Mengenang Pastor Theopil Odenthal, OFMCap: Rapih, Disiplin, dan Hemat

347
Pastor Theopil Odenthal, OFMCap/Dok. Kapusin Sibolga
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COMKEMARIN kita dengar berita tentang kepergian Pastor Theophil Odenthal, OFM Cap. Seorang imam Kapusin, rekan kerjanya dahulu di Keuskupan Sibolga, menggoreskan cuplikan pengalaman bersama beliau. Ada beberapa keutamaan hidup dan pengalaman iman yang telah digoreskan bersama Pastor Theophil.

Kabar duka datang lagi, Pastor Theopil Odenthal, OFMCap meninggal. Berita ini tersebar cepat melalui media sosial Facebook dan berbagai WhatsApp grup. Pastor Theopil meninggal di RS. Elisabeth, Medan, Kamis 29/10.

Ingatanku kembali ke puluhan tahun silam. Tahun 1999 – 2000 saya menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Paroki St. Hilarius, Tarutung Bolak, Kecamatan Sorkam, Tapanuli Tengah, Keuskupan Sibolga. Pastor pendamping saya adalah Pastor Adifeti yang setahun sebelumnya menjadi pastor rekan Pastor Theopil di Tumbajae, Manduamas. Semasa saya berkomunitas di Tarutung Bolak, Pastor Theopil sering singgah di Pastoran. Biasanya dalam perjalanan ke Sibolga atau sebaliknya kembali dari Sibolga menuju Manduamas.

Pastor Theopil selalu membawa snack sendiri. Seingat saya yang paling sering dibawa adalah Biskuit Astor, yang bentuknya seperti tongkat. Singgah untuk ngopi ini tidak lama. Sambil ngopi kami ngobrol. Sebagai frater saya lebih banyak mendengar. Beliau selalu berbicara dalam Bahasa Batak. Uniknya, setiap kali selesai minum kopi, Astor-nya dibawa pulang. Tidak ditinggalkan untuk kami. Selalu begitu.

Secara periodik ada pertemuan Pastoral Dekanat. Dua bintang yang selalu jadi perhatian Pastor Theophil dari Manduamas dan Pastor Leonhard dari Pangaribuan. Kami, frater – frater TOP, senang menggoda dua saudara tua ini. Mereka orang yang sangat menghargai pertemuan dan pendapat-pendapat, walaupun seringkali itu membosankan. Biasanya Pastor Theophil mengatasi kebosanan dengan mencoret-coret membuat sketsa di buku tulisnya. Terbanyak sketsa bangunan. Pastor Leo dengan gayanya yang khas, tiba-tiba nyeletuk – datar saja – tapi membuat kita terpingkal-pingkal. Pastor Leo punya selera humor yang baik.

Pastor Theophil pemikir yang serius. Pastor Theophil akan ‘cair’ kalau diajak main pingpong. Ini olahraga kegemarannya. Banyak masalah bisa selesai melalui dialog meja pingpong ini. Kalau tidak ada lawan main, ia akan mencari dan mengajak siapa pun yang bisa. Suster-suster OSF yang menjadi tetangganya di Tumba pernah kebingungan mencari Pak Manurung, sopir susteran. Rupanya Manurung diajak Pastor Theophil main pingpong dan mereka berdua main pingpong di garasi yang pintunya sengaja ditutup supaya tidak ketahuan.

Rapi, Disiplin, dan Hemat

Penampilan Pastor Theophil rapi. Necis. Rambut, kumis dan jenggotnya selalu dipangkas rapi. Tukang pangkas langganannya orang Minang, di pojok dekat Mesjid Agung Sibolga. Jika mengenakan kemeja lengan panjang, dia memakai suspender. Hubert Nyoman bisa memberi kesaksian, suatu ketika Pastor Theophil – ketika masih sebagai Kepala Paroki Padangsidempuan – diajak main sinetron oleh salah satu produser TV Nasional. Dia diminta memerankan tokoh administrator Perkebunan Belanda. Dialognya tidak Panjang. Beliau berlatih serius untuk itu. Berbicara di depan cermin dan melatih cara berjalan. Tiap kali selesai berlatih peran, beliau akan bertanya, Boha menurutmuna, nga mantap? (Bagaimana menurutmu sudah mantap?). Pertanyaan ini selalu dijawab, Mantap pastor. Ai holan hamu do pastor di seluruh keuskupan na hea main film (Mantap Pastor. Hanya Pastorlah di seluruh keuskupan ini yang pernah main film). Wajahnya sumringah dengan senyum yang khas. Saya tidak ingat apakah sinetron itu jadi ditayangkan atau tidak.

