CATATAN “DARI DALAM’’ UNTUK UU CIPTA KERJA: KALAU EKONOMI JEBLOK MAU BIKIN APA?

681
RUY Pamadiken, Kontributor
4/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – WABAH Covid-19 dan PSBB telah membuat Pak Padmo dan Bu Padmo bingung bagaimana mempertahankan warung mereka yang semakin sepi pembeli, modal kerja semakin berkurang untuk kebutuhan keluarga.

“Terus bagaimana, Pak, kalau jualan saja susah sekarang ini?” ujar Bu Padmo.

“Ya, pertama harus sabar dan tawakal Bu. Kita perlu menghemat untuk semua pengeluaran. Anak-anak mesti memperhatikan kalau menyalakan lampu harus mematikan lagi. Malam hanya lampu depan saja yang hidup. Kurangi pengeluaran kecuali yang untuk kebutuhan makanan. Pembayaran sekolah anak-anak nanti saya carikan solusinya”

“Oalah kalau soal pengeluaran sudah saya pepet-pet, Pak,” kata Bu Padmo.

“Kalau begitu saya harus menambah pendapatan, tidak ada jalan lain. Saya mau mempermudah cara supaya orang lain mau membeli atau menambah modal ke warung kita.”

Itu dialog Pak Padmo dan Bu Padmo tentang bagaimana mereka surviving di tengah kondisi ekonomi yang sulit. Sebuah potret kecil landskap ekonomi keluarga. Namun barangkali hal itu persis sama dengan yang dipikirkan oleh Pak Jokowi (Presiden Joko Widodo, Red.). Memikirkan bagaimana Indonesia keluar dari krisis karena dampak pandemi, yakni dengan menambah income negara melalui pembukaan kran investasi bagi Indonesia. Fixed cost untuk belanja pegawai dan lain-lain barangkali sudah sulit untuk diturunkan, dan pilihan investasi menjadi salah satu solusi yang diputuskan oleh pemerintah. Logikanya sederhana, tidak sulit-sulit amat.

Akan tetapi negara Indonesia bukanlah rumah tangga Pak Padmo. Indonesia mempunyai 268.583.016 penduduk, 17.491 pulau, 1.339 suku, 836 bahasa dan 1.300-an dialek, 2.204 komunitas adat, 7.894 tradisi, 979 cagar budaya dan jumlah keragaman-keragaman lainnya. Menjadikan Indonesia termasuk negara besar sekaligus paling kompleks di dunia. Belum lagi apabila didata sumber daya alam dan sumber keanekaragaman hayatinya, makin nampak bahwa Indonesia menyimpan  potensi sangat besar untuk menjadi kuat dan digdaya.  Potensi sumber daya ekonomi  maupun pasarnya benar-benar huge. Seperti manikan di garis khatulistiwa, seperti madu di tengah banyak kumbang. Karena itu sangat besar minat para investor asing atau negara asing  untuk menginvestasikan modalnya ke Indonesia. Namun hal itu belum optimal karena hambatan-hambatan yang ada di dalam negeri sendiri.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak mudah berinvestasi di Indonesia, baik bagi pemodal dari dalam negeri sendiri maupun pemodal asing. Mulai dari kepemilikan tanah untuk produksi sudah menimbulkan biaya besar baik resmi maupun tidak resmi, ditambah izin-izin lainnya. Ada sekitar 15 (lima belas) izin atau dokumen legal yang perlu diurus dari berbagai instansi sampai produksi bisa jalan (antara lain, IMB, pendirian PT, NPWP, Domisili, Tanda Daftar Perusahaan, SIUP, Izin Prinsip Penanaman Modal/BKPM, Izin Gangguan, Izin Usaha Industri, UKL/UPL, AMDAL, Persetujuan Lingkungan, Rekomendasi dari Kecamatan, SK-IKR/SPPL dari Dinas Pertanahan dan Tata Ruang, Izin Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, Izin Lalin/Transportasi, sertifikasi produk, bea cukai) dan masih banyak lagi. Jangan lupa bahwa setiap proses yang dilalui selalu membutuhkan biaya yang relatif tidak kecil, ditambah biaya-biaya keamanan. Untuk membuat sebuah PT melalui notaris saat ini bisa dikenai biaya 5-10 juta. Dengan semua izin atau dokumen legal yang harus dipunyai, sebuah usaha produksi kelas menengah, biaya yang dikeluarkan bisa di atas 100 juta rupiah. Karena itu banyak calo perizinan menawarkan jasanya.

Hal-hal tersebut ditambah dengan masalah yang muncul karena peraturan-peraturan perundangan yang saling tumpang tindih, redundant, tidak mendukung bahkan saling bertentangan, membuat para pengusaha gamang. Sudah dicoba di banyak daerah dengan membuat Perizinan Satu Atap, namun kelihatannya praktik percaloan masih ada. Lokasinya satu atap namun banyak meja. Iklim investasi dan kemudahan berinvestasi di Indonesia masih kalah dengan Vietnam, Thailand dan kalah jauh dengan Cina apalagi Singapura. Para investor berpikir dua kali untuk berinvestasi di Indonesia, belum ditambah dengan permasalahan monopoli atau oligopoli, persaingan usaha yang tidak sehat, korupsi, masalah ketenagakerjaan dan bargaining Serikat Pekerja atau Serikat Buruh.

Ketenagakerjaan menjadi masalah krusial tersendiri di Indonesia karena tidak jarang sudah menjadi komoditi.

Sebagai Pak Padmo-nya negara Indonesia, Pak Jokowi ingin agar semua itu diubah total, disederhanakan menjadi satu undang-undang bernama Omnibus Law, sebuah istilah untuk penampungan dan penyederhanaan banyaknya Undang-Undang atau peraturan yang bersilang sengketa menjadi satu payung besar undang-undang. Dengan demikian investor tidak perlu menghadapi persoalan yang rumit kalau mau berinvestasi. Maka bisa dibayangkan berapa UU dan pasal yang harus disesuaikan karena berinterseksi.  Ada 77 undang-undang, 1.200-an pasal-pasal dan sekitar 7.000 DIM (Daftar Isian Masalah) yang dibahas oleh Panitia Kerja Badan Legislasi DPR RI dan Pemerintah, yang dikomando oleh Kemenko Perekonomian.

Proses pembahasan berjalan selama 6 bulan, termasuk di dalamnya beberapa hari Sabtu dan Minggu. Rapat-rapat dan dengar pendapat dapat diikuti melalui laman Facebook, Youtube atau live streaming dari TV Parlemen. Kecuali ada beberapa kali rapat diputuskan tertutup atau setengah kamar ketika tidak ada jalan keluar diskusi atau perdebatan memanas. Pemerintah dan DPR sebelum pembahasan dimulai sudah melakukan dengar pendapat dan meminta masukan dari organisasi-organisasi profesional, serikat pekerja, organisasi masyarakat, para pakar dan akademisi, karena tidak ada satu orang pun yang berpengalaman menyusun model hukum anglo-saxon Omnibus Law ini di Indonesia.

Saya masih ingat ketika Badan Legislasi DPR mengundang beberapa pakar ahli hukum untuk menjelaskan apa itu Omnibus Law. Artinya DPR pun sudah sangat hati-hati apabila akan melakukan pembahasan. Kalau kemudian Presiden tetap memutuskan untuk mengajukan rancangan ini ke DPR dan diundangkan, maka saya angkat topi kepada Pak Presiden karena keberaniannya memperbaiki  belantara hukum dan perundangan yang ada di Indonesia menjadi lebih mudah untuk rakyat dan siapapun yang mau berinvestasi, termasuk menanggung risiko penolakan dari berbagai kelompok, namun dia bergeming karena pandangannya jauh ke depan bagi bangsa ini.

Saya hanya akan mengulas beberapa substansi perubahan pokok sekaligus krusial di dalam RUU Cipta Kerja ini.

Perizinan Berusaha

Pemerintah dengan sangat jeli melihat apa yang menjadi pokok masalah investasi dan menghambat investasi di mana-mana di seluruh Indonesia, yakni perizinan. Hal ini barangkali tidak terlepas dari pengalaman Pak Jokowi sendiri sebagai pengusaha kayu pada waktu itu, dari beli kayu sampai ekspor. Dia paham apa yang menjadi kendala para pengusaha, yang pada gilirannya menjadi kendala investasi dan berakibat langsung kepada tersedianya lapangan kerja. Ini yang harus diatur terlebih dahulu. Oleh karena itu salah satu hal yang menyolok dari RUU Cipta Kerja ini adalah bahwa semua yang terkait dengan izin yang tadinya ada di dalam kewenangan kementerian atau pemerintah daerah dibahas dalam cluster tersendiri. Intinya adalah bahwa semua izin tersebut dikembalikan kewenangannya ke pemerintah pusat, dan dalam hal ini kewenangan tertingginya ada di Presiden. Maksud dan tujuan ini bukan berarti pemerintah menjadi otoriter, melakukan sentralisasi atau mengkhianati UU Otonomi Daerah, karena kewenangan ini akan dikembalikan kepada kementerian maupun Pemerintah Daerah melalui perundangan atau Peraturan Pemerintah.

