Venerabilis Matteo Farina: Anak Band, Jatuh Cinta, Menjadi Kudus

526
Venerabilis Matteo Farina bersama pacarnya Serena/www.CNA.org
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COMIA menjalani hidup layaknya remaja milenial. Ia adalah anak band yang memiliki pacar, sekaligus orang kudus.

 LAGU Bohemian Rhapsody, lagu yang dipopulerkan Queen, ciptaan Fredy Mercury bergema dalam acara ulang tahun Paroki Padre Pio, Brindisi, Italia. Lagu ini dibawakan dengan sangat indah oleh Matteo Farina, vokalis band No Name (Senza Nome), bersama rekan-rekannya Angelo, Marcheti, dan Raffa. No Name adalah band besutan Matteo. Di kalangan Orang Muda Katolik Keuskupan Agung Brindisi, empat remaja ini cukup terkenal. Layaknya anak band tersohor, mereka digandrungi cewe-cewe separoki.

Venerabilis Matteo Farina bermain gitar/www.CNA.org

Sebagai ketua band, Matteo menjadi yang paling terkenal. Selain ganteng, vokalis band ini adalah pribadi yang supel. Ia mudah diterima dan bisa bergaul dengan siapa saja. Soal hidup rohani, Matteo layak diacungi jempol. Kepala parokinya, Pastor Christo, OFM Cap mengisahkan, Matteo adalah remaja yang sangat mencintai doa Rosario. Ia adalah pribadi yang tak pernah meninggalkan Ekaristi dan Pengakuan Dosa.

Keutamaan hidup dibalut karakter yang mengagumkan ini membuat Serena, teman wanitanya jatuh hati kepadanya. Wanita berparas cantik ini berhasil menaklukan hati Matteo. Masa pacaran tak begitu lama, hanya dua tahun, tapi berkesan. Sayang, kala bunga-bunga di hati sedang bermekar, Matteo didiagnosa menderita tumor otak tahun 2009. Penyakit ini membuat remaja 19 tahun ini tutup usia pada 24 April 2009.

Serena begitu terpukul atas peristiwa ini. Ia pun tak menyangka orang yang dipacarinya memiliki jalan hidup yang berbeda. Kemudian hari Matteo menjadi orang kudus. “Pacarku orang kudus,” tulis Serena dikutip L’Osservatore Romano, (7/5/2020).

Cinta Abadi

Setelah kematian Matteo, Keuskupan Agung Brindisi tak butuh waktu lama untuk memulai proses beatifikasinya. Tahun 2014 lewat postulator Pastor Claudio Cenacchi, proses beatifikasi dibuka. Pada 6 Mei 2020, Paus Fransiskus menyetujui proses beatifikasi ini dan menggelari Matteo venerabilis.

Mendengar peristiwa ini, Serena mengatakan, Matteo pantas mendapatkan hak istimewa ini. “Setiap hari ia hanya memikirkan bagaimana melayani Tuhan. Hingga terkadang waktu bertemu pun sangat jarang. Pun bertemu, selalu berdiskusi tentang kehidupan rohani seperti Injil, kesaksian hidup santo-santa, atau pesan-pesan khotbah para imam. Kami bukan berbicara soal hubungan- apalagi masa depan kami,” ujar Serena.

Venerabilis Matteo Farina berdoa sebelum Pengakuan Dosa/www.catholicservice.org

Sementara dalam pesannya, Prefek Kongregasi Penggelaran Kudus Vatikan, Kardinal Angelo Becciu, menyebutkan bahwa Matteo, telah meninggalkan warisan yang pantas diingat oleh Gereja Katolik yaitu cinta abadi. “Ia menjalani hidup layaknya orang dewasa. Ia seorang penyanyi, berpacaran, dan bebas berekspresi. Dengan cara ini, Tuhan memakainya mewartakan Injil,” sebutnya.

Hal ini sejalan dengan pernyataan Pater Cenacchi yang menyebutkan ada tiga model keutamaan hidup Matteo yaitu hidup rohani, keberanian iman, dan relasi sosial. “Saat dia sakit, dia tidak pernah bertanya, kenapa? Dia melawan semuanya dengan keberanian yang luar biasa.”

Lanjut Cenacchi, “Matteo memiliki hasrat yang besar agar orang lain mengenal Yesus dan mengasihi Dia. Dia ingin menyebarkan Injil di kotanya, di mana dia tinggal, di sekolah, dengan teman-temannya dan di keluarganya.”

Keutamaan hidup Matteo, tidak hanya tersebar di tanah airnya Italia Selatan, tetapi sudah menyebar ke seluruh dunia. Sekarang Gereja sedang menunggu mukjizat sebagai penyebab perantara untuk prosesnya menjadi beato lewat beatifikasi.