Pastor Theophil disiplin. Jadwal-jadwalnya tersusun dengan rapi dan teratur. Bahkan jam-jamnya juga sudah ditata sedemikian rupa. Kalau berangkat ke Sibolga dari Manduamas dia sudah menghitung dengan cermat waktu yang dibutuhkan, sehingga bisa mengatur di mana akan singgah untuk minum dan di mana akan makan siang. Begitu juga kalau berangkat dari Sibolga ke Medan: minum di Novisiat Parapat, makan siang di jalan Medan dan makan malam di Medan.

Tentang ini selalu ada kejadian lucu. Saya mendengar kisah ini dari Pastor Boni Simanullang, OFMCap (mantan Provinsial Kapusin Sibolga/Dosen Kitab Suci di STFT St. Yohanes, Pematangsiantar). Suatu kali Pastor Theophil mengundang Pastor Boni untuk memberi Kursus Kitab Suci di Tumbajae. Pastor Theophil menjemputnya ke Siantar. Pastor Boni punya kebiasaan pribadi untuk puasa. Jadwal puasanya tepat bersamaan dengan jadwal keberangkatan ke Sibolga. Karena sudah tahu akan mengadakan perjalanan jauh, maka Pastor Boni memajukan jadwal puasanya. Dan Pastor Theophil tahu juga jadwal puasa Pastor Boni, dan karena itu dia mengatur hari keberangkatan pada hari puasa itu. Maksudnya jelas: tidak perlu menambah pos pengeluaran untuk makan di jalan. Masalah timbul ketika sudah saatnya makan siang dan tidak ada tanda-tanda untuk berhenti makan. Pastor Boni bertanya, Bah, ai ndang mangan hita (Apakah kita tidak makan?). Pastor Theophil: Bah ndang puasa hamu? (Bah kamu tidak puasa rupanya?). Akhirnya, mereka mencari makan siang, bukan di kedai atau warung makan tetapi di pastoran terdekat.

Soal hemat ini dari perspektif lain bisa berarti pelit. Saya sendiri pernah mengalaminya. Setelah ditahbiskan saya bertugas di Kuria keuskupan dan membantu di Paroki Katedral Sibolga. Suatu kali beliau datang ke ruang kerja saya. Horas. Songon on, adong dua jadwal nuaeng na so tarisi dope. Jadi maksudku urupi hamu ma ahu. Buat ma sada di hamu (Horas. Begini, ada dua jadwal Misa yang belum terisi. Maksudku, bantulah saya. Kamu ambil satu yang belum terisi itu). “Jadi Pastor”, jawabku. Las roha. Alai padaohu hamu molo marborngin di Tumba. Ninna rohakku umdenggan ma molo di Pangaribuan hamu marborngin. (Senang hatiku kalo begitu. Tetapi terlalu jauh kalau kamu menginap di Tumba. Menurutku lebih baik kamu menginap di pangaribuan). Begitulah kemudian saya menginap di Pastoran Pangaribuan. Pastor Norbert menyambut dengan gembira. Kami menghabiskan beberapa gelas tuak berdua. Yang bikin saya tertawa, komentar Pastor Norbert, “hebat kali Theophil ini. Dimintanya kau membantu, tapi tidak ada pengeluarannya. Kau makan dan tidur di sini. Dia yang enak”.

Kami sama-sama tertawa. Keesokan harinya setelah Misa, pengurus stasi menyampaikan, Pastor, ndang pola taruhon hamu hepeng kolekte tu Tumba. Adong pengurus gereja marsogot tu Tumba, nasida ma pasahaton tu Paroki (Pastor, gak perlu pastor sendiri mengantar kolekte ke Tumba. Besok ada pengurus Gereja yang ke Paroki. Biarlah mereka yang mengantar ke Paroki). Denggan molo songoni (Baiklah kalau begitu). Saya pulang ke Sibolga.

Tak sampai sebulan berlalu, beliau datang lagi. Horas di hamu. Bah las hian rohani ruas i mambege jamittamu. Sai diingot nasida. Jadi boha ma, marsiurupan ma hita. Maksudku molo boi nian hamu ma misa di Tumba (Horas. Wah senang sekali hati umat mendengar kotbahmu. Masih mereka ingat. Jadi, bagaimana. saling membantulah kita. Kalau bisa kamu Misa di Tumba). Sangat sulitlah menolak permintaan ini. Saya pun memenuhi permintaannya. Setelah Misa saya ke Paroki, membawa surat-surat administratif pembaptisan dan kolekte. Begitu tiba di pastoran, Pastor Theophil membuka percakapan, bereng hamuma. Songon i ma situasi ta. Apala parsibensin mu pe terbatas. Alai adong do nian madu sabotol (Kamu bisa lihat, begitulah situasi kita. Untuk uang bensinmu pun terbatas. Tapi ada madu satu botol). Tiba-tiba, Melda (karyawan rumah tangga pastoran) nyeletuk dari dapur, adong dope tolu botol nai pastor (masih ada tiga lagi pastor). Saya pun segera menyambar, dia ma Melda, asa huboan mulak (Mana Melda, biar saya bawa pulang). Jadilah saya pulang ke Sibolga membawa empat botol madu, ganti stipendium. Madu-madu itu saya bagi ke komunitas keuskupan dan Wisma Kristoforus. Saya cerita ke Pastor Barnabas Winkler bagaimana proses mendapatkan madu-madu tersebut. “Kamu hebat bisa mengalahkan Theophil. Kalau menghadapi Theophil kamu mesti cerdik”. Entah karena madu itu atau karena memang ada yang selalu bisa membantu, saya tidak pernah lagi diminta membantu di stasi.