Perubahan paradigma atau sistematisasi ini akan membuat kewenangan pemberian izin tidak bisa dilakukan semena-mena oleh kementerian atau pemerintah daerah namun berdasarkan perundangan atau peraturan pemerintah sebagai pembantu Presiden. Di samping diharapkan akan lebih teratur, terdata di pusat namun juga waktu yang bisa lebih cepat. Dalam hal ini pemerintah menjanjikan seluruh proses perizinan melalui online dengan waktu yang jauh lebih singkat. Bisa dipahami bahwa pekerjaan jasa perizinan dan atau percaloan akan terkikis habis, baik yang dilakukan oleh swasta maupun oleh para birokrat sendiri, atau kerja sama di antara keduanya.

Kalau dicermati, seluruh proses perizinan yang dikembalikan ke pemerintah pusat ini hampir meliputi seluruh Kementerian, terutama yang terkait dan pasal Undang-Undangnya terinterseksi dengan RUU Cipta Kerja (antara lain Kelautan dan Perikanan, Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Pertanian, Ketenagakerjaan, Penyiaran, UMKM).

Saya mengikuti pembahasan dan rapat-rapat Panitia Kerja Badan Legislasi melalui live streaming TV Parlemen atau melalui Youtube channel. Perdebatan pemerintah atau kementerian terkait dengan anggota Panitia Kerja Badan Legislasi DPR (yang diwakli oleh semua fraksi partai) ditambah dengan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) menurut saya berbobot, rasional dan belum pernah dilakukan voting untuk persetujuan sebuah pasal.

Utusan masing-masing fraksi pun sangat aktif memberikan masukan-masukannya, bahkan terkadang bersuara keras. Dinamika politik dan demokrasi terbuka dan terbaca di media sosial dengan narasi dan diksi yang terukur dan elegan. Akan tetapi kalau saya mencermati kolom public chatting di Youtube, di sana hampir tidak ada argumentasi. Kalimat-kalimatnya hanya  menolak Omnibus Law dengan pasal yang terkait dengan ketenagakerjaan (yang belum selesai dirumuskan). Padahal RUU Cipta Kerja ini menyangkut keseluruhan perbaikan atau penyederhanaan terkait investasi. Sembilan puluh Sembilan persen di dalam public chat isinya menolak. Dinamikanya berbeda, atau yang dihembuskan berbeda.

Sikap pemerintah cukup terbuka terhadap masukan-masukan dari para wakil rakyat. Klausul mengenai pendidikan keluar dari RUU Cipta Kerja kecuali yang KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) adalah contoh hasil perdebatan yang rasional dan terhormat. Musyawarah untuk mufakat. Semua fraksi juga kompak.

Based on Risk Criteria

Filosofi dasar yang disepakati oleh Pemerintah dan para wakil rakyat di Panitia Kerja Badan Legislasi dalam menetapkan perizinan adalah berbasis risiko. Artinya perizinan diberikan setelah melalui pendalaman mengenai besaran risiko yang secara potensial diakibatkan oleh sebuah investasi atau proses produksi, di seluruh kawasan negara Republik Indonesia.

Kompleksitas dan dampak risiko adalah yang berhubungan dengan impactnya kepada ketahanan negara dan masyarakat. Pada intinya terbagi atas tiga kriteria risiko yakni yang berisiko tinggi, menengah dan kecil. Perizinan hanya dibutuhkan untuk usaha yang mempunyai dampak risiko besar dan tentunya melalui syarat-syarat perizinan yang ketat. Cara berpikir ini akan membuat klasifikasi yang jelas mengenai sistematika perizinan, sampai kepada siapa dan bagaimana izin-izin itu seharusnya diproses.

Beberapa kementerian bahkan sudah mempersiapkan infrastruktur digitalnya. Dengan demikian diharapkan investor, pelaku usaha, birokrasi dan masyarakat paham atas transparansi proses ini, sehingga bisa sama-sama memantau apabila ada yang nakal. Sebuah terobosan yang cukup revolusioner.

Prinsip Saling Berkorban

Tanpa prinsip ini barangkali sebuah langkah ke depan tidak akan pernah didapat. Membahas 7000-an Daftar Isian Masalah (DIM) yang terdiri dari pasal-pasal dan ayat bukanlah hal yang mudah. Banyak wartawan dan TA yang tertidur di balkon, namun wakil-wakil rakyat dan wakil-wakil pemerintah di Panitia Kerja Badan Legislasi sangat antusias dari waktu ke waktu.

