HIDUPKATOLIK.com – Sampai di sini aku bingung. Mataku bergerak cukup liar. Kulit keningku mengerut. Pokoknya sangat tidak menentu. Ketidakpastian mendedah ragaku. Aku dituntut memilih opsi-opsi. Aku diperhadapkan pada tiga
cabang jalan. Aku mesti melewatinya. Waktu itu, aku berdiri di depan teras rumah sambil memandang bukit golo lobos yang menjulang tinggi dan juga hamparan landaian satar teu yang sedang menghijau. Keindahan itu tidak sanggup
juga menghentikan kebimbangan itu.
Simpang tiga merupakan titik terakhir. Setelahnya hanya sebuah pertanggungjawaban. Tidak ada pilihan baru. Aku diwajibkan untuk memilih dengan kesungguhan hati.
“Tidak.” Ibu memotong suaraku. “Nak engkau tidak boleh menyerah dengan cara demikian.” Ibu mengungkapkan ketidaksepakatanya. Dia begitu tegas. Saya sangat senang dengan itu.
Dia berbicara sambil menyiapkan meja makan. Diselempangkan sepotong kain serbet pada bahunya. Kelihatan sibuk sekali. Beberapa menu makan seperti nasi merah, sayur londe, daun ubi yang dicampur dengan daun pepaya dan kacang ijo serta belahan kestela yang dicampur dengan kelapa. Semua itu disiapkanya di atas meja.
Aroma sayur tersebut sangat khas. Sungguh menggoda perut. Aku tidak tahan lagi untuk segera menyantap menu-menu makanan tersebut. “Ibu, aku makan duluan ya. Aku sudah lapar.” Pintaku kepada ibu. “Ehh Raka, tahan dulu. Kita tunggu bapak pulang. Tidak lama bapak akan pulang.” Katanya sambil menunjuk jam yang ada di dinding.
Malam itu, jarum jam menunjukkan pukul 18:30. Seperti biasanya, kami makan malam pada pukul 19:00. Terkadang lebih cepat dan juga molor sepuluh menit. “Raka, kan tidak baik kalau kita tidak menunggu bapak. Kasian bapak. Dia makan sendirian.” Katanya lagi kepadaku. “Tapi bu, Raka sudah lapar.” Kataku menyahutnya.
Aku duduk di kursi sambil menggoyangkan kaki. Aku sekali-kali menundukkan kepala. Dalam benakku, masih dibebani oleh permintaan untuk
memilih antara menjadi Imam atau tidak. Tahun ini adalah tahun terakhirku di rumah formasi. Aku rasanya sedang berada di simpang yang banyak dalam perjalanan ini. Aku memang kerap kali
menceritakan pilihan yang bercabang itu kepada ibu. Ya ibu mesti menjadi orang pertama yang mengetahuinya.
Dia rupanya merasakan pergolakan hatiku. Ibu memiliki komunikasi batin dengan buah hatinya. Apa saja yang dirasakan oleh anaknya, dia juga kerap kali merasakan hal yang sama. Minimal dia mengetahui bahwa anaknya mengalami hal tertentu. Tetapi, ibu tidak senang kalau aku terus memikirkan persoalan itu. Ibu hanya meminta aku
untuk lebih santai, sambil tetap terus berdoa.
Ibu kemudian berjalan ke dapur. Dia hendak mengangambil Cerek air minum yang masih ada di dapur. Setelah itu, dia menaruh cerek tersebut di meja, lalu dia mendekati aku. “Raka, bagaimana
kalau kita makan ubi yang ibu masak tadi sore?” Aku langsung menyahutnya. “Oh ia Bu, ubi itu masih ada? Kalau itu saya ambil saja.” “Ok. Intinya Raka makan.” Lalu ibu ke dapur lagi dan mengambil sepiring ubi. Ubi itu sudah dicampuri
dengan gula merah. Sangat enak. “Ibu terima kasih.” Kataku kepadanya.
Aku segera makan beberapa potong ubi itu. Ibu hanya melihat aku. Tatapanya sangat menunjukkan tatapan kasih. “Ibu mengapa tidak makan ubi?” Tanyaku kepadanya. Ibu pun memegang bahuku. Sentuhan tangannya memberikan energi tersediri bagi diriku. Tangan kanannya memegang gelas yang sudah dilapnya
dengan kain. “Raka ayo makan, Ibu masih kenyang. Ubi ini ibu simpan khusus untuk anaknya yang hebat.”
Ibu kembali ke dapur. Dia merapihkan beberapa tempat makan yang disimpan begitu saja di dapur. Kami masih menunggu bapak yang belum juga pulang. Titik keringat muncul dari wajahnya. Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya Ibu selalu menyiapkan meja hidangan dengan tuntas. Dia tidak suka pada saat jam makan harus kembali ke dapur untuk mengambil sesuatu seperti sendok,
piring atau pun gelas air.
Jam sudah menunjukan pukul 19:00. Bapak belum juga pulang. Ibu sudah menyiapkan semuanya. Ibu lalu duduk pada kursi di sebelah kiri. Dia kembali
menatap aku. Dari tatapanya, aku sudah membaca bahwa dia hendak menyampaikan hal yang sangat penting.
“Raka rupanya akhir-akhir ini, engkau kurang berdoa. Ingat! Jangan lupa dengan Bunda Maria. Kalau sudah kembali ke biara, jangan lupa takhtakan Arca Maria di kamarmu. Raka harus
selalu berdoa kepada Bunda Maria. Ingat itu.” Begitulah pesan ibu yang kerap kali dia beritahu kepadaku.
Aku tidak menjawabnya. Aku menundukan kepala dan diam. Aku sangat bingung bagaimana kata-
kata yang pas untuk menjawab permintaannya. Sebenarnya bukan hanya soal ada Arca Bunda Maria atau tidak. Lebih dari itu, aku hendak menceritakan kepada ibu tentang dilemaku dalam
perjalanan ini. Tapi aku bingung.
***
Masih segar dalam ingatanku bahwa dia pernah meminta aku supaya mengurungkan niat untuk masuk biara dan tidak usah jadi imam. Dia juga tidak memberikan alasannya. Satu hal yang paling saya ingat dan tidak akan saya lupakan adalah pesannya yang selalu dia beritahukan kepadaku dan adikku yakni jangan lupa berdoa kepada Bunda Maria.
Cerita itu sudah berakhir dan menjadi kenangan terakhirku dengan ibu. Di pusaranya sudah muncul bukti-bukti bahwa dia adalah orang yang paling
mencintai kami. Namun cerita ini menjadi bahan refleksiku hari-hari ini di kamarku di Rumah Formasi.
***
Malam itu malam biru. Aku duduk berdiam diri di meja belajarku. Di depanku ada tumpukan buku-buku Filsafat dan Teologi yang tersusun rapi. Dan, di sebelahnya ada Arca Bunda Maria dan sebatang lilin ungu serta Rosario. Arca itu sebagai pengingat
bagiku akan pesan Ibu. Aku sendiri saja malam itu. Aku hanya ditemani arca Bunda Maria dan tumpukan buku-buku.
Aku tidak sempat makan malam. Ada hal yang harus saya selesaikan malam itu. Aku masih memikirkan dilema dan kini aku benar-benar diminta untuk segera mengambil arah jalan yang tepat. Di mejaku ada selembar kertas dari Bapak Uskup yang mesti diisi dengan jawaban-jawaban pasti. Hanya sekali saja keputusan itu.
Pikiranku bergejolak tidak menentu. Aku dilema memikirkan dan memutuskan apa. Aku tidak fokus. Ingatanku berputar sekitar mengingat kembali cerita terakhir dengan ibu atau memikirkan kata-kata yang tepat untuk dituliskan pada surat tersebut. Tidak hanya itu, aku menjadi lebih dilema lagi, untuk memilih, mengikuti permintaan ibu atau menuliskan jawaban “YA” pada surat.
Aku mengingat kembali pesan ibu. Dia pernah menuliskan secarik kertas dan aku menyimpannya dalam dompet. Aku pun mengambil dompet dan segera saja membuka secarik kertas kusam yang dilipat dengan rapi dalam dompet tersebut. Surat itu merupakan hadiah yang ibu berikan kepadaku pada saat aku menerima Sakramen Komuni Pertama, tepatnya 10 tahun yang lalu. Isinya merupakan tulisan tanganya sendiri. Aku menyalakan lilin ungu di depanku dan aku membaca surat itu.
SALAM MARIA
Salam Maria, penuh rahmat
Tuhan sertamu.
Terpujilah Engkau di antara wanita
Dan terpujilah buah tubuhmu, Yesus.
Santa Maria, Bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini.Sekarang dan pada waktu kami mati.
Amin.
Aku membacanya berulang kali, kira-kira tiga puluh kali. Setelah itu mataku terasa berat. Aku tak sadarkan diri. Terlelap dalam tidur. Keesokan harinya pagi-pagi sekali aku bangun. Badanku sangat segar. Aku pun menuliskan surat untuk Bapak Uskup. Aku menuliskanya dengan sepenuh hati. Aku memilih satu jalan dari pilihan-pilihan ini. Hanya Ibu, aku, Bapak Uskup dan Tuhan saja yang
tahu.
Lois Fonsi
HIDUP NO.01 2020, 5 Januari 2020