LIMA BAHASA, SATU INDONESIA

312
Ita Sembiring, Kontributor, Pekerja Seni
4.3/5 - (6 votes)

HIDUPKATOLIK.COMAda soempah pada 28-10-1928 lalu

Dari para pemoeda segala perjuru  

Tentang ajakan berpadu

Dalam Tanah Air, Bangsa dan Bahasa satu

Indonesia…..!

Terlahir sebagai anak Indonesia, bertumbuh di Nusantara, tentu saja serta merta fasih berbahasa Indonesia. Tinggal satu pertanyaan, apakah punya keinginan bersatu? Tentu saja! Dari kecil hingga tidak lagi muda, saya tetap menginginkan sebuah persatuan terjaga dibungkus dalam kebanggaan sebagai orang Indonesia.

Ketika baru lulus kuliah, sama seperti para sarjana baru lainnya, langsung sibuk cari lowongan kerja. Entah kenapa syarat utama yang selalu tertulis di awal harus  berpengalaman di bidangnya  minimal tiga tahun, dan kemampuan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya. Konon kalau menguasai bahasa asing lebih dari satu bakal mudah mendapat kerja. Di hati kecil jadi berpikir, kenapa dulu tidak kuliah jurusan bahasa Inggris saja. Sekadar catatan, ini kisah di masa saya cari kerja ya. Tolong jangan tanyakan era kapan, tapi pastinya tahun di mana para generasi milenial bukan saja belum lahir tetapi mungkin baru konsep.

Dari sekian banyak syarat itu, yang bisa saya penuhi biasanya hanya usia dan jenis kelamin. Sisanya, berpengalaman minimal sekian tahun, kemampuan bahasa asing, penampilan menarik dan lain lain belum terpenuhi. Bagaimana mungkin punya pengalaman minimal dua atau tiga tahun sementara baru saja lulus. Sekiranya ada pengalaman kerja, pastilah saya semasa kuliah bolos terus karena sambil kerja. Atau sedikitnya menjadi orang paling sibuk sejagad karena pagi sampai sore kerja dan malam kuliah.

Begitulah, akhirnya toh menjalani beberapa interview juga. Bila tiba pada pertanyaan menguasai berapa bahasa, selalu saya jawab lima. Karuan saja jawaban ini membuat bola mata pewawancara membesar. Kagum! Bahasa tubuhnya pun langsung bersahabat, yakin sedang berhadapan  dengan bibit unggul.  Selanjutnya saya pun menjawab dengan tenang dan percaya diri: “Bahasa Inggris secukupnya, sedikit Prancis, seadanya Italia dan bahasa Karo lancar.” (Bahasa Karo itu daerah darimana saya berasal dan alat komunikasi ayah dan ibu sehari hari)

Beda sekali perputaran bola matanya, dari rasa kagum saat tiga bahasa pertama tersebut dan manakala mendengar bahasa Karo. Sampai di sini bola matanya tidak berputar sama sekali bahkan terlihat kecewa berbalut amarah ditahan. Seolah merasa dipermainkan. Padahal saya sungguh bangga sebagai anak muda di masa itu bisa berbahasa daerah, di tengah ramainya komentar anak muda lain, dimana justru bangga mengatakan tidak bisa bahasa daerah. Seakan itu keren, gaul dan terasa lebih metropolis. Ada rasa enggan berbahasa daerah. Bukankah pengetahuan berbahasa daerah itu juga tambahan ketrampilan?

Karena baru menyebut empat bahasa, dengan rasa ingin tahu  pewawancara  menanyakan satu bahasa lagi. Kusebut bahasa Indonesia. Kembali bola matanya berputar sedikit lebih cepat. Bukan kagum seperti di awal, tapi serasa mau mengunyah, merasa semakin dipermainkan dan menghabiskan waktu dia saja. Lagi-lagi tak  \ada rasa kagum sama sekali, seakan menguasai bahasa Indonesia bukanlah sebuah keahlian. Lebih pada kewajiban. Padahal untuk bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar juga bukan hal mudah. Apalagi menuliskan sesuai tata bahasa dan tanda baca, termasuk penempatan kata depan, kata kerja, kata sifat dan kaidah lain.

Entah sudah berapa sering kemampuan berbahasa Indonesia dirasa seakan tak penting. Kekaguman menipis, bahkan banyak yang lebih kagum jika ada anak Indonesia justru tidak fasih bahasa Indonesia. Seakan ‘beda kelas’ dengan anak lain. Nah lho..!  Jadi terbalik kan. Apalagi kalau bahasa Indonesianya minim dan setiap bicara selalu tercampur, “When I was ulang tahun, you guys kok nggak ada yang give me kado ya… Teman like what sih kalian…” Banyak yang jadi gemes dan senang. Konon terlihat jadi keren dan cepat popular di kelompoknya.

Dalam satu perhelatan festival film Internasional di Bali, film pendek di mana saya sebagai produsernya jadi pemenang, maka diminta memberi  sambutan dalam bahasa Inggris. Saya menolak dan tetap berbahasa Indonesia dengan alasan, ini memang festival film Internasional yang diselenggarakan di Bali, namun penonton yang hadir kebanyakan orang Indonesia.  Penonton asing hanya segelintir. Jelaslah lebih banyak yang paham bahasa Indonesia. Selain itu beberapa orang asing yang hadir juga sudah berbulan-bulan di Bali bahkan ada yang setahun. Jadi wajar saja jika berpidato dalam bahasa Indonesia. (sesungguhnya alasan lain, karena bahasa Inggris saya pas-pasan cenderung kurang…,  jadi sekaligus cari jurus selamat…)  

Sedikit curahan rasa saja, waktu bertugas dua minggu ke San Fransico, saya belajar keras bahasa Inggris agar tidak gagap di sana.  Disusul harus ke Bordeaux selama 3 bulan,  setengah mati belajar bahasa Prancis biar tidak linglung. Tiba saat melawat ke Itali beberapa hari, juga berusaha paham percakapan sederhana agar tidak tersesat dan kelaparan. Saatnya harus menetap enam tahun di Belanda, mendapat pelajaran wajib bahasa Belanda selama tiga bulan secara gratis, sebab pemerintah setempat tidak ingin ada orang tinggal di Belanda tapi tak mampu berbahasa Belanda. Bahkan bila tidak bersedia mengikuti kelas bahasa akan disurati dan ditegur.

Pertanyaan sederhana di benak ini, kenapa orang asing berkunjung ke Indonesia, tinggal lama bahkan bekerja di sini tidak langsung belajar bahasa Indonesia ya. Malah kita yang harus repot untuk paham bahasa Inggris agar bisa berkomunikasi dengan orang asing di negara sendiri. Pengamatan singkat selama di Prancis, mereka tidak peduli yang datang bisa bahasa Prancis atau tidak, tetap saja menggunakan bahasa Prancis. Dan itu memaksa orang mempelajari bahasa mereka. Barangkali orang asing yang ke Indonesia  memang merasa tidak perlu mempelajari bahasa Indonesia karena orang Indonesia pintar  berbahasa Inggris yang  memang sudah dianggap sebagai alat komunikasi Internasional. Soal ini  bisa sebagai kebanggaan juga sebab merupakan ketrampilan ekstra. Tapi tentunya akan lebih bangga lagi kalau juga bisa menempatkan bahasa Indonesia sejajar dengan bahasa lain. Jadi sumpah indah itu tetap terpatri indah sebagai alat pemersatu. SATU INDONESIA

Permisiiii…

Ini hanya sebuah bentuk kecintaan

Akan bahasa Indonesia yang menawan

Soempah Pemoeda sudah terucapkan

Selayaknya berusaha ikut melestarikan

Tidak sekedar jadi hari peringatan

Dan bukan menjadi serapah tak berkesudahan

 (Salam Cinta: Ita Sembiring)

 

 

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here