Meditasi Kematian

858
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Romo, bulan November lalu, saya membaca di sebuah platform media mengabarkan bahwa warga Korea latihan mati demi belajar menghargai hidup. Bagaimana pandangan Gereja mengenai ini? Apakah harus seperti itu cara menghargai hidup?

Cantika, Jakarta

Berita yang anda baca, kiranya termasuk dalam tradisi Buddhis, yang memandang penting meditasi kematian. Terkenal kata-kata Buddha sebagai berikut: “Dari semua jejak kaki, jejak kaki gajahlah yang tertinggi. Begitu pula, dari semua meditasi pikiran, meditasi atas kematian adalah yang tertinggi.”

Nama khususnya adalah maranasati. Dengan aneka visualisasi dan kontemplasi orang merenungkan hakikat kematian, termasuk bagaimana keadaan tubuh ini sesudahnya. Misalnya, dibayangkan tubuh kita yang tergeletak beberapa hari, lalu cacing dan belatung menggerogotinya. Tubuh rusak, menjadi kerangka, sampai akhirnya berserakan sebagai tulang rapuh dan hancur menjadi debu.

Kesadaran akan kematian ini meningkatkan juga kesadaran akan hidup, bahwa hidup ini singkat, dan kita semua akan mati. Bila tiba saatnya, apa pun yang kita miliki tak akan membantu kita, bahkan orang yang kita cintai tidak dapat membantu kita. Kesadaran ini merelativir ketegangan hidup yang diakibatkan oleh ambisi dan persaingan. Semuanya akan hilang, habis dan lenyap. Orang semestinya berserah, berani melepaskan keinginan-keinginan dan bisa memilih yang perlu saja. Inilah jalan pengosongan diri yang memberi kebahagiaan.

Umat Katolik dapat juga menggunakan meditasi kematian seperti itu untuk menghargai hidup, untuk bersikap kritis terhadap keinginan-keinginan yang tak teratur dan pencarian diri yang sia-sia. Ada berbagai latihan rohani mirip yang juga menganjurkan model meditasi ini dan macam-macam askese atau matiraga.

Pertanyaan refleksinya adalah: apa yang aku cari dalam hidup ini? Apa yang harus kubuat agar hidupku yang singkat ini bermakna? Di sini sabda Yesus tentang ketamakan sering dipakai: “Apa gunanya memperoleh harta dunia, kalau kamu tidak kaya di hadapan Allah?” (bdk. Luk. 12:26). Dipakai juga Kitab Pengkotbah tentang kesia-siaan hidup (Pkh. 1).

Namun demikian ada perbedaan penting juga. Pertama, dalam tradisi Katolik bukan hanya kematian fisik saja yang direnungkan, tetapi terutama adalah kematian akibat dosa. Kematian akibat dosa ini telah ditebus berkat kematian Kristus. Dengannya makna hidup terungkap jelas, yaitu bahwa kita sungguh-sungguh dikasihi Allah. Hidup kita sekarang ini adalah anugerah. Allah sendiri telah memperjuangkannya bagi kita. Merenungkannya akan membuat kita merasa sangat beruntung, karena cinta luar biasa dari Bapa yang mengutus Putra Tunggal-Nya.

Itulah sebabnya, kematian Kristus menjadi model hidup kita. Barang siapa mati seperti Kristus akan bangkit. Ini sudah dimulai sejak pembaptisan, di mana kita bersatu dengan kematian-Nya, dan ambil bagian dalam kebangkitan-Nya. Perenungan kematian ini diulang-ulang, dalam Ekaristi khususnya dan lagi saat Prapaskah, dan menjadi pola perkembangan hidup beriman.

Kedua, dalam tradisi Katolik kematian selalu direnungkan sebagai momen rohani, bukan sebagai musibah negatif, melainkan sebagai pintu harapan. “Hidup tidak dilenyapkan, tetapi hanyalah diubah” (Prefasi Arwah I). Kita percaya bahwa dalam kematian kita disambut oleh Allah pengasih, bahwa roh kita akan menghadap kepada-Nya, bahwa tersedia tempat bagi kita di rumah Bapa (bdk. Yoh 14:2).

Tubuh kita memang hancur, tetapi pada akhir zaman juga akan bangkit dan disatukan kembali dengan roh kita dalam kemuliaan. Jadi, meditasi kematian tidak berhenti pada hancurnya tubuh, tetapi pada kerahiman kasih Allah yang maharahim yang menentukan masa depan kita.

Gregorius Hertanto MSC

HIDUP NO.50 2019, 15 Desember 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here