Mistikus Pelindung Anak Kelainan Mental

893
Beata Stefana de Quinzanis TOSD menerima sebuah penglihatan dari Kristus/www.sanctoral.com
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM-Beata Stefana de Quinzanis TOSD (1457-1530). Bila Ordo Dominikan mengenalnya sebagai mistikus sejati, Gereja mengenangnya sebagai ibu bagi puluhan anak yang mengalami keterbelakangan mental.

DALAM sebuah penglihatan, Kristus menampakkan diri kepadanya. Dalam penglihatan itu, ia melihat sebuah cahaya berbentuk salib. Di balik cahaya itu, ada suara berseru, “Lihatlah, anak-Ku. Hormatilah Allah-mu, karena inilah jalan menuju surga.”

Suara itu didengarkan Stefana de Quinzanis setelah mengikuti Perayaan Ekaristi, Pesta Santo Andreas Rasul. Suara itu mengejutkan Stefana yang kala itu masih 12 tahun. Sambil mencerna maksud kata-kata itu, Stefana mencoba memalingkan wajah dari cahaya itu. Sangkanya, cahaya itu datang dari kekuatan setan. Ia tak ingin terlibat mengikuti kehendak setan.

Usai Ekaristi, Stefana mencoba melupakan suara itu. Ia berusaha menyibukkan diri dengan rutinitas kesehariannya. Sampai pada waktu tertentu, Kristus kembali menampakkan diri kepadanya. Kali ini pesan yang keras disampaikan kepadanya. “Kasihilah Allah, takutlah akan Allah. Engkau harus menyangkal dunia, layanilah orang-orang sakit khususnya mereka yang menderita kelainan mental.”

Beata Stefana de Quinzanis TOSD mengajari beberapa anak tentang isi Kitab Suci/www.sanctoral.com

Pesan ini bagi sebagian orang beriman khususnya para pengikut Santo Dominikus yaitu anggota Ordo Ketiga Dominikan (Third Order of Saint Dominic (TOSD) sebagai awal panggilan Stefana. Suara ini menggetarkan sanubarinya, dan menuntunnya sebagai pendoa bagi orang-orang yang kelainan mental.

Dalam kalender Dominikan, Stefana adalah anggota Dominikan yang berdevosi khusus kepada Kristus lewat Santo Thomas Aquinas bagi orang-orang yang memiliki keterbelakangan mental. Ia menjadi pelindung bagi anak-anak yang tidak berpikir secara dewasa dan yang kehilangan ingatan.

Keluarga Dominikan

Nama Stefana diberikan oleh sang ayah yang memiliki devosi khusus kepada Martir pertama Santo Stefanus. Ia lahir tahun 1457 di Brescia, sebuah desa kecil di Italia yang dipenuhi orang-orang beriman. Pelayanan sakramental dan karya-karya karitatif tumbuh subur di tempat ini.

Stafana lahir dalam situasi keluarga yang terlibat dalam kehidupan menggereja. Ayah dan ibunya adalah anggota Dominikan. Maka tak heran sejak balita ia terus-menerus diperhadapkan pada suara batin yang berkata, “kasih, kasih, dan hanya kasih”. Ia bertumbuh dalam pikiran tentang kasih yang mengakar kuat sanubarinya.

Keinginan untuk bergabung sebagai anggota cilik Dominikan sudah tampak di usia lima tahun. Tetapi, ia baru menjadi anggota resmi ketika berusia tujuh tahun dengan mengikrarkan kaul kemiskinan, ketaatan, dan kemurnian. Ia juga mengucapkan janji istimewa bahwa kelak akan setia mengenakan jubah Ordo Ketiga Dominikan.

Kecintaannya kepada Ordo Dominikan terinspirasi dari suasana keluarga yang diciptakan kedua orangtuanya. Tidak pernah terlihat kekerasan atau pertengkaran dalam keluarga. Tidak juga kata-kata bernada kasar yang terucap dari mulut ayah-ibu. Bila itu terjadi, kedua orangtua akan mengaku dosa dan membuat silih atas dosa mereka. Ayah dan ibu menginspirasi Stefana agar kelak bisa menjadi pewarta yang berguna bagi banyak orang.

Keluarga ini bertumbuh dalam suasana doa hingga pindah ke Soncino, wilayah Cremona, Italia. Di situ, gadis 10 tahun ini berkenalan dengan Beato Matthew Carreri OP, seorang pewarta Injil yang terkenal. Meditator terkenal berkebangsaan Italia ini berhasil meleburkan spiritualitas Dominikan secara lengkap di hati Stefana. Imam Dominikan yang dibeatifikasi Paus Sixtus IV tahun 1482 ini mengajarkan Stefana langkah-langkah rohani bertemu Tuhan.

Sumber Ordo Dominikan menyebutkan, pertemuan dengan Beato Carreri OP menjadi langkah awal bagaimana spiritualitas Dominikan yang menancap di hati Stefana. Beato Carreri juga mengatakan dengan lugas bahwa Stefana akan menjadi pewaris hidup rohaninya.

Sejak semakin jauh di jalan kekudusan bersama Beato Carreri, Stefana kerap dikunjungi Kristus. Dalam penglihatan-penglihatannya, Kristus selalu tampak ditemanin Bunda Allah, Santo Dominikus, Thomas Aquinas, serta Santa Katarina dari Siena. Ia juga secara mistik dipertunangkan dengan Kristus, yang ditandai dengan sebuah cincin yang melekat di jari manis Stefana.