Menginjil Lewat Karya

Matteo adalah anak pertama dari sebuah keluarga Katolik yang saleh di Kota Brindisi. Ia sangat dekat dengan adiknya Erika Farina. Sejak kecil, Matteo sudah terbiasa dengan kesalehan hidup. Ia akrab dengan para pastor Kapusin yang melayani di parokinya. Selain itu, ia memiliki devosi yang kuat terhadap St. Fransiskus Assisi dan St. Pio dari Pietrelcina, OFM.Cap (Padre Pio).

Sejak kecil, Matteo memiliki keinginan yang besar untuk mempelajari hal-hal baru. Ia selalu melakukan semua kegiatan dengan rajin baik itu aktivitas sekolah, olahraga, termasuk kegemarannya bermain musik. Memasuki usia delapan tahun, Matteo sudah terbiasa melakukan Pengakuan Dosa setiap minggu. Di usia Sembilan tahun, dia sudah membaca keseluruhan Injil Matius. Setiap hari, ia rajin mendaraskan Rosario.

Devosinya kepada Padre Pio membuatnya pernah bermimpi bertemu biarawan Kapusin penerima stigmata ini. Dalam pertemuan itu, Padre Pio berpesan, “Jangan berbuat dosa. Siapa yang tanpa dosa itu bahagia. Bantulah orang lain untuk tidak berbuat dosa agar bersama-sama masuk Kerajaan Surga.”

Sejak pertemuan itu, Matteo merasakan keinginan yang kuat untuk menginjil, terutama di kalangan orang muda di parokinya. Dia hidup dengan semangat pewartaan-menginjil dari orang-orang sekitar, lewat cara hidup mereka. Band No Name yang didirikannya adalah satu dari sekian karya untuk menginjil rekan-rekannya yang tidak terlalu memiliki ketertarikan pada hidup menggereja.

Dalam sebuah kesempatan, Matteo pernah bercerita kepada Serena, “Saya ingin bermisi dengan cara ‘menyusup’ di antara orang-orang muda, berbicara kepada mereka tentang Tuhan. Saya ingin masuk seperti ‘virus’ untuk menulari mereka berbagai ‘penyakit’ yang tak tersembuhkan yaitu cinta.”

Dan benar demikian, Matteo berhasil menjadi ‘virus’ cinta kasih bagi orang lain. Bahkan ketika didiagnosa menderita tumor otak pada September 2003, Matteo terus menebarkan cinta kasih. Baginya sakit penyakit atau kegembiraan adalah bagian dari cinta Tuhan kepada dirinya.

Ketika orangtuanya mengetahui bahwa Matteo menderita tumor, mereka menjadi sedih. Matteo justru berpesan kepada mereka agar tidak kecewa. “Sakit ini adalah sebuah pengalaman terbaik dalam mengubah hidup saya,” ujarnya menguatkan orangtua.

Selama enam tahun, Matteo menjalani perawatan, operasi, dan kemoterapi. Di balik kesengsaraan itu, cintanya kepada Bunda Maria tak kunjung pupus. Ia mendaraskan Rosario siang dan malam kepada Hati Maria Tak Bernoda. Sambil itu, ia tetap menjalankan pekerjaan hariannya pergi ke sekolah, bergaul dengan teman-teman, memberi perhatian kepada Serena, dan menjadi anak band. “Selama dua tahun terakhir hidupku, Serena adalah hadiah terindah dari Tuhan. Saya mengagumi kepribadiannya,” ungkapnya mengagumi sang pacar.

Akhirnya, kondisi remaja ini makin memburuk pada usia 19 tahun. Ia menjadi lumpuh setengah badan kirinya dari lengan sampai kaki. Ia selalu mengulangi kata-kata, “Setiap hari adalah hari terakhir. Berbuatlah baik, layanilah sesama, cintailah orang-orang terdekat.”

Matteo, anak band, tutup usia pada 24 April 2009. Sebelum melepaskan kepergian Matteo, Serena memegang tangannya, lantas berjanji, “Saya tidak akan melupakan cintamu. Bagiku Anda adalah hadiah terbaik dari Tuhan. Meski singat, cintamu berkesan.” Matteo tutup usia dalam pelukan Serena, disaksikan keluarga kedua belah pihak.

“Andai waktu diputar lagi, saya tetap akan mencintai Matteo. Sekalipun cacat, tak berguna, bagiku Matteo adalah segalanya. Matteo adalah pria terbaik yang menyelamatkan hidup rohaniku,” ungkap Serena gadis hingga kini belum menikah.

Kini, makam Matteo menjadi salah satu tempat devosi di Keuskupan Agung Brindisi-Ostuni. “Mari kita berdoa semoga di antara kita ada mukjizat lewat perantaraan Venerabilis Matteo,” ujar Uskup Agung Brindisi-Ostuni, Mgr. Domenico Caliandro.

Yusti H. Wuarmanuk

 

4420SS-Venerabilis Matteo

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here