Reksa Pastoral dalam Keragaman

337
Br Heribertus Sumarjo FIC.
[atmajaya.ac.id]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Para siswa beragama Katolik yang belajar di sekolah negeri diharapkan menjadi garam dan ragi di tengah dinamika kemajemukan. Menjadi tantangan Gereja untuk mewujudkan reksa pastoral di sekolah-sekolah negeri.

Melayani kebutuhan iman para siswa Katolik di sekolah negeri dan swasta non-Katolik menjadi perhatian Komisi Pendidikan Keuskupan Agung Jakarta (Komdik KAJ). Dua tahun lalu, Komdik KAJ berupaya mengumpulkan sekitar 400 guru beragama Katolik yang bekerja di lembaga pendidikan non-Katolik. Para guru ini diminta secara sukarela untuk mengajar agama Katolik jika di sekolahnya terdapat siswa Katolik. “Jika tidak ada guru agama, mereka wajib mengajar agama kepada siswa Katolik,” tegas etua Komdik KAJ Br Heribertus Sumarjo FIC saat ditemui di Gedung Karya Pastoral KAJ, Jakarta Pusat, Rabu, 16/7. Berikut petikannya:

Bagaimana upaya Gereja dalam melayani para siswa yang belajar di sekolah negeri?
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional 2003 pasal 12 ayat 1a, terdapat tiga macam kategori sekolah: sekolah negeri, sekolah swasta umum, dan sekolah swasta berciri khas seperti sekolah dengan ciri khas agama Kristen, Katolik, atau Budha. Bagi sekolah negeri dan swasta umum, pihak sekolah harus mengajarkan dan menyediakan guru mata pelajaran agama sesuai dengan agama siswa.

Maka, berdasarkan UU, sekolah negeri harus menyediakan guru agama sesuai agama siswa. Jika di sekolah terdapat siswa Katolik, maka harus ada guru agama Katolik. Tapi tentu, praktik di lapangan tidak semudah yang diamanatkan UU.

Namun, dalam Sidang Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) 2003 di putuskan, reksa pastoral pendidikan meliputi Lembaga Pendidikan Katolik (LPK) dan Insan Pendidikan Katolik (IPK) yang bekerja dan belajar di lembaga bukan Katolik. Dasar dari putusan tersebut adalah Kitab Hukum Kanonik dari Kanon 793, Kanon 774, dan Kanon 798. Dengan kata lain, Uskup yang memegang visi reksapastoral dalam LPK maupun IPK tersebut.

Sejauh ini Komdik KAJ telah berupaya mengumpulkan para guru agama Katolik yang bekerja di sekolah negeri di wilayah KAJ. Komdik bertanggung jawab menjaga anak Katolik yang bersekolah di sekolah negeri, agar tidak “tercaplok” iman agama lain atau hilang iman karena tidak terlayani. Komdik juga bekerjasama dengan seksi pendidikan paroki-paroki untuk mengumpulkan data jumlah siswa yang perlu dilayani. Jika belum ada guru agama Katolik, maka siswa wajib mengikuti Bina Iman Anak atau Bina Iman Remaja di paroki setempat.

Apa saja tantangannya?
Tantangannya bermacam-macam. Ada guru agama Katolik yang tidak boleh masuk ke sekolah negeri. Birokrasi di sekolah negeri kadang juga menjadi tantangan. Misalnya, guru beragama Katolik yang mengajar di sekolah tersebut tidak diizinkan mengajar mata pelajaran agama, lantaran bukan bidang studinya. Tantangan lain, pelajaran agama bagi siswa Katolik digabung bersama siswa Kristen. Ada pula guru agama Katolik yang direkrut pemerintah, tapi harus mengajar di beberapa sekolah negeri. Hal ini tentu tidak boleh dibiarkan terus. Tantangan ini juga menjadi keprihatinan Gereja Katolik.

Meski demikian, ada juga sisi positifnya. Ada beberapa sekolah negeri yang mengizinkan para frater dari kongregasi tertentu membantu ikut mengajar di sekolah dengan status guru honorer agama Katolik.

Apa harapan ke depan?
Siswa Katolik yang bersekolah di sekolah negeri harus tetap dan semakin mencintai Katolik, tetap memiliki ciri khas Katolik. Mereka harus lebih mandiri dan survive di tengah perbedaan agama. Teruslah memacu diri dan berprestasi!

Aprianita Ganadi

HIDUP NO.32, 10 Agustus 2014

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here