal yang tidak kesampaian meskipun saya sudah berdoa sampai berbusa. Hal-hal yang tidak masuk akal ke arah yang merugikan pun sering terjadi. Akan tetapi, respons para petani dan pengemas saya yang tinggal di desa selalu sama: Percaya dan Pasrah.

Dari orang-orang desa yang sederhana, jauh dari kata prediksi dan akurasi, ada kepasrahan yang luar biasa dalam doa. ‘Berdoa saja’ bagi mereka bukan berarti ‘menyerah karena yang diminta tidak masuk akal’ seperti yang sering saya sebagai anak muda kota ini artikan.

‘Berdoa saja’ adalah sebuah simbol kepercayaan bahwa ketika manusia sudah melakukan usaha maksimalnya, Tuhan akan bertindak. Dan ketika hasil yang didapatkan tidaklah sesuai yang dengan yang diharapkan, alih-alih merasa doanya tidak dijabah, mereka melihatnya sebagai bentuk kehendak Tuhan yang perlu dihormati. Karena Tuhan tetap merespon doa, hanya jawaban-Nya beda dengan yang kita mau. Karena Tuhan pasti memberi yang terbaik, termasuk dalam kegagalan dan rencana yang tertunda.

Teknologi telah membantu saya dalam hidup. Bahkan ada masanya karier saya sepenuhnya didasari oleh teknologi digital. Namun terkadang teknologi, arus cepat informasi, membuat saya merasa tahu segalanya, merasa bisa mengontrol segalanya, dan tidak membiarkan Tuhan mengambil perannya dalam hidup.

Memang, bahkan dalam pertanian, sedikit inisiatif teknologi akan sangat membantu. Pendataan membantu prediksi panen yang lebih akurat, tidak bergantung pada ‘pengalaman tahun lalu’ saja. Riset akan membantu menghasilkan panen yang lebih baik, yang tidak bergantung pada hujan semata, dan pada akhirnya, memberikan hasil yang lebih baik pada petani. Tapi mungkin terkadang kita perlu melepaskan semua itu, untuk dapat kembali pada kepasrahan dan kepercayaan dalam doa.

Saya mulai membiasakan diri menerima jawaban berdoa saja, seperti hari ini.

“Ibu berdoa saja ya, mudah-mudahan panennya banyak dan baik hari ini,” ujar seorang petani ketika ditanya berapakah volume manggis yang bisa didapatkan untuk pengiriman, apakah bisa memenuhi kuota ekspor kami.

“Amin,” jawab saya.

Sore ini, saya kembali mengecek, jika manggis yang dinanti sudah tiba di rumah kemas.

“Pak, gimana? Sudah jam segini kok belum ada kabar manggisnya?” saya bertanya.

“Ya belum” jawabnya nggak kalah ngegas, lalu ia menilik curiga,”Ibu sudah berdoa belum?”

Margareta Astaman, Kontributor/CEO Java Fresh, Penulis & Digital Content Advisor

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here