“Borrowed Glory” Itu Imitasi

332
P.M. Susbandono, Kontributor, Penulis buku inspiratif
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOIK.COM – Kemuliaan”, “kebesaran”, “kekayaan”, “kepintaran”, atau apa pun yang luarbiasa, itu bagus-bagus saja.   Orang kaya tidak salah.  Orang berpangkat juga oke.  Orang mulia silakan saja.  Orang pinter, apa lagi.   Kita harus hormat kepada mereka.

Tiba-tiba ingat teman SD  yang orang-tuanya kaya-raya.  Pergi dan pulang sekolah diantar mobil mengkilat.  Sopirnya menunggu di depan sekolah sampai  pulang.

Rumahnya besar dan mentereng.  Baju dan sepatunya bagus.  Pasti harganya mahal.  Teman-teman berusaha dekat dengannya.  Maklum, kadang-kadang  nraktir saat istirahat tiba.  Meski di kelas tak begitu pandai, pak guru menyayanginya.  Selalu sabar bila dia sulit menjawab dikte atau imla.

Sampai di situ nampaknya biasa-biasa saja.  Yang menjadi ganjalan, adalah ketika dia mulai menggunakan kekayaan orang-tuanya sebagai senjata untuk kepentingan dirinya.  Padahal, tak secuil pun itu milik dia.  Semuanya punya papa atau mamanya.  Seringkali dia minta diistimewakan, karena kaya.

Harus masuk tim inti sepakbola.  Maklum, baju seragam dan bola berasal dari sumbangan bapaknya.  Padahal, dia tak pandai menggiring bola. Baris berbaris harus di depan, padahal posturnya tak sesuai.  Maklum, baju seragam juga dari papanya.  Masih banyak keistimewaan lain yang “dituntutnya”.  Kalau tak dipenuhi, “ancaman” menarik fasilitas dikeluarkannya.  Dan kami dibuat tak berkutik, termasuk pak guru.

Cerita itu sebetulnya tak istimewa.  Kejadiannya berlangsung begitu saja.  Fenomena datar-datar saja, tak berkesan dan tak serius.  Kami baik-baik saja.  Sampai tamat SD dan kemudian tak pernah jumpa dengannya lagi.

Sekian puluh tahun kemudian, baru saya tahu, apa yang dilakukan sang teman disebut “borrowed glory”.  Kemuliaan (atau dalam hal ini adalah “kekayaan”) yang dipinjam dari papanya.  Dibanggakan kepada khalayak sekolah, seolah-olah prestasinya.

“Borrowed Glory is when you couldn´t think of a way  to say something. If your family is rich and you smug about it, that´s borrowed glory because you haven´t done anything rich for them, you just coast”. (https://gentlehandsfinalproject.weebly.com/blog/borrowed-glory).

“Borrow glory”  tidak hanya “meminjam kekayaan”,  tapi bisa juga “kekuasaan”, “nama besar”, atau hal-hal lain yang secara duniawi diagung-agungkan  oleh dunia.

Pihak yang  “memberi pinjaman” juga tak terbatas pada “orang tua”, tetapi bisa pihak-pihak lain yang langsung atau tidak langsung berkaitan dengan si peminjam.  Contoh lain  adalah “partai”, “negara” atau bahkan “perusahaan”

Partai politik harus dipimpin yang sedarah, keluarga atau kelompok (sangat) terbatas saja.  “Borrowed glory” dari mereka yang membesarkannya di masa lampau. Itu  oligarki.

Warga negara super power sering bangga berlebihan atau cauvinistis sebagai bagian dari negara hebat.  Padahal tak setitik pun dia menyumbang kebesaran  negaranya.

Hati saya mongkok  (Bahasa Jawa : bangga berlebihan) setiap ada (mantan) murid almarhum bapak atau ibu saya memuji kehebatan  mereka sebagai guru.  Padahal, saya tak pernah ikut mendidik mereka.   Saya “borrowed glory,” meminjam kemuliaan  mereka sebagai pendidik yang berdedikasi penuh untuk mencerdaskan  murid-muridnya.

Seseorang yang merasa (ikut) besar karena bekerja di perusahaan ternama dan “memamerkannya”  adalah “borrowed glory”.   Padahal, dia tak punya kontribusi apa pun terhadap nama besar perusahaannya.

Tidak hanya sampai di situ.  Karyawan seperti ini menyimpan sesuatu yang kontra-produktif.  Tak ada achievement tapi  merasa nyaman  karena perusahaan yang membesarkannya tak pernah menuntut lebih darinya.

“Area nyaman” menyelimutinya, lama-lama semakin membenamkan dia dalam posisi yang semakin terpuruk.  Tak berprestasi tapi tak pula bisa ditingggalkan.  Apalagi bila dia tak bisa move on.

“Benalu akarnya semakin menghunjam ke batang  induk.  Ia semakin rindang, sang pohon beringsut kering kerontang”. (PMS).

Dalam skup yang luas, setiap manusia mempunyai tanggungan “borrowed glory”.  Semua yang “dipunyainya” bukan miliknya.  Apa yang kita “banggakan”  hanyalah “pinjaman”  dari Sang Pemilik Agung.  Dari sanalah kita berasal dan ke sanalah kita kembali.  Tak sepantasnya berbangga berlebihan terhadap barang pinjaman.

“Karena segalanya adalah pemberian-Mu dan apa yang kami berikan ini adalah kepunyaan-Mu juga” (1Tawarikh 29:14).

P.M. Susbandono, Kontributor, Penulis buku inspiratif

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here