Pabrik Imam di Kebun Rambutan

639
Wacana Bhakti Symphony Orchestra unjuk kebolehan di gedung olah raga SMA Kolese Gonzaga, Jakarta Selatan.
[HIDUP/Yanuari Marwanto]
4/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Seluruh kegiatan di seminari bermuara di empat hal: kekudusan (sanctitas), kesehatan (sanitas), keilmuan (scientia), dan persaudaraan (societas).

Bunyi genta melolong panjang. Suaranya menyisir tiap ruangan di Seminari Menengah Wacana Bhakti, Jalan Pejaten Barat 10 A, Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis, 7/9. Satu persatu, lonceng elektronik itu membangunkan para seminaris (siswa seminari), setelah sejam siesta ‘tidur siang’. Sebanyak 117 calon imam, lantas ke lokasi opera (kerja tangan) masing-masing.

Ada yang membersihkan kamar tidur, kamar mandi, lorong, kapela, taman, dan lain-lain. Pembagian wilayah opera bagi setiap seminaris merupakan hak prerogratif bidel (ketua). Soal istilah itu, tak semua seminari menggunakan sebutan yang sama. Misal, di Seminari Menengah San Dominggo Hokeng, Flores Timur, petugas seperti itu disebut Ketua Pekerjaan Umum.

Opera selalu ada tiap sore, kata Christo Benito, seminaris Kelas III. Setelah kerja lalu olah raga. Ingin bermain sepak bola? Voli? Atau basket? Semua tersedia di kompleks seminari dan SMA Kolese Gonzaga yang berdiri berdampingan. Seandainya hujan, tapi tetap ingin olah raga, tak perlu kuatir. Seminari punya meja ping-pong yang bisa dipakai bergantian. “Agar semua bisa merasakan,” ujar Christo, melanjutkan.

Kerupuk, Tempe
Sebelum masuk seminari, tiga tahun Adrianus Raditya Indriyatno tinggal di Selandia Baru. Didit, sapaannya, ke “Negeri Kiwi” begitu menyelesaikan pendidikannya di sebuah SD swasta di Bekasi. Ia baru kembali ke Tanah Air pada akhir tahun lalu. Jauh dengan orang tua bukan kendala baginya. Sebab selama di New Zealand, anak pertama dari dua bersaudara ini pun tinggal bersama bude dan pakde-nya.

Soal makanan juga tak menjadi ganjalan bagi seminari kelas persiapan ini. Lidah Didit sudah mulai terbiasa dengan menu ala seminari. “Tadi pagi makan telur semur. Kalau pagi juga ada kerupuk. Enak juga makanan di sini,” pujinya. “Satu orang satu telur, kalau (telur) lebih, baru dibagi sama- sama satu meja (makan),” tambah Didit.

Seminari Wacana Bhakti (WB) merupakan seminari menengah terbuka. Artinya, dalam proses studi, para seminaris bergabung dengan siswa-siswi SMA Kolese Gonzaga. Pelajaran di sekolah berlangsung 07.00-14.45, mulai Senin hingga Jumat. Sementara pada Sabtu, para siswa lain libur sekolah, seminaris justru menyelam dalam pelajaran khusus seminari antara lain bahasa Latin, Discipleship, Discerment, dan Sejarah Gereja.

Bagi Pamong Umum SWB, Romo Albertus Yogo Prasetianto, pendidikan gabung antara seminaris dengan para siswa-siswi umum bertujuan agar seminaris sejak awal mengetahui gerak atau dinamika Gereja. tujuan lain agar mereka mengenal karakter umat, secara khusus di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ).

Di sisi lain, Romo Yogo pun tak menampik, dengan pendidikan bersama seperti itu, punya tantangan tersendiri dalam penerapan aturan. Misal, kata imam KAJ ini, ada seminaris yang meminjam gadget temannya untuk komunikasi atau membuka media sosial. Padahal aturan amat jelas, seminaris dilarang menggunakan benda itu di lingkungan seminari dan sekolah. “Di sekolah mungkin kami agak lunak, tapi tidak di seminari. Begitu kami dapat (gunakan handphone), kami beri surat peringatan,” tegas imam yang juga menjadi Ketua Komisi Kepemudaan KAJ.

Meski demikian, kata Romo Yogo, mereka tak menutup mata terhadap kebutuhan informasi dan perkembangan teknologi. Tahun lalu, seminari mendatangkan lagi 25 unit komputer, hingga saat ini ada 50 unit komputer milik seminari. “Komputer- komputer itu bahkan sudah ada yang terkoneksi dengan internet,” tambahnya. “Mereka (seminaris) juga butuh internet untuk mengerjakan tugas,” lanjut imam asal Paroki Ratu Rosari Jagakarsa ini.

