Ayo Bantu Seminari

827
Mgr Ludovikus Simanullang melantik pengurus baru GOTAUS 2017-2020 di Aula Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Menteng, Jakarta Pusat, 17/7.
[Dok.HIDUP]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Umat dan sejumlah komunitas punya kepedulian besar terhadap seminaris dan lembaga pendidikan calon imam. Selain finansial, mereka juga bertekun dalam doa.

Lornim Simarmata tak kuasa menahan laju perkembangan teknologi. Usaha warung telepon (wartel) miliknya memasuki senjakala saat telepon genggam mulai muncul. Setelah delapan tahun, wartel yang dirintis dari modal pinjaman itu terpaksa gulung tikar. Lora, demikian panggilannya, bingung. Sebab, wartel “Sinar Budi Asih Tama” itulah gantungan hidupnya.

Sejak wartelnya itu tutup pada 2008, Lora berniat mematikan “kran” sumbangannya untuk seminari melalui Gerakan Orang Tua Asuh untuk Seminari (GOTAUS). Pertimbangan Lora praktis dan realistis, untuk makan-minum saja sulit, masak harus menyumbang? Lagi pula, ia tak ada pekerjaan dan uang.

Perempuan kelahiran Samosir, Sumatera Utara, 7 Juli 1996 itu hijrah dari Medan ke Jakarta pada 1998. Tujuannya, mencari pekerjaan. Malang nian nasib Lora, sudah ke sana ke mari, tapi tak ada satu pun perusahaan yang meminangnya. Lora mencoba peruntungan dengan membuka wartel. “Tuhan, kalau saya punya pekerjaan atau bisa membuka usaha, saya akan berbagi apa yang saya miliki,” ungkap Lora, mengenang.

Tukang Kredit
Selang beberapa bulan wartelnya beroperasi, Lora teringat dengan nazarnya. Pada suatu ketika, ia membaca Majalah HIDUP. Dalam sebuah berita, katanya, memuat informasi peluncuran GOTAUS. Lantaran kadung janji, Lora mendatangi Kantor Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Ia mendaftar sebagai donatur GOTAUS. Ia sempat ikut menggalang dana serta menyebar brosur ke paroki-paroki, “Sumbangan pertama saya waktu itu Rp 50 ribu,” beber Lora, ketika dihubungi lewat telepon, Kamis, 2/11.

Sejak prahara melululantakkan usahanya, Lora merasa amat berat menyumbang Rp 100 ribu untuk GOTAUS setiap bulan. Rencana menghentikan donasi ternyata urung ia lakukan. Menurut Lora, batinnya menolak. “Masa harus menunggu sampai mampu, baru saya bisa menyumbang,” ujarnya.

Niat Lora untuk terus memberikan donasi bagi lembaga pendidikan calon imam seakan mendapat peneguhan ketika mendengar khotbah Uskup Agung Jakarta, Mgr Ignatius Suharyo, di parokinya, St Ignatius Loyola Jalan Malang. Saat itu, kenang Lora, Mgr Suharyo mengatakan, kehidupan para imam menjadi tanggung jawab umat.

Tekad Lora mantap untuk terus menyumbang seminari. Meski ia akui, donasinya sangat kecil. Ia menganalogikan bantuannya seperti tetes air di tengah samudera. Lora tak menampik, menjalankan niat itu tak mudah. Sebagai tukang kredit baju, ia harus getol dan kreatif menjajakan barang dagangan agar laris dan bisa menyisihkan keuntungan untuk seminaris.

Suatu kali, Lora sempat mendengar nada sumir dari seorang umat. Kata orang itu, seperti dikutip Lora, enggan membantu seminari karena kelak ada yang keluar, atau menanggalkan jubah dengan berbagai alasan. Lora tak ingin mengubris suara sumbang tersebut. Baginya jika tulus menolong, ya silakan membantu. “Saya percaya, meski ada (seminaris) yang keluar, mereka tetap berkarya dan membantu Gereja.”

Peduli Seminari
Bantuan untuk seminari tak hanya datang dari pribadi-pribadi, tapi ada juga yayasan, kelompok, dan komunitas yang memiliki fokus kepedulian kepada para seminaris. Mereka menggalang bantuan untuk seminari dengan menggelar acara atau langsung mengetuk hati para donatur. Kelompok-kelompok tersebut senantiasa bersinergi dengan GOTAUS.

Yayasan Sesawi –lembaga bentukan para mantan Jesuit yang bergabung dalam Paguyuban Sesawi– memiliki program Dukung Panggilan (DuPang). Program ini membantu biaya pendidikan seminaris dengan kriteria maksimal 50 persen dari nilai finansial kewajiban orangtua kepada seminari menengah. Dengan kata lain, orangtua masih memiliki kewajiban atau tanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya.

Program DuPang lahir karena melihat kenyataan tidak sedikit para imam berasal dari keluarga sederhana. Persoalan besarnya, banyak keluarga-keluarga sederhana merestui anak-anak mereka masuk seminari, namun kesulitan finansial. Program DuPang ingin meringankan beban keluarga-keluarga sederhana. Agar jangan sampai benih panggilan itu mati lantaran keterbatasan finansial, karena itu program DuPang khusus membidik seminaris.

Profesional Usahawan Katolik Keuskupan Agung Jakarta (PUKAT KAJ), melalui Yayasan Sahabat Seminari (YASS) dan Komunitas Peduli Seminari (KPS), juga memberikan perhatian kepada lembaga pembinaan calon imam. Pada Oktober lalu, YASS dan KPS bersama PUKAT KAJ, Komisi Seminari KWI, dan Tunas Muda School menggelar konser amal untuk membantu pendidikan seminari.

Konser yang berlangsung di Ciputra Artpreneur Theater, Jakarta Selatan, merupakan pertunjukan amal kedua. Sebelumnya, pada 2014, YASS dan KPS juga menggelar pementasan musik di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.

YASS dan KPS lahir atas keprihatinan para penggiat dan pemerhati seminari terhadap kondisi lembaga pembinaan calon imam dan menyusutnya jumlah tahbisan imam. Kondisi bangunan seminari juga membutuhkan penanganan mendesak, untuk direnovasi atau penambahan fasilitas belajar baru sesuai kebutuhan zaman dan tuntutan pendidikan masa kini. Selain itu, lembaga donor di Eropa untuk pendidikan calon imam semakin berkurang.

Tak hanya bantuan finansial, ada juga komunitas yang juga memberikan perhatian kepada para seminaris dalam wujud tak tampak oleh mata, yakni doa. Salah satu komunitas tersebut adalah Paguyuban Orangtua Cinta Seminari (POCI). Paguyuban itu terbentuk tujuh tahun lalu. Menurut Stephanus Maria Harisyanto Yosoraharjo, ketika dihubungi melalui telepon, Jumat, 3/11, mengatakan, setiap empat bulan, anggota POCI berkumpul untuk berdoa dan merayakan Misa dengan intensi khusus bagi seminaris.

Mayoritas anggota POCI adalah orangtua yang memiliki anak di seminari, bahkan ada yang sudah menjadi imam. “Hingga saat ini POCI sudah menghasilkan tiga orang imam. Pada Desember nanti akan ada satu orang yang akan ditahbiskan,” ungkap ayahanda Fr Adrianus Bonifasius Riswanto Putra SJ.

Bagi suami Caecilia Triyatmi Purwanti, doa juga suatu yang amat penting. Menurut pengalamannya, panggilan anak juga bertumbuh berkat doa orangtua. “Dari pengalaman saya, mereka yang menjadi imam berkat peran dan ketekunan doa orangtua.”

Selain berdoa, POCI juga berbagi cerita dengan para orangtua seminaris. Pada kesempatan itu mereka berbagi cerita tentang perkembangan anak masing-masing serta membahas berbagai persoalan di seminari. Pertemuan rutin tersebut diadakan di Kolese Kanisius, Jakarta Pusat.

Sekeping Uang
Bantuan finasial dan doa amat dibutuhkan untuk seminari dan seminaris. Donasi itu seperti sekeping mata uang logam yang tak dapat dipisahkan. Menurut Haris, persoalan finansial untuk seminari yang berada di Pulau Jawa, secara khusus di Jakarta, tak terlalu menjadi persoalan.

Kebutuhan finansial, justru amat dirasakan seminari-seminari yang berada di luar Jawa. Namun, benih-benih panggilan justru amat subur di sana. Karena itu, GOTAUS biasanya mengalokasikan dana lebih besar untuk seminari yang berada di luar Jawa.

Berkat bantuan umat, selain memperbaiki gizi para seminaris, juga mempercantik dan melengkapi sarana serta fasilitas pendidikan para calon imam. Namun, semua bantuan yang kasat mata itu, perlu ditopang dengan doa-doa umat. Tentu, kita berharap, dengan kemajuan seminaris dan lembaga pendidikannya, bisa mencetak imam yang andal.

Yanuari Marwanto

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here