Hari Hak Asasi Manusia

696
http://www.dreamstime.com/-image9448125
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Setiap 10 Desember diperingati sebagai hari hak asasi manusia (HAM) oleh banyak negara di dunia. Tanggal ini dipilih untuk menghormati Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengadopsi dan memproklamasikan Universal Declaration of Human Rights (DUHAM), sebuah pernyataan global tentang hak asasi manusia pada 10 Desember 1948.

Peringatan hari HAM dimulai sejak 1950, ketika Majelis Umum PBB mengundang semua negara dan organisasi yang peduli HAM untuk merayakan. Di Indonesia, 10 Desember selalu diperingati berbagai organisasi HAM. Lalu, mengapa HAM penting?

Hak asasi manusia bersifat universal, pengakuan bahwa dalam semua dan setiap orang melekat harkat dan martabat kemanusiaan yang tidak ditentukan latar belakang ras, warna kulit, agama, seks, keyakinan politik, serta latar belakang sejarah. Ini juga berarti bahwa masyarakat internasional mempunyai tanggung jawab universal untuk bertindak mengoreksi pelanggaran atas hak asasi manusia yang terjadi.

Jika dibanding dengan keberadaan agama, sesungguhnya usia HAM masih tergolong “bayi”. Masalah HAM baru menjadi perbincangan publik pasca Perang Dunia II. Tepatnya, setelah PBB yang berdiri 1945 berhasil memaklumkan DUHAM pada 10 Desember 1948. Namun, bila dilihat lebih jauh, gagasan mengenai hak asasi telah muncul jauh sebelumnya.

Pada masa pencerahan (enlightlenment) telah muncul istilah human rights sebagai ganti dari istilah natural rights dan istilah rights of man yang telah muncul sebelumnya. Pemikiran mengenai HAM juga telah muncul pada abad XIII, sebagaimana termuat dalam dokumen Magna Carta (1215) dan juga Petition of Rights (1628) dan Bill of Rights (1689).

Berbagai kritik terhadap doktrin hukum alam ini bermunculan pada abad XIX hingga awal abad XX. Semua referensi menunjuk kepada kegagalan peran agama dalam menjamin persamaan dan kebebasan, termasuk kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Hal ini bersamaan dengan kemunculan semangat anti perbudakan, anti-kekerasan, perlindungan perburuhan, dan sebagainya, yang melanda sebagian besar kawasan Eropa. Kerusakan dahsyat dan korban manusia yang dibunuh secara keji selama Perang Dunia II telah memunculkan semacam “kebulatan tekad” masyarakat dunia untuk melakukan upaya preventif.

Di manapun, dilakukan siapapun, dan siapapun korbannya, maka pelanggaran itu adalah urusan semua manusia, tak dibatasi garis batas negara,batas agama, sosial, politik dan budaya. Nilai ini berkembang menjadi norma, dan melalui berbagai perjanjian internasional dan praktik atau kebiasan internasional terbentuklah standar dan prosedur internasional dalam pemajuan dan perlindungan HAM.

Doktrin tanggung jawab semua manusia (obligatio erga omnes) dikenal ketika pelanggaran HAM yang berat, seperti kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi. Kejahatan yang demikian dianggap sebagai kejahatan terhadap semua umat manusia, oleh karena itu menjadi musuh semua umat manusia (hostis humanis generis). Menatap Indonesia pada masa awal reformasi adalah menatap sebuah negeri yang merana, yang masih terpuruk dalam multikrisis dan bencana tiada henti.

Kini, Indonesia telah memiliki presiden baru, pemerintahan baru. Tapi, di pihak lain juga muncul fenomena baru, yaitu masyarakat yang terbelah pasca pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). Hal ini mungkin karena imbas dari perilaku partai politik yang masuk ke parlemen. Demikian pula dengan media massa, terutama televisi.

Sebagian besar rakyat berharap, pemerintahan baru membawa perubahan besar. Kepercayaan rakyat kepada pemerintah dan penegak hukum akan terbangun, jika rakyat melihat keseriusan keinginan politik pemerintahan yang baru dalam menegakkan hukum, menghapuskan hak khusus para aparat negara, dan pengakuan atas kejadian pelanggaran berat HAM pada masa lalu. Keberhasilan penanganan dan penghentian kejahatan HAM merupakan syarat untuk menciptakan masyarakat demokratis pada masa depan.

Stanley Adi Prasteyo

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here