Lebih Baik Sakit Gigi daripada Sakit Hati

379
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – MEREKA yang lahir sebelum 1970, tentunya mengenal cuplikan lirik lagu yang menjadi judul dari artikel ini. Dipopulerkan oleh penyanyi dangdut terkenal, Meggy Z, sebagai jeritan seseorang yang sedang patah hati, karena cintanya putus berkali-kali.

“Sakit hati” membuat orang menderita. Bahkan diibaratkan lebih menyakitkan dibanding sakit gigi, penyakit yang langsung menyerang syaraf di kepala.

Namun, “sakit hati” tak hanya disebabkan putus cinta. Berbagai sebab lain bisa menjadi pemicunya. Apa saja yang “mengganggu” atau “mengganjal” seseorang, bisa melahirkan “sakit hati”.

Para ahli Psikologi menyatakan bahwa ada koneksi yang erat dan tak bisa dipisahkan antara mind (pikiran), body (badan) dan soul (jiwa). Orang dinyatakan sehat bila mental, fisik dan emosinya normal dan stabil. Salah satu tersenggol, dua lainnya akan terpengaruh.

Itu yang mungkin dialami adik kelas saya waktu SMA. Nama panggilannya Lili. Perempuan aktif di ranah bisnis dan seni budaya, di Semarang. Sebelum pandemi, hotelnya mencorong dan laris-manis. Beberapa kali saya tertolak untuk mendapatkan kamar. Untung, ada kamar-kamar khusus yang dicadangkan untuk sahabat dan pelanggan setianya. Saya termasuk di dalamnya.

Tak hanya itu, Lili juga seorang florist beken, pengurus Ikatan Perangkai Bunga Indonesia dan lulus dari Computer & Mathematic Science dari Australia. Nah, kurang apalagi?.

Bulan lalu, Lili harus dirawat 4 malam di RS. “Untung” bukan Covid. Padahal gejalanya mengarah ke sana. Sesak, mual, begah dan demam. Ternyata dokter mendiagnosanya sebagai penyakit asam lambung yang agak parah.

Observasi dilakukan dan tak diketemukan sesuatu yang serius. Hanya dapat nasehat sederhana, tapi (sangat) sulit dilaksanakan.

“Sampun katah menggalih, njih bu”. (Jangan terlalu banyak pikiran, ya bu).

Nampaknya itu sebab utama Lili terkapar dan sampai harus dirawat. Untung, (“Orang Jawa selalu untung bukan?”) setelah mendapatkan serangkaian obat, memperbaiki pola makan, menambah istirahat, olahraga secukupnya dan (ini yang paling penting tapi sulit) menata hatinya, Lili berangsur sembuh. Lesson learnt yang sangat berharga bagi saya.

Saya mengamini dan bersyukur keras. Hampir bersamaan, saya menderita yang sama. Maag, asam lambung, gerd, gastrid acid atau apa pun namanya.

Tak hanya Lili dan saya. Ternyata banyak kenalan mengeluh karena penyakit yang sama. Asam lambung berlebihan sedang menggejala di sekitar kita.

Dokter Hendra Koncoro SpD menguatkan sinyalemen tentang maraknya maag. Cara mengatasinya pun senada, jangan terlalu “katah menggalih”.

“Pandemi mendera selama setahun lebih, telah membuat masyarakat tertekan secara psikis. Ini membuat produksi asam lambung naik”.

Ancaman pandemi memang tak kelihatan, tetapi nyata. Tak bebas bepergian dan bertemu teman atau relasi, jaga jarak, memakai masker dan menjaga kebersihan secara khusus, membuat orang tak sadar kalau sedang tertekan. Manifestasinya bermacam-macam, penyakit asam lambung menduduki peringkat atas.

Profesor Sir Cary Cooper dari Organisational Psychology and Health, Manchaster Business School, di New York Times menyebut ini sebagai gejala languishing. Perangai berubah temperamental, jiwa kosong, gelisah dan rasa tak puas, muncul dengan alasan yang sulit dijelaskan. Orang Jawa menyebutnya kemrungsung. Pantas, menjelang Lebaran banyak video bersliweran memberitakan orang marah-marah dengan alasan yang absurd.

Herannya, banyak orang mengaku tak punya beban pikiran, meski terkena gejala ini. Selain karena cenderung denial, tekanan jiwa biasanya berada dalam level subconscious (alam bawah sadar).

Hal ini pertama kali diketemukan pada tahun 1889 oleh Psikolog Perancis, Pierre Janet (1859-1947). Teori yang ditulis dalam tesis doktoralnya, ”De l’Automatisme Psychologique”. Janet menyatakan bahwa di bawah lapisan fungsi pemikiran sadar dan kritis terdapat “kesadaran” yang kuat, disebut “pikiran bawah sadar”. (https://en.m.wikipedia.org/wiki/Subconscious).

“Kesadaran” ini “hidup” dan “beroperasi”, tetapi berada di luar (atau di bawah?) kesadaran manusia.

Subconscious bisa berubah “liar”, sulit dikontrol dan menimbulkan berbagai penyakit fisik dari yang ringan hingga berat. Pengelolaan secara “sengaja” harus dilakukan agar berubah “jinak” dan dapat dikendalikan.

Pandemi (yang sudah lama), jiwa tertekan dan penyakit asam lambung mempunyai kaitan dan kausalitas yang kuat. Buktinya, