web page hit counter
Jumat, 5 Desember 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Semakin Bersaudara, Semakin Peduli dan Melayani

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – DALAM wawancara di pesawat setelah kunjungan ke Indonesia, Papua Nugini, Timor Leste dan Singapura, menjawab pertanyaan Francisca Christy Rosana dari Tempo, Paus Fransiskus menjawab bahwa problem demokrasi merupakan suatu persoalan dasar di hampir semua negara berkembang. Namun sebelumnya, Paus Fransiskus sendiri pernah mengatakan bahwa demokrasi kita sedang sakit, sedang mengalami krisis.   Partisipasi dalam pengambilan keputusan semakin dibatasi, penyingkiran sebagai akibat budaya membuang semakin mudah ditemukan. Selain itu, korupsi maupun penyelewengan hukum seakan menjadi santapan yang terlihat kasat mata. Kekuasaan semakin berpusat pada diri, mengacu pada kepentingan diri (self-referential). Penguasa lupa bahwa sebuah pemerintahan akan sungguh layak disebut demokratis kalau melayani kemanusiaan.

Kardinal Ignatius Suharyo menyambut Paus Fransiskus di Bandara Soekarno Hatta (3/9/2024)

Pesan tersebut semakin bermakna profetis kalau kita tempatkan di tengah situasi negeri kita akhir-akhir ini. Paus Fransiskus    di depan para pemimpin politik dan tokoh masyarakat bicara tentang bagaimana kita menata kehidupan bersama, dengan   menyinggung tentang prinsip Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila dan pembukaan UUD 1945. Sepertinya, dia mau mengingatkan kita agar bekerja sungguh bagi kebaikan semua. Bisa jadi kita telah melupakannya, maka Paus mengingatkan kita akan prinsip dasar kehidupan berbangsa kita. Harmoni kehidupan bersama perlu ditata di tengah perbedaan, jangan sampai ada pemaksaan kehendak. Untuk itulah jalan dialog perlu terus-menerus dibangun, agar prasangka bisa disingkirkan dan iklim saling menghargai serta saling percaya dapat semakin tumbuh.

Paus Fransiskus menandatangani prasasti Terowongon Silaturahim di Kompleks Masjid Istiqlal. (Foto: Indonesia Papal Visit Committee)

Kekerasan bisa terjadi, demikian Paus mengatakan di depan Presiden Joko Widodo dan Presiden terpilih Prabowo, serta para pejabat lainnya, kalau ada pemaksaan kehendak, penyeragaman serta tiadanya penghargaan akan otonomi diri pribadi. Akibatnya ada banyak orang yang hidupnya berada di kawasan pinggiran, tidak memiliki sarana dan bantuan untuk hidup sesuai dengan martabatnya, bahkan tidak berdaya menghadapi kesenjangan sosial yang bisa memicu datangnya konflik parah. Kalau kita membangun hidup berdasarkan kalkulasi, kepentingan diri, maka kita akan menumpuk untuk diri sendiri atau kelompok sendiri, akibatnya kita malahan akan merusak ciptaan serta memecahbelah persaudaraan. Harmoni di tengah perbedaan akan lebih mudah terbangun kalau kita setiap perspektif, pandangan, dan bahkan kepentingan bersama dari setiap kelompok suku, etnis dan agama diperhatikan, sehingga semua berjuan          g bagi kebaikan bersama. Ketidakseimbangan dan keberpihakan pada pihak atau kepentingan tertentu saja, hanya akan merusak bangunan persaudaraan yang telah dibangun. Demikian Fransiskus memberi pesan kepada kita semua, terlebih para pemangku kekuasaan di negeri ini.

Paus Fransiskus disambut secara antusias di Katedral Jakarta pada kunjungannya ke Indonesia, 3-6 Septermber 2024.

Paus  mengutip ungkapan  dari Pius XII, opus iustitiae pax, perdamaian adalah buah dari keadilan. Tanpa perdamaian dalam kehidupan bersama kalau tanpa keadilan. Mungkin bisa kita menambahkan dari pernyataan dari Paus Yohanes Paulus II, Opus solidarietatis pax, perdamaian adalah buah dari solidaritas.   Solidaritas sebagai suatu sikap serta gerakan untuk menghalau penindasan, ketidakadilan, kemiskinan, agar budaya kasih dan pelayanan kasih, yang menandai adanya semangat rekonsiliasi dan persahabatan, semakin tumbuh.

Baca Juga:  Bekas Mobil Paus Fransiskus Jadi Klinik Kesehatan Keliling di Gaza

Paus seakan hendak mengatakan ada problem serius di negeri ini: ketidakadilan. Hal tersebut tidak hanya dilihat sebagai persoalan sosial, namun juga persoalan iman. Kita perlu senantiasa bertanya sejauhmana saya berbela rasa, hati yang tergerak oleh belaskasihan. Belaskasihan bukanlah sekedar berbagi derma atau bantuan, namun berani menanggalkan rasa aman dan nyaman kita untuk dekat dengan sesama. Maka bagi Paus Fransiskus belaskasihan, salah satu tema yang diangkat dalam kunjungan ke Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari tema persaudaraan. Kalau kita membangun hidup berdasarkan kalkulaasi, kepentingan diri, maka kita akan menumpuk untuk diri sendiri atau kelompok sendiri, akibatnya kita malahan akan merusak ciptaan serta memecahbelah persaudaraan.