Jemput “Bola”
Romo Yogo optimistis, meski Seminari WB berada di Kota Metropolitan, benih-benih panggilan khusus (imam dan biarawan) akan tetap ada. Panggilan, selain karena rahmat Allah, tapi juga butuh usaha manusia. Artinya, para staf seminari dan seminaris juga harus menjemput “bola” panggilan. “Belakangan ini kami gencar melakukan promosi panggilan di sekolah atau paroki,” terang Romo Yogo.

Promosi panggilan yang paling besar efeknya, menurut Romo Yogo, adalah John Paul II Cup. Kegiatan hasil kerjasama antara Seminari Tinggi St Yohanes Paulus II KAJ dan SWB menyasar para putra altar paroki-paroki se-KAJ. Kegiatan yang dimulai sejak 2013 antara lain diisi dengan berbagai perlombaan dan permainan.

Usaha jemput “bola” sepertinya me nampakkan hasil memuaskan. Setidaknya pada tahun ini saja Seminari WB menerima 40 siswa kelas persiapan pertama. “Kami sempat kewalahan mempersiapkan tempat dan ruang tidur untuk mereka. Kami akhirnya mengganti tempat tidur dengan model ber tingkat, sehingga satu kamar bisa diisi empat orang,” beber Romo Yogo.

Tak cukup hanya memperkenalkan panggilan kepada umat KAJ, ujar Romo Yogo. Tantangan lain yang tak kalah hebat adalah membiasakan gaya hidup di seminari untuk anak-anak Jakarta, dan memperkenalkan panggilan hidup sebagai seorang imam kepada mereka. “Anak Jakarta sulit tenang dan mengendalikan diri, mung kin juga karena usia mereka masih remaja,” ungkapnya, seraya tersenyum.

Jalannya, terang Romo Yogo, lewat kegiatan-kegiatan seminari yang bermuara kepada empat pilar pembinaan di tempat ini, yakni kekudusan (sanctitas) melalui latihan rohani, doa, rekoleksi, dan retret; Kesehatan (sanitas) seperti opera dan olahraga, keilmuan (scientia): sekolah, dan persaudaraan (societas): kegiatan bersama di komunitas.

Pada tahun ini Seminari WB merayakan ulang tahun ke-30. Mensyukuri ulang tahunnya, Seminari WB akan menggelar orkestra di Balai Sarbini, Jakarta Selatan. Pada acara itu akan tampil para tutor musik seminari, musisi Indonesia, dan seminaris Wacana Bhakti. “Tak semua tutor musik di seminari beragama Katolik. Meski demikian, mereka amat mendukung panggilan para seminaris,” ungkap Sub Pamong sekaligus Panitia Ulang Tahun Seminari WB, Frater Marcellinus Vitus Dwiputra.

Lewat orkes tersebut, Frater Linus mengajak seluruh tamu melihat kembali perziarahan Seminari WB selama 30 tahun. Aneka problem panggilan di Jakarta, dihadapi hingga menjadi “pabrik imam”.

Pohon Rambutan
Sebelum kompleks Seminari WB dan SMA Kolese Gonzaga berdiri, kenang Dionisius Wijiyono, tanah di tempat itu ditumbuhi banyak pohon rambutan. “Perempatan Jalan Pejaten juga sudah sangat beda, dulu menurun, tapi sekarang rata,” ujar Wijiyono, karyawan bagian kerumahtanggaan Seminari WB.

Pria kelahiran Bantul, Yogyakarta, 19 Desember 1962 ini sudah menjadi karyawan Seminari WB sebelum lembaga pembinaan calon iman ini menerima seminaris perdana pada 1987. Seminaris pertama Seminari WB pada waktu itu diantaranya Kepala Paroki St Thomas Rasul Bojong Indah, Romo F. X. Suherman dan Rekan Paroki St Yakobus Kelapa Gading, Romo Aloysius Hadi Nugroho. Bedanya, jika Romo Herman masuk seminari sejak lulus SMP, sementara Romo Hadi selesai SMA.

Selama 30 tahun berdiri, “pabrik imam” yang berdiri di atas tanah bekas kebun rambutan itu telah menghasilkan 61 imam. Jumlah tahbisan itu tentu kalah jauh dengan beberapa seminari yang telah berusia lebih uzur. Namun, tak ada salahnya juga untuk bergembira dan bersyukur untuk setiap karya kebaikan Allah ini.

Yanuari Marwanto

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here