Salut untuk wakil-wakil pemerintah yang selalu datang tepat waktu dan bersedia melayani permintaan-permintaan anggota Panitia Kerja DPR, misalnya harus menghadirkan Dirjen ini atau itu, atau presentasi harus disiapkan dalam waktu tertentu. Para peserta pembahasan juga banyak yang bergelar akademis tinggi seperti profesor dan doktor, para praktisi berpengalaman, pengacara dan lain-lain.

Prinsip ini saya melihat dijalankan oleh kedua belah pihak dengan sangat baik melalui fasilitator handal ketua Panja dan para wakilnya dari fraksi-fraksi. Ada banyak pasal dan DIM yang substansinya diubah, redaksionalnya diperbaiki atau dirumuskan kembali oleh Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi, yang terdiri dari unsur DPR dan Pemerintah. Mereka bekerja sama. Pasal-pasal yang dirumuskan adaa di titik keseimbangan antara kepentingan pemerintah dan kepentingan rakyat yang diwakili oleh anggota DPR di dalam Badan Legislasi.

Saya akan mengambil contoh pasal kontroversial yang menjadi salah satu pemicu demo besar-besaran dari Serikat Buruh/Pekerja dan mahasiswa, yakni tentang Pesangon. Di dalam UU Ketenagakerjaan 13 Tahun 2003, karyawan yang mengaalami pemutusan hubungan kerja dengan masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun bisa mendapatkan total pesangon (akumulatif) mencapai 32 (tiga puluh dua) kali gaji.

Jumlah pesangon ini dipandang memberatkan pengusaha, tentunya dengan berbagai argumentasi. Di sisi lain jumlah pesangon ini yang pasti dipertahankan oleh Serikat Pekerja/Buruh, agar tidak berkurang. Pemerintah, untuk tujuan menarik investasi, membuat rancangan “tengah” sebagai berikut: maksimal pemberian pesangon adalah 19 (sembilan belas) kali gaji yang harus dibayarkan oleh pengusaha ditambah 6 (enam) kali melalui Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) – hal dan pasal baru – sehingga total pesangon yang diterima oleh pekerja (akumulatif) mencapai 26 (dua puluh enam) kali gaji. Pemerintah memberikan data bahwa rata-rata putusnya hubungan kerja di perusahaan berkisar di antara 10 sampai dengan 15 tahun masa kerja.

Sebagai catatan JKP akan diambilkan dari budget pemerintah. Pengusaha dan pekerja sama sekali tidak menyetorkan iuran yang dipotong dari gaji atau pendapatan pengusaha. Pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja mendapatkan fasilitas lain dari pemerintah yakni 1). Akses informasi pasar kerja, 2). Pelatihan kerja selama waktu tertentu untuk upskilling.Tujuannya adalah pekerja yang terkena PHK bisa segera mendapatkan pekerjaan kembali.

Mencermati rancangan di atas memang ada hak-hak yang berkurang dari sisi pekerja  apabila dibandingkan dengan UU no 13 Tahun 2003, namun di sisi lain RUU Cipta Kerja ini memberi kepastian karena pengusaha diringankan atas kewajibannya, dan agar tiak terlalu jauh perbedaan angka pesangonnya, pemerintah memberikan tambahan 6 (enam) kali gaji plus info dan pelatihan agar sampai ke angka tengah. Memang tidak ada yang menang mutlak atau kalah mutlak dari sisi pekerja yang diwakili oleh DPR dan Pemerintah, namun kesediaan berkorban untuk kepentingan yang lebih besar yang membuat bangsa ini maju.

Kita perlu meletakkan hal-hal kecil yang dilihat kontroversial dalam desain besar untuk kemajuan dan kesejahteraan Ibu Pertiwi di bawah kepemimpinan yang sah dan konstitusional.

RUY Pamadiken, Kontributor (Tangerang)

 

 

 

 

1 COMMENT

  1. Artikel yang cermat: ominibus law jadi modalitas meminimalisir korupsi perizinan yang melumpuhkan fungsi utama birokrasi.

    Ominibus law juga memicu laju usaha dan laju transaksi sehingga repeat order memungkinkan terjadi faktor pengali bagi pekerjaan untuk mendapatkan keuntungan. Faktor pengali ini sering tidak di. Lihat oleh pekerja dan birokrasi masih sering memainkan atau dipermainkan pelaku usaha untuk menekan faktor pengali yang terjadi sehingga faktor pengali jadi banci.

    Negeri agamis tetapi bau busuk berhembus sengit, memandulkan makna negara.

    Negara dihujat oleh para penghianat itu sendiri.

Leave a Reply to Agustinus Sugeng Agus Priyono Cancel reply

Please enter your comment!
Please enter your name here