Saat Paus Fransiskus diterima Presiden Jokowidodo di Istana Negara dan memperkenalkan Presiden Terpilih Prabowo Subianto kepada Paus. (4/9/2024) Foto: Indonesia Papal Visit Committee)

Pesan tersebut kiranya semakin relevan bagi kita dewasa ini, ketika kepentingan diri maupun kelompok tampak semakin ditonjolkan. Mereka yang berada di atas cenderung lebih mau memperkaya serta memperkuat diri, memandang rendah rakyat kecil.  Arogansi kekuasaan politik dan kekuatan ekonomi semakin tumbuh. Tidak hanya persaudaraan sejati yang retak, namun juga rumah kita bersama hancur kalau semua hanya mau memikirkan kepentingan diri dan kelompok, yang sementara dan terbatas belaka. Kekayaan terbesar bangsa bukanlah tambang emas, demikian Paus mengatakan di Istiqlal, namun harmoni di tengah beragam perbedaan, karena ada saling menghargai satu sama lain.

Pesan bagi Umat Katolik

Gereja Katolik merupakan pelayan bagi kepentingan umum dan kesejahteraan bersama, demikian Fransiskus mengatakan di depan para pejabat negara. Terkait itu dia megacu pada tiga tema yang diusung dalam kunjungan ini: iman, persaudaraan dan belarasa.

Iman menurutnya ditandai dengan rasa syukur atas segala kelimpahan anugerah yang Allah berikan kepada kita. Rasa syukur tersebut mewujudkan dalam kehendak dan gerak memelihara segala apa yang telah diciptakan-Nya, dalam kesadaran kita sebagai hamba. Persaudaraan nyata kalau kita membuka mata pada sesama, betapapun berbeda, tanpa memaksakan apapun juga, termasuk keyakinan kita. Gereja adalah pembangun jembatan perjumpaan dan persaudaraan. Namun diingatkannya bahwa jembatan yang paling pertama adalah jembatan hati. Sedangkan belaskasih dikatakan Paus menuntut kesediaan untuk mau ikut menapaki jalan derita sesama, pergulatan hidup mereka. Belarasa atau belaskasihan mau mendekatkan satu sama lain, membongkar segala rintangan yang menghamat kita untuk menjumpai dan menyentuh kehidupan konkret sesama, dan karenanya memberi mereka harapan akan kehidupan maupun masa depan. Maka diingatkannya, selalu penting untuk bersentuhan dengan realitas kemiskinan, mereka yang menderita kemiskinan.

Baca Juga:  Dalam Misa di Beirut, Paus Leo: Bebaskan Hati Kita untuk Membawa Perdamaian dan Keadilan ke Lebanon
Paus Fransiskus bersama Scholas Occurrentes Indonesia
HIDUP/Felicia Permata Hanggu

Diakuinya bahwa cukup banyak orang tidak peduli, bahkan memandang belarasa dan belaskasihan itu tanda kelemahan. Penderitaan maupun kemiskinan dianggap sebagai tanda kelemahan, dan bahkan kebodohan. Hal itu dikatakan Paus di katedral Jakarta, di depan para uskup, imam, religius, katekis dan tokoh-tokoh awam. Memang demikian, tidak jarang orang kecil dan orang miskin dikatakan, “tolol”, lalu martabatnya direndahkan. Orang lalu mengambil jarak dari mereka yang miskin dan tidak menyentuh realitas kemiskinan. Tidak mengherankanlah kalau Paus beberapa kali di Jakarta menyinggung soal hak asasi dan keluhuran martabat pribadi manusia.  Di sinilah diingatkannya akan peran dan sumbangan Gereja. Sebenarnya kita memiliki ajaran sosial Gereja, sesuatu yang jarang disentuh dan dipelajari di kalangan tokoh maupun umat Katolik.

Paus Fransiskus mengajak kita karenanya masuk ke kedalaman. Masuk lagi ke kedalaman, menemukan apa yang menjadi dasar dan yang lebih menyatukan, menggali apa yang tersimpan di lubuk kedalaman hati. Itu berarti menemukan ikatan yang lebih mempersatukan, yang menjadi pengikat persaudaraan di tengah keberagaman dan perbedaan yang ada.  Demikian dikatakannya di Istiqlal. Pada saat misa di GBK, hal itu diulanginya dengan   mengacu pada kisah panggilan Petrus. Betapapun pernah mengalami kegagalan, namun akhirnya Petrus tetap menebarkan jala di tempat yang lebih dalam, dan dari  pengalaman itu dia tidak saja melihat mukjijat namun pula menemukan panggilan. Mendengarkan sabda dan menghidupinya, itulah langkah dasar yang perlu dibuat, sesuatu yang relevan bagi kita di bulan Kitab Suci nasional ini. Membiarkan Yesus masuk ke relung hati kita, untuk mengggat diri kita, mengubah dan kemudian menggerakkannya.

