NYAMPAH SEMBARANGAN, MESKI SEDIKIT NAMUN MENGGANGU

672
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – MELIHAT langsung seorang bapak membuang sampah seenaknya, saya menahan rasa pahit. Sampah dilempar ke arah jembatan! Hati menjadi tambah sakit ketika melihat lagi dari arah berlawanan seseorang meletakkan sampah dipinggir jalan, tepat di samping jembatan. Sampah juga bertumpuk di tengah hutan jati. Puluhan kilo jeruk pecel dan buah naga berkarung-karung dibuang sembarangan.  Hal demikian terjadi berulang-ulang saat sedang musim panen dua buah itu.

Pada titik lain, sampah anorganik berbaur. Sampah yang dibawa dan dicabik-cabik anjing kampung ke jalan.  Menambah rusak pemandangan.  Anehnya dari info yang beredar, itu bukan sampah warga setempat. Warga desa lain yang meletakkannya. Kepala desa sudah lama mengetahui hal itu. Bahkan dia menganjurkan saya menghadap manajemen Perhutani ketika mengeluhkan hal itu. Bagi kepala desa semestinya manajemen Perhutani menyediakan tempat atau lahan pembuangan sampah mengingat area hutan jati adalah milik Perhutani.

Adiwiyata Sekolah

Tiba-tiba saya merasa gagal dan berjuang sendirian. Apa arti pembiasaan di sekolah? Siswa sudah berlaku bersih di sekolah. Bagaimana orang tua dan lingkungan rumah mereka? Saya ingat saat memperjuangkan SD  Sang Timur Sumberjati, Banyuwangi  supaya dapat lolos menjadi sekolah sehat dan mendapat penghargaan Adiwiyata tingkat Provinsi Jawa Timur. Penghargaan Adiwiyata merupakan program lingkungan hidup yang memiliki empat tahap penghargaan, mulai dari tingkat kabupaten, provinsi, nasional dan yang tertinggi adalah tingkat mandiri.

Lingkungan sehat, kebiasaan hidup sehat, dan karakter kepedulian pada lingkungan hidup terbentuk dalam Sekolah Adiwiyata. Peningkatan kesadaran kualitas pengelolaan lingkungan sampai pada sumber daya alam dan pengembangan sistem pengelolaan sampah terwujud di sekolah. Budaya dan karakter yang dibentuk dan terbentuk dalam diri siswa dan warga sekolah, harapannya menular kepada masyarakat sekitar.

Kalau demikian sampai di mana pengaruh dan kesuksesan penilaian Adiwiyata Sekolah terhadap masyarakat sekitar melihat sampah masih dibuang sembarangan? Bahkan beredar rumor sekolah kami tidak akan dapat ke tahap Adiwiyata berikutnya kalau sampah masih menumpuk di sekitar hutan jati. Hutan jati berada sekitar seratus meter dari sekolah. Sementara kebersihan lingkungan menuju Adiwiyata Provinsi lingkungan bersih yang dituntut berada dalam radius satu kilo meter.

Usaha untuk Berhenti

Usaha-usaha penyelesaian membuang sampah pada tempatnya memang sudah dilakukan. Pemerintah setempat  bisa membantu sejauh dalam bentuk gotong royong membersihkan. Hal demikian sudah dilakukan berkali-kali. Hanya saja berpengaruh dalam jangka pendek dan tidak menyelesaikan masalah. Setelah bersih, warga membuang kembali.

Pernah diberi banner ditulis dengan huruf besar, “Dilarang membuang sampah di sini!” Kalimat itu malah sepertinya  berubah menjadi menyuruh, “Silahkan buang sampah di sini!“ Karena sejak dipasangnya banner itu, sampah justru makin bertumpuk. Hal ini membuat warga setempat putus asa dan menjadi tidak peduli lagi. Sampah tetap saja bertambah dan berserakan.

Pihak Gereja dan sekolah bersama warga setempat juga  ikut kerja bakti memindahkan sampah ke jurang sebelah. Hanya saja mengalami hal yang sama. Esok hari sudah ada sampah menumpuk. Alhasil mereka berhenti dan menjadi cuek, walau hatinya tetap galau. Semangat para guru bangkit kembali sejauh akan ada penilaian Adiwiyata dari Dinas Lingkungan Hidup  Kabupaten Banyuwangi.

Apakah masih dimungkinkan jalan keluar untuk mengatasi?  Gereja sudah diam, guru sudah lelah, masyarakat sekitar putus asa dan pemerintah tidak peduli lagi.  Semua sadar bahwa lingkungan kurang nyaman karena kotor. Ada pihak kurang bertanggung jawab yang membuang sampah malam hari dan hutan sepi. Bisa jadi warga setempat, namun dapat juga warga desa lain. Karena kalau dilihat dari tumpukan buah, memang itu bukan hasil panen dari Desa Curahjati.

Pasti ada jalan kalau ada yang bergerak dengan kesungguhan hati. Karena banyak pihak merasa tidak nyaman lantaran rusaknya keindahan pemandangan hutan jati.  Banyak pihak setuju kalau ada gerakan bersama menyelesaikan masalah ini.

Gereja bersama umat dapat membantu dengan menghidupkan kembali kerja bakti.  Demikian juga pihak sekolah, melibatkan murid-murid untuk melakukan gerakan bersama membersihkan lingkungan. Pemerintah setempat membantu dengan memberi peraturan tegas. Perhutani bisa memberi lahan untuk sampah bagi masyarakat.

Cara lain dilakukan melalui pengelolaan sampah. Pengelolaan sampah untuk pupuk sudah dilaksanakan oleh masyarakat Curahjati. Mereka memiliki lahan luas di sekitar rumahnya. Masing-masing keluarga sudah membuat kompos dengan memendam dan membakar sampah anorganik.

Sampah buah dapat dimaksimalkan pemanfaatannya. Bisa dibuat jenang dari buah naga dan minuman dari jeruk. Hanya perlu bantuan dari berbagai pihak. Karena produk olahan dari buah naga dan minuman jeruk, menjualnya tidak mudah. Harga anjlok terlalu murah tidak sebanding dengan tenaga dan biaya transportasi. Mengolah sendiri, mereka tidak memiliki alat dan biaya. Sedangkan tempat mengelolaan buah sudah menolak karena  banyaknya produksi yang belum diserap pasar. Hutan alhasil menjadi solusi. Tempat pembuangan buah yang akhirnya menjadi limbah.

Solusi dalam waktu dekat  bisa muncul dari pihak pemerintah setempat. Pemerintah menyediakan lahan sampah.  Warga setempat dapat dilibatkan untuk mengumpulkan sampah dan setiap harinya ada yang bertugas membawa ke tempat pembuangan sampah. Dengan demikian kejelasan membuang sampah dapat di data. Hal ini akan memperjelas siapa yang membuang sampah di hutan atau jembatan. Dengan demikian solusi hukum bisa ditegakkan. Bagi siapapun yang membuang sampah sembarangan bisa dikenakan sangsi. Harapannya dari gerakan ini, pembiasaan yang mengganggu kenyamanan bersama bisa dihentikan.

Mengelola sampah, di mana pun juga lokasinya, perlu kepedulian bersama dan kerelaan hati untuk bergerak meretas gangguan.  Bukan hanya dari pemerintah, namun dari umat yang memiliki kesadaran untuk berubah. Bukan berhenti pada kepasrahan, “Ya sudah seperti itu, mau bagaimana lagi!?“ Ayo bergerak!

Suster Alberta, PIJ, tinggal di Curahjati, Banyuwangi, Jawa Timur

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here