Sumpah Pemuda, Kaum Muda, dan Revitalisasi Persatuan

88
Museum Sumpah Pemuda
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – SEJAK ditetapkannya tanggal 28 Oktober 1928 sebagai hari Sumpah Pemuda, para pemuda Indonesia dari berbagai agama, suku, dan budaya bertekad bulat untuk menjaga persatuan Indonesia. Ada tiga butir sesanti yang digemakan oleh kaum muda Indonesia kala itu: Pertama, kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kedua, kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Ketiga, kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ketiga sesanti ini menjadi fakta bahwa persatuan Indonesia sudah mulai diperjuangkan oleh kaum muda Indonesia, bahkan sebelum kemerdekaan itu terjadi.

Gema untuk memperjuangkan persatuan Indonesia ini tampaknya kian hari kian meluntur seiring berkembangnya radikalisme yang menggerogoti kaum muda kita. Orang-orang yang kemudian mengatasnamakan diri sebagai kelompok radikal ingin mengganti bentuk persatuan kita dengan bentuk persatuan yang tidak memberi ruang pada perbedaan. Lewat ujaran kebencian dan berita-berita bohong (hoax), kaum muda kita diajari untuk tidak memiliki sikap toleransi kepada saudaranya yang berbeda. Akibatnya, sentimen terhadap agama, suku, dan budaya tertentu akhirnya tidak dapat dihindari. Hal ini menjadi fakta bahwa persatuan di Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

Memaknai Persatuan

Keprihatinan akan nilai-nilai persatuan yang tidak memberi ruang terhadap perbedaan, akhirnya menyadarkan kita akan pentingnya revitalisasi persatuan. Maksudnya adalah  menghidupkan kembali semangat persatuan yang memberi ruang terhadap perbedaan. Di Indonesia, persatuan itu bukan sesuatu yang sama sekali tidak ada. Persatuan itu sudah ada dan dihidupi oleh orang-orang muda kita pada hari Sumpah Pemuda kala itu.

Tampaknya, persatuan menjadi inti dari identitas kita sebagai bangsa Indonesia, kendati persatuan itu tidak harus berangkat dari latar belakang yang sama. Justru persatuan yang diupayakan dari perbedaan itu akan menjadi sesuatu yang sangat indah, saat kita mau menjunjung tinggi sikap saling menghargai dan menghormati. Oleh karena itu, revitalisasi persatuan tidak kita upayakan dengan cara mengganti bentuk persatuan yang sudah ada dengan persatuan yang menguntungkan suatu kelompok atau golongan tertentu. Tetapi kita upayakan dengan menghidupkan kembali semangat persatuan yang sudah ada dengan memberi ruang terhadap siapa pun untuk ikut berkontribusi bagi kehidupan bersama kita sebagai bangsa Indonesia.

Persatuan yang didasarkan atas perbedaan di antara anggota-anggotanya menjadi sesuatu yang unik dan khas. Hal ini mengingatkan kita akan kata-kata St. Paulus dalam I Korintus 14: 14-26, sama seperti tubuh terdiri dari banyak anggota yang berbeda, dan masing-masing anggota yang berbeda itu memiliki peran dan fungsi yang akhirnya membentuk kesatuan tubuh. Tidak mungkin seluruh tubuh terdiri dari mata atau tangan semuanya. Justru karena tubuh terdiri dari beragam anggota yang berbeda, maka dibutuhkan sikap menghormati satu dengan yang lain. Jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita dan jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita. Itulah indahnya perbedaan yang berdasar pada sikap saling menghormati dan menghargai.

Jika sila ketiga berbunyi persatuan Indonesia, maka ajakannya jelas bahwa seluruh rakyat Indonesia diundang untuk menghidupi semangat persatuan. Dan dalam hal ini kaum muda memiliki peluang yang besar untuk merevitalisasi semangat persatuan tersebut. Mengapa orang muda? Presiden Soekarno pernah mengatakan demikian, “Beri aku 1.000 orang tua niscaya akan kucabut semeru sampai ke akarnya, tetapi beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia.”

Sangat menarik ketika kita melihat fenomena akhir-akhir ini, saat ruang-ruang perjumpaan dan dialog dihidupi kembali oleh orang-orang muda. Tidak hanya orang-orang muda dari satu golongan saja, melainkan orang-orang muda lintas iman dengan berbagai latar belakang agama, suku, dan budayanya. Tentu dibalik fenomena ini, kaum muda kita memiliki kerinduan untuk menghidupi kembali semangat persatuan di tengah krisis toleransi akibat radikalisme dan berita-berita bohong (hoax) yang merongrong kehidupan bersama kita.

Akhirnya, dengan menghidupkan kembali ruang-ruang perjumpaan dan dialog tersebut, orang muda belajar untuk menumbuhkan sikap saling menghormati dan menghargai satu dengan yang lain. Persis point inilah yang menjadi ajakan St. Paulus kepada kita. Sikap saling menghormati menjadi ajakan bagi kita sebagai bangsa Indonesia untuk memupuk persatuan dan kerukunan. Mari kita rawat Indonesia sebagai rumah kita bersama.

Yustinus Andi Muda Purniawan, Alumni Mahasiswa Licensiat Teologi, Fakultas Teologi Wedabhakti Yoyakarta

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here