Transisi Spiritualitas

Pengalaman kerohaniannya membuat hati dan pikiran Stefana terpusat kepada Allah. Seakan-akan tidak ada lagi daya tarik duniawi yang membuatnya terpesona. Hanya satu yang mampu mengalihkan perhatiannya adalah memandang wajah Allah. Rasa rindu untuk bersua dengan Kristus dan para kudus-Nya membawanya pada intensi khusus agar diperkenankan bertemu mereka.

Rasa rindu itu terjawab dengan berbagai penglihatan yang dialaminya. Penglihatan pertama berawal ketika kematian Beato Carreri. Sang imam datang dalam mimpinya menjelaskan bahwa Stefana akan menerima stigmata Kristus. Beberapa hari setelah penglihatan itu, satu persatu sengsara Kristus dirasakan Stefana. Ia merasakan sengsara Kristus: mengucurkan keringat dan darah, dicambuki, dimahkotai duri, dan disalibkan.

Semakin sering menderita, Stefana tidak menyerah. Sebaliknya sengsara itu makin menguatkan laku silihnya. Ia berpuasa hampir setiap hari, teristimewa hari Jumat. Ia melakukan mati raga tanpa belaskasih kepada dirinya. Ia terlibat dalam doa dan devosi khusus kepada Hati Kudus Yesus. Jiwanya terus menyeruhkan sengsara suci Kristus.

Stefana menerima jubah Ordo Ketiga Dominikan saat berusia 15 tahun. Hari itu menandai transisinya dari kehidupan yang ekslusif mistik dan kontemplatif ke hidup yang aktif dan apostolik. Dulu kehidupan rohaninya berpusat pada pengalam mistik berubah menjadi pastoral aktif. Ia terlibat dalam pelayanan kepada orang-orang miskin, orang-orang sakit teristimewa anak-anak yang mengalami keterbelakangan mental. Kepada anak-anak ini Stefana hadir menyapa, mendoakan, sekaligus memberkati mereka.

Permintaan Kristus

Transisi spiritualitas ini terasa lengkap dalam penglihatannya dengan Santo Thomas Aquinas. Orang kudus ini memintanya untuk terlibat mendengarkan curahan hati anak-anak yang mengalami keterbelakangan mental karena daya pikir yang lemah. Ajaib, dan mempesona karena Stefana mampu berbicara dengan mereka tentang kebenaran-kebenaran Injil. Ia mampu membaca hati dan pikiran anak-anak, serta berhasil menubuatkan masa depan anak-anak.

Tidak cukup sebatas itu. Sisi apostolik ditunjukkannya dengan cara yang luar biasa. Tuhan berkenan membantu Stefana dengan mengerjakan berbagai mukjizat melalu tangannya. Lewat Tuhan, Stefana bisa menggandakan roti dan uang kepada orang-orang miskin. Ia mampu menyebutkan anak-anak yang sakit mental karena stres, trauma, atau terlambat dalam pertumbuhan.

Hal ini membuat reputasi dan kekudusan Stefana terdengar hingga Istana Duke dari Mantua serta Republik Venesia. Pemangku istana menawarkan diri untuk membangun biara di tempatnya, tetapi permintaan itu ditolaknya. Ia justru merekomendasikan agar Duke bisa membangun rumah dan tempat tinggal bagi orang miskin. Duke menerima permintaan itu dan berhasil menyelamatkan ratusan tunawisma di Soncino.

Stefana meski menghidupi pastoral aktif dan apostolik, ia tidak pernah dilupakan Tuhan. Ia terus menghidupkan jalan mistik dengan mendapatkan berbagai penglihatan. Bila nafsu duniawi merasukinya, ia akan membuang tubuhnya ke gerobak penuh duri agar menghalau pikiran-pikiran duniawi. Setelah itu, ia berdoa kepada Tuhan dan segera para malaikat datang mengingkatkan ikat pinggang kemurnian kepadanya.

Segala mukjizat dan karunia yang diperolehnya ia simpan rapat-rapat hingga tutup usia. Beberapa hari setelah menutup mata, ia membuka semua rahasia ini kepada pembimbing rohaninya. Pembimbing rohaninya juga mendapat kesempatan untuk melihat luka-luka stigmata di sekujur tubuh Stefana. “Semua ini atas kehendak Tuhan. Saya sudah siap sejak dilahirkan menjadi permaisuri Kristus,” ujar Stefana kepada pembimbingnya.

Stefana menghembuskan nafas terakhir setelah menyelesaikan sebuah rumah perlindungan bagi anak-anak yang mengalami keterbelakangan mental. Di tengah karya yang hebat itu, Stefana meninggal pada 2 Januari 1530, pada usia 73 tahun.

Setelah meninggal Paroki Soncino mengawali proses beatifikasinya. Atas jasa-jasa di bidang sosial, dan keutamanaan hidupnya sebagai mistikus Gereja, Paus Benediktus XIV menggelarinya Beata. Misa beatifikasi digelar di pada 14 Desember 1740.

Beata Stefana selain dikenal sebagai mistikus Dominikan, penerima stigmata, ia juga dikenal sebagai pelindung bagi anak-anak yang mengalami keterbelakangan mental pada aspek kognitif seperti anak-anak yang gagal mencapai standar itelektual, berjalan lebih lambat, gangguan pada ingatan, tidak mengerti konsekwensi dari suatu aksi, kesulitan dalam belajar, tidak bisa menjalankan kehidupan secara normal, dan tindakan-tindakan yang berhubungan dengan emosi dan aspek psikomotorik seperti agresif, pasif, tidak percaya diri, dan kelainan psikotik.

Yusti H. Wuarmanuk

Majalah HIDUP edisi, 04 Januari 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here