Yang ‘Misterius’ Kini Hadir di Tengah-tengah Kita

119
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – “SEBAIKNYA Anda sering mengikuti Misa, kalau bisa setiap hari,” saran seorang bruder suatu kali. “Mohon maaf Bruder, tapi saya sering ke luar kota, jadi tidak bisa misa setiap hari,” saya memberi alasan.

“Mohon maaf Bruder, tapi saya sering ke luar kota, jadi tidak bisa misa setiap hari,” saya memberi alasan.

“Memangnya di luar kota tidak ada Gereja?” tanya Bruder itu kembali.

“Mohon maaf Bruder, ada, tapi kan saya di luar kota kerja, jadi sering tidak sempat,” saya kembali menjawab.

“Misa pagi kan jam 5.30, apa sudah mulai bekerja jam 5.30 pagi?” tanyanya balik.

“Mohon maaf Bruder, kalau misalnya jam 5.30 berarti saya harus bangun jam 4.30 pagi…”
“Ya terus?”

“Itu pagi sekali, Bruder…”

Percakapan itu selalu terulang dalam benak, setiap kali saya menatap layar 12 inch laptop yang tengah full screen menampilkan Misa harian yang sejak masa pandemi disiarkan secara langsung lewat medium Youtube. Dan, saya berpikir jika percakapan itu terjadi saat ini, mungkin bruder akan menghardik, hai anakku, alasan apalagi yang telah kau siapkan?

Saya harus mengakui, bahwa pandemi telah membuat saya melakukan suatu hal yang tidak pernah dalam hidup saya pernah bayangkan sebelumnya: mengikuti Misa harian.

Tidak bisa dibayangkan, karena pertama, saya memang bukan morning person dan Misa harian itu diadakan biasanya pagi-pagi benar. Yang kedua, karena saya tidak menyangka akan pernah ada pandemi sedasyat COVID-19 yang seolah memaksa Gereja untuk mengalami revolusi industri 4.0 dan memindahkan aktivitas pelayanan ke dunia digital.

Jangankan puluhan tahun yang lalu. Periode bulanan saja, persis sebelum tahun 2020 dimulai, konsep Misa online masih akan menuai kontroversi, dianggap nggak sah dan nonliturgi.

Nggak bisa dong, kebersamaan bersama sakramen digantikan begitu saja dengan kebersamaan virtual lewat layar kaca. Streaming misa online, kalaupun ada, bentuknya lebih sebagai sebuah tontonan acara saja, biasanya pengangkatan Uskup atau acara penting lainnya. Tidak bernilai kudus.

Gereja beradaptasi dengan perkembangan teknologi digital selama satu dekade ini dengan cara yang perlahan, ekstra hati-hati dan cenderung lambat. Tentunya, memang tidak mudah untuk mengubah praktik kebiasaan yang sudah ratusan tahun berjalan sejak penemuan mesin cetak, apalagi yang menyangkut kerohanian. Mana yang sah mana yang sakral, menjadi kelabu.

Diskusi tentang media sosial dan digitasi Gereja mulai muncul, namun praktiknya secara hierarki tidak terlalu aktif. Seruan untuk bergerak di sosial media beredar, namun contohnya belum nyata. Akun media sosial dibuat, namun bentuknya masih lebih mirip iklan baris; mencatat pengumuman satu per satu. Mirip koran tapi dalam bentuk digital. One-way. dan tidak interaktif.

Kalaupun mulai muncul klub doa online, grup Facebook rohani, dan promo acara Orang Muda Katolik (OMK) via media sosial, sifatnya sporadis dan diinisasi individu. Yang lebih rame malah perdebatan tentang sah tidaknya, doa jika ditulis secara online, nyata tidaknya aktivisme rohani jika hanya via sosial media, sampai dosa tidaknya bawa-bawa gambar Yesus dalam memes.

Lalu datanglah tahun 2020 dengan badai pandemi COVID-19 yang menggulungnya. Lalu umat Katolik tidak lagi berdiri menghadap altar, melainkan menghadap layar monitor, mengangkat tangan mengagungkan Sakramen Maha Kudus yang tersiarkan langsung lewat Youtube.

Era Digital

Gereja, tergagap pada awalnya, semakin luwes menyambut masa penuh perubahan ini, dengan berbagai Misa live streaming bertaburan dari berbagai paroki di seluruh Indonesia, yang makin lama makin halus, makin sedikit isu teknisnya, makin canggih dengan teks lagu muncul di layar, seperti lagi karaoke.

Perdebatan tentang sah tidaknya Rosario online, meski masih ada yang suka mendebatkan, meredup dengan sendirinya. Namanya juga keadaan darurat. Lebih baik daripada tidak sama sekali.

Meski jadi kehilangan alasan untuk tidak ikut Misa harian, saya lega bahwa Gereja mendapatkan kesempatan untuk untuk melompat, memasuki era digital dan memastikan Gereja tetap relevan dalam kehidupan umatnya yang semakin lekat dengan internet.  Untuk tidak melihat dunia digital sebagai dunia misterius yang mencurigakan, tetapi sebagai salah satu medium pengembalaan.

Karena, media digital, seperti media-media bentuk lain, tidak pernah menciptakan hal baru. Ia hanya mengamplifikasi apa yang ada di dunia nyata. Teknologi digital, membuat amplifikasi menjadi lebih cepat dan lebih masif. Yang jelek seperti berita bohong, ujaran kebencian, kejahatan digital, menyebar cepat dan punya dampak lebih besar.

Namun kesempatan yang sama diberikan pada nilai positif. Pelayanan Gereja, evangelisasi, doa komunitas, tetap punya nilai yang sama, meski karena bentuknya, dapat merangkul secara lebih luas. Hanya siapa yang mau memanfaatkan kanal baru ini untuk menjangkau para domba di luar sana? Serigala duluan atau gembalanya?

So what’s next?

Saya yakin, begitu pandemi ini berakhir, begitu 70% masyarakat Indonesia menerima vaksin anti-Covid-19, Gereja akan kembali dipenuhi umatnya. Peserta persekutuan doa karismatik akan kembali dengan sukacita melambaikan tangan sambil melonjak bersama-sama. Para joki Misa Natal (Paskah) akan kembali beraksi, menduduki bangku Gereja dua jam sebelum Misa dimulai karena kekhawatiran akan membludaknya umat.

Ada hal-hal yang tidak dapat tergantikan lewat pertemuan virtual. Namun semoga dunia digital tetap dapat melengkapi pelayanan Gereja, dengan cara-cara khasnya yang menjadi keterbatasan media offline.

Seperti Pekan Komunikasi Sosial Nasional (PKSN) yang selama ini digelar offline, ternyata lebih kaya ketika digelar online. Dengan karakter online yang demokratis, PKSN online tidak lagi menjadi acara satu arah pengurus pada peserta. Tetapi, juga menjadi kesempatan masing-masing komisi sosial untuk berbagi, tentang pengalaman dan keahlian yang khas dari regio masing-masing.

Ada lebih banyak peserta yang dapat berpartisipasi dalam pelatihan, lomba-lomba media sosial atau bahkan sekadar ikut menyimak.  Sehingga sekalipun PKSN offline dapat kembali diadakan, bentuk onlinenya tetap akan dlangsungkan.

Mengikuti Rosario bersama bareng Paus, satu lagi kegiatan yang tidak pernah saya lakukan sebelumnya, saya sungguh merasakan getaran kekhusukan dalam doa yang terjadi nun jauh di Eropa sana. Dan saat itu, apakah posisi saya cuma sebagai penonton, atau layak dianggap sebagai peserta doa, sudah tidak penting lagi. Melalui suara yang tertransfer lirih lewat jaringan Bluetooth ke dalam headset wireless, saya merasakan kehadiran Tuhan. Bukankah itu yang utama?

Margaretha Astaman, Kontributor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here