Buku Cetak akan Bangkrut?

148
Suasana Pameran Buku Frankfurt tahun 2019| Dok. www.slanted.de
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM— Pameran Buku Internasional di Frankfurt (Frankfurt Book Fair) ke-72, tanggal 14—18 Oktober pekan kemarin ibarat bayangan kebangkrutan industri buku cetak.  Benarkah demikian? Delapan bangsal masing-masing seluas 5.000 m2 yang biasanya disesaki gerai-gerai penerbit buku dan industri yang terkait dari seluruh dunia, kosong. Hanya ada satu bangunan untuk mengendalikan secara daring pameran terbesar dan terpenting dunia perbukuan itu. Tema tahun ini, All together nowon air. In the city. At  the fair.

Pameran yang sudah berlangsung di jantung kota pinggir Sungai Main itu sejak tahun 1949 tanpa pernah absen sekali pun. Jerman selalu memanfatkannya sebagai pamer keunggulan dan  kebesaran. Ukuran lokasinya kurang lebih seluas bekas Bandara Kemayoran, Jakarta. Selalu pada bulan Oktober, sekitar enam hari, pameran dikunjungi rata-rata 300.000 orang, termasuk peserta pameran, ajang menangguk keuntungan bisnis dari sewa gerai, tiket masuk, penjualan berbagai produk kerajinan dan makanan, jasa akomodasi dan pariwisata. Pameran Buku Frankfurt ibarat perpaduan antara peradaban produk pengetahuan dan bisnis.

Beberapa pameran serupa dengan bentuk lebih kecil, seperti London Book Fair, ditunda seminggu sebelum pameran berlangsung Maret yang lalu. Pameran Frankfurt jalan terus. Tidak dalam bentuk fisik seperti tahun-tahun sebelumnya, tetapi virtual. Maka disebut special edition, semacam bookfest digital dengan harapan tahun depan bisa berlangsung kembali seperti sebelumnya. Indonesia di tahun 2015 pernah sebagai tamu kehormatan, kesempatan yang secara bergilir diberikan pada negara-negara peserta. Kali ini absen tidak mengirim delegasi. Sementara di Jakarta pada pertengahan Oktober yang lalu diselenggarakan pameran buku dengan tajuk internasional.

Dalam Pameran Buku Frankfut tahun ini tercatat sebagai peserta lebih dari 4.400 entri, terdiri dari penerbit, agen hak cipta, dan provider. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Jerman mendominasi dengan jumlah peserta dan jumlah judul buku terbesar. Lebih dari 1.200 peserta berasal dari negara tuan rumah, disusul Inggris dan Amerika Serikat masing-masing 418 dan 332—tiga negara yang selalu duduk di urutan  kedua dan ketiga. Sesudahnya Kanada dan Cina masing-masing 126, Swiss (104), Perancis (116), Kanada dan Austria (90), dan Brasil (67), dan seterusnya. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kali ini tampil 750 pembicara yang berceramah secara virtual.

Perhelatan akbar rutin di bulan Oktober sejak 72 tahun itu, seiring merebaknya pandemi covid-19, diwacanakan dibatalkan. Tetapi akhirnya tetap diselenggarakan. Menurut Juergen Boos, Direktur Pameran Buku Frankfurt, sebuah keputusan tegas, dan niscaya semua stakeholders akan melihatnya sebagai secercah harapan bagi kelangsungan hidup kebudayaan dan industri penerbitan. Bentuknya virtual, pendaftaran secara daring. Di saat yang sama, terjadi kemerosotan besar jumlah peserta, tahun lalu lebih dari 300 peserta tahun ini sekitar 100 peserta.

Mengunjungi pameran itu tahun 2000, 2004, 2008, 2009, 2012, 2014, saya menyaksikan perkembangan sebuah industri yang berbasis modernitas kalau industri buku bisa disebut sebagai  representasi. Tidak hanya dalam perkembangan dunia intelektual, tetapi juga industri teknologi dan bisnis. Dalam sekitar lima hingga tujuh hari pameran tiap tahun itu, selain dalam rangka tugas jurnalistik peristiwa kemanusiaan, saya bertemu dengan beragam manusia dari berbagai belahan dunia, dan menyaksikan perkembangan pesat industri perbukuan, seperti dari cetak ke digital dan print on demand, dari membaca lewat huruf-huruf di atas kertas ke dalam bentuk perangkat keras ebook reader.

Pada tahun-tahun 80-an, pameran ini lebih sebagai arena berburu hak cipta. Dalam perjalanan tahun, pameran bukan hanya arena berburu hak cipta sebab sudah bisa diakses lewat internet, tidak lagi jual beli buku, melainkan pameran industri  peradaban manusia. Mengunjungi pameran berarti mengkonfirmasi. Selama pameran, kalau pintar-pintar membujuk penjaga gerai, ada saja buku yang diberikan atau dibeli, walaupun resminya tidak boleh ada transaksi. Obral buku baru diizinkan hari terakhir sebelum penutupan.

Sepinya lahan pameran, menggambarkan disrupsi digital dalam dunia perbukuan dunia, termasuk  Indonesia. Bagi industri penerbitan buku cetak terutama, karena pandemi dan sebelumnya perkembangan cepat teknologi informasi, ibarat jatuh tertimpa tangga. Di saat yang sama, pembajakan buku meraja lela. Buku dalam bentuk cetak—seperti halnya koran cetak—tergantikan digital. Dengan adanya pandemi, masyarakat belum leluasa berbelanja di toko-toko konvensional. Di antaranya, sebuah survei oleh Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) pertengahan tahun ini memperlihatkan selama pandemic ada 58,2 persen penerbit di Indonesia mengalami penurunan penjualan melebihi 50 persen. Selama pandemi, 54,2 persen penerbit menemukan pelanggaran hak cipta dalam bentuk buku cetak, 25 persen melalui PDF gratis.

Kondisi media cetak mengalami kondisi yang kurang lebih sama. Beberapa koran oplah besar dunia tutup karena tidak bisa bersaing dengan media digital atau paperless. Perkembangan teknologi informasi memang sudah diantisipasi industri media cetak. Termasuk di Indonesia. Namun antisipasi dan penyesuaian  media cetak kalah cepat. Media cetak tertatih-tatih. Orang mulai melirik ramalan Thomas Meyer, bahwa media cetak akan bangkrut (kukut) dengan penerbitan terakhirnya April 2040 (The Vanishing Newspaper: Saving Journalism in the Information Age, terbit 2004).

Agar tidak kukut, media cetak harus kreatif mengembangkan kelebihannya dibanding media elektronik (televisi) dan digital. Kalau tidak, sangat mungkin ramalan itu terjadi yang di hari-hari ini sudah terasa. Bagi industri buku cetak – selain karena faktor pandemi—sepinya Pameran Buku Frankfurt 2020 merupakan bayangan kebangkrutan. Benarkah demikian? Semoga tidak!

 

St. Sularto, Kontributor, Peminat masalah perbukuan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here