Perjalanan 40 Hari

260
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Masing-masing dari kami mendapat semangkuk sup hangat dan satu atau dua roti tawar bulat kecil. Itulah hidangan makan siang di Rabu Abu, mengawali perjalanan Masa Prapaskah 40 hari. Sejujurnya, semangkuk sup belum membuat perut kenyang dan menjelang sore hari, perut terasa lapar. Namun, saya menyadari, rasa lapar yang saya alami, tidak seberapa dibanding dengan mereka yang kelaparan karena kekurangan, tidak memiliki makanan untuk dimakan.

Sebagian besar dari kita, hidup dalam kehidupan
yang serba ada dan tersedia. Ketika kita merasa lapar, kita akan segera makan, bahkan kita bisa pergi ke restoran favorit menikmati makanan istimewa. Manusia makan untuk memenuhi rasa lapar di dalam tubuh.

Ketika kita merasa haus, kita akan segera minum, bahkan kita bisa memilih berbagai macam minuman favorit yang bisa dibeli di super market. Manusia minum untuk memuaskan rasa haus di dalam tubuh.

Namun, apakah kita juga menyadari serta memberikan perhatian akan rasa lapar dan haus di kedalaman diri dan jiwa kita? Kenyataan, manusia lebih cenderung memberikan perhatian kepada rasa lapar dan haus di tubuh fisik, dari pada di tubuh jiwa. Manusia sebagai mahluk yang memiliki tubuh fisik, tentu memerlukan hal-hal material untuk memenuhi kebutuhannya, namun manusia juga memiliki jiwa yang memerlukan makanan dan minuman rohani, sebab “Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap sabda yang keluar dari mulut Allah” (Matius 4:4). Maka Prapaskah adalah masa yang secara khusus mengajak kita lebih menyadari jiwa kita yang haus dan lapar akan Allah dan Sabda-Nya.

Hidup di dunia hanya sementara, bukan sebagai
tujuan akhir. Saat ini, kita sedang melakukan perjalanan rohani menuju Allah. Namun dalam perjalanan hidupnya, manusia cenderung tergoda hanya memusatkan perhatian pada kehidupan saat ini dan mengabaikan tujuan akhir bersama Allah yang sedang menantinya. Pengaruh budaya materialistis membuat manusia mengesampingkan nilai-nilai rohani, bahkan Allah. Mungkin selama ini kita merasa perjalanan yang kita lalui di jalan yang lurus pada keselamatan, namun ternyata diujung jalan membelok ke arah maut. Untuk itu, Gereja memberikan saat khusus untuk berhenti sejenak, melihat kembali perjalanan yang sudah dilalui dan memperbaiki arah jalan yang salah. “Kembalilah kepada-Ku dengan segenap hatimu” (Yoel 2:12).

St. Benediktus mengajak kita lebih meningkatkan
kehidupan doa selama Prapaskah. Doa menumbuhkan rasa rindu kepada Allah dan memberikan ruang menjalin relasi yang lebih dalam dengan Allah yang mencintai kita. Paus Fransiskus mengatakan, doa adalah ungkapan keterbukaan dan kepercayaan kepada Allah. Kita akan menyadari diri kita sebagai mahluk ciptaan yang tergantung dan memerlukan rahmat-Nya. Keegoan membuat manusia merasa mampu menjalani kehidupan tanpa Allah dan doa menyadarkan kita agar mengikuti jalan-Nya serta berkata, “Tuhan apa yang Engkau inginkan untuk aku lakukan”.

Perjalanan Masa Prapaskah, bukan semata-mata
tentang perjalanan hidup rohani secara pribadi tetapi kita bersama dengan sesama. Kita juga dipanggil menjalani Prapaskah bersama dengan sesama, agar saling meneguhkan dalam iman dan membangun persaudaraan dengan berbagai bentuk tindakan praktis. Gereja mengajak kita memberi perhatian kepada sesama yang berkekurangan. Kesungguhan hidup rohani pribadi akan tampak dalam cara kita memperlakukan sesama yang bersama-sama sedang dalam perjalanan rohani menuju Allah.

Bavo Benedictus Samosir, OCSO

HIDUP NO.10 2020, 8 Maret 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here