Asal-Usul Penyebab Covid-19 Masih Misterius, Sejumlah Kalangan Mengajukan Hipotesis Beragam

297
Romo Albertus Purnomo, OFM, Alumnus Pontificium Institutum Biblicum, Roma; Pengajar Kitab Suci STF Driyarkara, Jakarta
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – DARI teori konspirasi senjata biologis, virus yang bocor dari laboratorium, sampai mutasi genetik dari virus yang lama. Para ilmuwan sendiri menduga, virus ini bermula dari tubuh kelelawar, kemudian berpindah ke binatang liar lain, seperti trenggiling, dan akhirnya masuk ke tubuh manusia sebagai inang yang baru. Proses perpindahannya masih diperdebatkan. Tetapi, perpindahan itu sangat mungkin karena manusia mengonsumsi binatang liar tersebut. Di tubuh binatang liar itu, virus mungkin kurang bersifat patogenik. Namun, saat bersarang di tubuh manusia, sifat patogeniknya menjadi lebih ganas.

Singkatnya, ada kemungkinan bahwa virus itu berpindah ke tubuh manusia karena sejumlah orang gemar mengonsumsi binatang liar entah sebagai makanan atau sekadar gaya hidup. Seandainya hipotesis ini benar, dan untuk mengantisipasi supaya tidak muncul wabah baru, lebih baik jangan mengonsumsi binatang liar secara sembarangan.

Orang Israel kuno memiliki aturan dan kebiasaan untuk tidak mengonsumsi binatang liar. Orang Yahudi zaman sekarang pun masih mempertahankannya. Mereka menyebut makanan yang layak dikonsumsi adalah makanan kosher. Dalam bahasa Ibrani, kosher berarti ‘murni’ atau ‘bersih’ sehingga layak untuk dikonsumsi. Bagi mereka, semua sayuran dan buah adalah kosher kecuali jika mereka sudah tercemari dengan serangga atau kumbang.

Jika dilacak dalam Kitab Kejadian, menjadi vegetarian adalah gaya hidup ideal yang diperintahkan Sang Pencipta: Berfirmanlah Allah: “Lihatlah, Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah akan menjadi makananmu (Kej. 1:29). Meskipun demikian, sejumlah kisah dalam Alkitab selanjutnya berbicara tentang makan daging binatang (misalnya dalam perayaan Paskah di Mesir)

Meskipun diperbolehkan makan daging binatang, Kitab Taurat memuat dua aturan tentang hal itu, yaitu dalam Imamat 11 dan Ulangan 14. Menurut perikop ini, binatang yang kosher hanyalah yang memamah biak dan berkuku belah.

Secara lebih rinci, Ulangan 14 menyebutkan binatang itu adalah lembu, domba, kambing (binatang ternak), rusa, kijang. Sementara itu, unta, kelinci hutan, marmot, babi hutan, dan -menurut tradisi Yahudi selanjutnya – beruang, anjing, kucing, dan kuda, binatang reptil, dan amfibi termasuk binatang yang tidak kosher.

Ikan yang kosher adalah yang bersirip dan bersisik. Sedangkan burung yang tidak kosher adalah elang, rajawali, burung dendang, gagak, burung hantu, camar, kelelawar. Ayam, bebek, dan burung dara termasuk burung yang kosher. Intinya kiranya jelas. Tidak semua daging binatang kosher atau layak untuk dikonsumsi.

Aturan mengonsumsi daging yang kosher ini tampaknya berkaitan erat dengan aturan hidup keagamaan orang Israel kuno. Tujuannya, untuk menjaga kekudusan dan kekhususan mereka sebagai bangsa dan sebagai wahana untuk belajar membedakan mana yang baik dan jahat, benar atau salah.

Terlepas dari konteks ini, kebiasaan untuk hanya mengonsumi daging yang kosher kiranya baik untuk dipraktikan. Memang tidak harus diikuti secara harfiah apa yang tertulis dalam Alkitab. Sebab, dalam kultur tertentu, mengonsumsi babi termasuk bagian dari tradisi tersebut.

Jika Sang Pencipta menciptakan binatang beraneka ragam, tidak berarti bahwa semuanya boleh dikonsumsi. Ada binatang yang diciptakan sebagai makanan. Tetapi, ada juga binatang yang diciptakan untuk menghiasi alam supaya manusia tidak bosan tinggal di dunia. Binatang liar yang jumlahnya terbatas, adalah dekorasi untuk alam ini.

Jika ‘dekorasi’ ini dikonsumsi secara liar oleh manusia, alam menjadi tidak seimbang lagi. Menghormati ciptaan lain dengan tidak mengkonsumsi keindahan binatang liar termasuk salah satu bentuk ibadah kepada Sang Pencipta. Akhirnya, ingatlah kata bijaksana dari Yesus bin Sirakh: “Banyak orang mati karena rakus, sedangkan orang yang menjaga dirinya memperpanjang hidup” (Sirakh 37:31).

Romo Albertus Purnomo, OFM, Alumnus Pontificium Institutum Biblicum, Roma; Pengajar Kitab Suci STF Driyarkara, Jakarta

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here