Mengubah PBM 2006 Menjadi Perpres, Kado Natal atau Cuma Janji Surga

198
Adrianus Meliala, Guru Besar UI/Ketua Umum LP3KN
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – DI penghujung tahun ini kita menerima kado Natal berupa janji  Kementerian Agama yang akan meningkatkan status Peraturan Bersama 2 Menteri (yakni Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 menjadi Peraturan Presiden. Sebagaimana luas diketahui, kebijakan yang biasa disebut dengan PBM 2006 tersebut mengatur tentang kerukunan umat beragama serta tentang pendirian rumah ibadah.

Mengapa pernyataan itu dilihat sebagai kado? Karena, menurut Kementerian Agama, selama ini gerak langkah PBM 2006  kerap tidak efektif. Banyak kepala daerah, misalnya, tidak serius perihal upaya mendorong kerukunan beragama. Juga dalam rangka operasionalisasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), misalnya,  ada provinsi yang memberi anggaran cukup, tapi lebih banyak lagi yang memberi anggaran pas-pasan. Demikian pula terkait pendirian rumah ibadah. Banyak kepala daerah atau FKUB yang lebih pro pada suara massa yang tidak senang dengan rencana pendirian rumah ibadah tertentu.

Nah, jika PBM menjadi Perpres, akan lebih mendorong kepala daerah untuk serius menyediakan penganggaran serta sekaligus berupaya sekuat tenaga jika ada kelompok umat di wilayahnya yang tidak memiliki tempat beribadah. Bukannya lepas tangan atau malah menyalahkan kelompok umat tersebut. Melalui Perpres pulalah maka berbagai FKUB yang selama ini tipis anggaran, padahal harus rapat siang-malam sebelum membuat rekomendasi pendirian rumah ibadah, bisa lebih terjamin operasionalnya.

Singkat kata, janji surga mengubah PBM 2006 menjadi Perpres merupakan kado Natal yang indah. Melalui penerbitan perpres, maka  akan banyak orang Katolik yang selama ini beribadah di tenda-tenda maupun gereja ruko, bisa membayangkan bersembahyang di gedung gereja milik sendiri yang luas, megah dan nyaman. Tapi, mengapa disebut janji surga?

Perlu diketahui, proses melahirkan Perpres tidaklah mudah. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan dan akan menjadi implikasi apabila suatu Perpres terbit. Sebagai contoh, presiden tentu mempertimbangkan mengapa harus memusatkan tanggung jawab pada dirinya sementara kepala daerah sebenarnya bertanggung jawab penuh perihal pemenuhan kebutuhan beribadah dari masyarakat di wilayahnya masing-masing. Contoh lain, presiden tentunya juga memperhitungkan implikasi administrasi pemerintahan serta anggaran apabila FKUB memperoleh anggaran yang tetap dari negara (baik pusat ataupun daerah) padahal FKUB tidak memiliki nomenklatur dalam struktur pemerintahan.

Jika kita berpikir strategis, maka jangan-jangan kita akan sampai pada kesimpulan bahwa Perpres tersebut sebenarnya bukanlah Kado Natal melainkan bom waktu. Maksudnya begini: Perpres adalah produk hukum yang dapat diubah secara cepat oleh presiden pasca Presiden Joko Widodo. Pengganti Presiden Joko Widodo yang memiliki warna perpolitikan berbeda, bisa saja mengambil kebijakan yang berbeda pula. Lain halnya jika produk hukum yang dikeluarkan berupa undang-undang dimana akan mengikat siapapun yang menjadi presiden.

Lebih daripada itu, daripada kita hanya berdebat perihal apakah PBM 2006 tersebut akan menjadi Perpres atau tidak, sebenarnya  ada yang lebih penting yakni membahas esensi dari PBM tersebut. Sesuatu yang mungkin benar dan baik pada saat PBM tersebut disusun, mungkin tidak lagi demikian hari-hari ini. Dalam hal ini, Gereja dan masyarakat Katolik Indonesia wajib menyuarakan hal-hal yang dirasa tidak pas sebelum Perpres atau UU terkait akhirnya benar-benar disahkan.

Sebagai contoh, apa sanksi jika ada kepala daerah yang pura-pura tidak tahu, atau bahkan  menghambat, terkait  rencana pembangunan rumah ibadah. Mestinya Perpres juga mengatur itu jika ingin meningkatkan mutu kehidupan beragama di Indonesia.

Selanjutnya, apa masih tepat memberikan kewenangan pemberian rekomendasi bagi suatu lembaga setingkat forum, dimana kualifikasi dan kompetensi anggotanya seringkali tidak jelas? Sering sama tidak jelasnya adalah tata kelola yang terjadi sebelum suatu rekomendasi keluar, hal mana amat mudah melahirkan bias atau konflik kepentingan, sebagaimana telah banyak ditengarai dewasa ini.

Hal lain yang perlu dicermati adalah kewajiban meminta tanda-tangan dalam jumlah tertentu dari warga sekitar terkait pendirian rumah ibadah. Apakah mekanisme itu mencerminkan implementasi yang benar dari azas kewajiban negara terkait penyediaan rumah ibadah?

Sekarang, merupakan tugas kita untuk  memberikan telaahan kritis serta masukan kepada Pemerintah, dalam rangka menjadikan  perubahan PBM 2006 sebagai kado Natal yang benar-benar indah bagi kita semua.

Adrianus Meliala, Guru Besar UI/Ketua Umum LP3KN

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here