Pastor Gusti Pardi – waktu itu masih frater di Katedral – juga pernah mengalami pengalaman berhubungan dengan sikap “hemat” Pastor Theophil. Pastor Theophil meminta ijin ke saya supaya membolehkan Fr. Gusti menemaninya ke Sidempuan. Saya lalu menyampaikan ke Fr. Gusti, “makan enak kalian nanti di Angin Berhembus”. Malamnya sepulang ke rumah, saya tanya Fr. Gusti, dan ia menjawab, Ai ka’e menderita jalan dengan Pastor Theophil. Singgah minum kopi pun tidak. Kupikir kami akan makan di restoran, rupanya tidak. Untung kami ditawari makan di rumah umat. Pulangnya pun begitu, “Wah pas pula sudah waktunya makan malam. Jadi di pastoran sajalah kita makan ya.

Bereng Ma Silang I dan Boha ma hita Katolik on

Ini adalah dua frase yang selalu diulang, nyaris menjadi refren dan identik dengan Pastor Theophil. Bereng Ma Silang I (Pandanglah kayu Salib!) inilah kata-kata yang selalu keluar tiap kali beliau berkotbah. Sering jadi bahan yang membuat tawa. Namun inilah salah satu dasar iman Kristiani: Salib Kristus. Pastor Theophil setia pada salib dan setia memikul salibnya sampai akhir. Walaupun banyak kisah lucu juga seputar ini. Tiap kali menyebut, mata Pastor Theophil selalu mengarah ke dinding panti Imam tempat Salib bergantung. Suatu kali di stasi rupanya salib diturunkan dan dipindah ke Sakristi karena sedang ada renovasi. Ketika beliau dengan mantap berkata, bereng ma silang i, umat ada yang spontan menjawab, ndang di si be Pastor (sudah tidak ada di situ Pastor). Tanpa kehabisan akal beliau cepat menukas, manang bereng hamuma Inanta Maria I (pandanglah Bunda Maria). Malang tak dapat ditolak Patung Maria pun sudah ikut pindah pula. Dengan gusar Pastor Theophil bertanya, bah nga tu dia Inanta i (Wah ke mana pergi Ibu kita itu?).

Boha ma hita Katolik on (bagaimana kita orang Katolik ini?) adalah ungkapan ‘kekesalan’ beliau terhadap hidup umat sehari-hari yang sering bertolak belakang dengan iman. Beliau punya pengalaman buruk: sepatunya hilang dicuri. Pastor Theophil melapor ke polisi. Polisi menerima laporan dan berjanji akan mengusut. Namun tak kunjung ada titik terang. Sepatu itu akhirnya ditemukan dengan cara yang unik. Ketika sermon (pertemuan para pengurus gereja separoki), Pastor Theophil menemukan sepatunya di antara tumpukan sepatu para peserta yang berjejer di depan pintu. Beliau membawa sepatu masuk ruang pertemuan dan bertanya ke yang hadir, sepatu ni ise on (sepatu siapa ini?). “Sepatuku Pastor”, jawab salah seorang. Panako ho. Sepatu ni Pastor do on (kamu pencuri. Ini sepatu Pastor). Tentu saja yang dituduh tidak terima. Usut punya usut dia membeli sepatu itu dari seseorang tanpa tahu kalau itu hasil curian.

Setelah jelas duduk perkara, Pastor Theophil dengan kesal berkata, boha ma hita Katolik on. Polisi Katolik. Panako Katolik. Na manuhor pe Katolik (bagaimana kita Katolik ini. Polisi Katolik, pencuri katolik. Yang membeli sepatu curian Katolik). Kekesalan bermakna. Harusnya kekatolikan mempengaruhi dan terwujud dalam hidup, bukan hanya dalam status dan penanda identitas.

Pastor selamat jalan. Bahagia di Surga. Terimakasih untuk kasih kegembalaanmu, kesederhanaanmu, kesetiaanmu. Ad vitam aeternam. RIP.

Pastor Hans Jeharut

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here