Paus Fransiskus memeluk penyandang disabilitas saat berkunjung ke Kantor KWI di Jakarta pada hari Kamis, 5/9/2024. (Foto: Ist.)

Untuk menemukan apa yang menyatukan di tengah perbedaan, apa yang menjadi kehendak Allah di tengah keberagaman kita perlu mendengarkan sehingga melihat jalan menuju pada Allah yang menyatukan itu. Langkah kedua  adalah menjaga ikatan yang mempersatukan  menjaga apa yang menghubungkan,   memperjuangkan apa yang menjadi tujuan bersama: membela martabat pribadi, mengentaskan kemiskinan serta mengupayakan perdamaian.  Mengupayakan keselarasan hidup sebagai umat beriman bagi kemanusiaan, itulah jalan yang musti kita tempuh, demikian Paus mengatakan.

Paus karenanya mendorong Gereja Indonesia untuk melanjutkan perutusannya, membangun hidup yang kukuh dalam iman, terbuka bagi semua dalam persaudaraan serta kedekatan dengan yang lain dalam belaskasihan. Teguh, terbuka dan dekat, baginya merupakan kekuatan iman. Indonesia yang terdiri dari berbagai pulau dan beragam budaya maupun dalam banyak hal, senantiasa mensyaratkan akan keterbukaan untuk menerima semua. Maka bagi Paus Fransiskus iman, persaudaraan serta belaskasihan  bukan sekedar tema, melainkan pula pesan.

Baca Juga:  Kongregasi FCh Rayakan 34 Tahun Kemandirian dan Hidup Membiara di Palembang

Seringkali apa yang kita lakukan tidak menghasilkan buah, sepertinya sia-sia. Namun tetaplah menebar jala, jangan menjadi tahanan dalam penjara masa lalu dan kegagalan. Di akhir Misa, sebelum berkat penutup, Paus menggemakan kata “fate chiasso”, buat keributan. Tentu ini bukan berarti membuat kekacauan, melainkan sebagaimana berkat karunia Roh Kudus pada saat Pentakosta, para murid mengguncangkan Yerusalem dengan pewartaan maupun kesaksian mereka, yang tidak jarang membawa pada konsekuensi kemartiran. Itulah yang perlu kita lakukan, terus membuat sesuatu, melakukan sesuatu, tandan dan wujud kemurahan hati serta belakaskasihan, agar dunia yang dingin, beku dan ditandai dengan kekerasan, dapat semakin tumbuh dalam kehidupan yang lebih damai, sejahtera, adil dan peduli akan rumah kita bersama, karena dilandaskan pada hati.

Saat Paus Fransiskus tiba di GBK.

Paus saat Ekaristi mengutip ungkapan dari Santa Teresa dari Calcutta, yang diperingati di tanggal 5 September, saat Ekaristi kunjungan tersebut. Kalau kita tidak mempunyai sesuatu, berikanlah ketiadaan itu dan walau  kita tidak akan menuai, tetaplah jangan lelah menabur. Kita mau membangun masa depan kehidupan, maka jangan terjebak hanya untuk mencari yang biasa, sementara dan kekinian belaka.

Pada saat Paus Fransiskus berkunjung, orang terkagum dengan mobil dan jam tangan yang dipakai: sederhana, terbuka, ramah dan menyapa. Memang dia memimpikan Gereja   yang rendah hati, sederhana, Gereja yang melayani dalam kelembutan, kedekatan dan belaskasihan. Itulah Gereja yang merangkul dan menyambut siapa saja, menghadirkan wajah Allah yang berbelaskasih. Tentu hal ini paradoks dengan kecenderungan zaman yang mudah memuja penampilan,  lebih  mudah membayangkan kebesaran dan kemegahan, pamer harta dan kuasa dalam ketidakpedulian akan sesama, serta keberuntungan dirinya belaka.

Saat Paus Fransiskus memimpin Perayaan Ekaristi di GBK, Kamis, 5/9/2024.

Paus Fransiskus datang membuka mata kita bahwa apa yang lebih pokok dan mendasar dalam kehidupan ini: kesederhanaan dan keberanian memeluk hal yang biasa. Semakin seseorang sederhana dan berani apa adanya, dia akan semakin mudah menjumpai sesama, terlebih yang kecil, miskin dan menderita. Semakin pula dengannya kita memberikan kesaksian akan apa yang paling pokok dan mendasar dalam hidup ini, tidak bergantung pada aksesori yang lebih sekedar sebagai pulasan saja. Kita semakin diundang untuk berani menjadi biasa dan sederhana, melayani dan mengasihi.

Pastor T. Krispurwana Cahyadi , SJ (Teolog, tinggal di Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah)

Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No.37, Tahun Ke-37, Minggu, 14 September 2025

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles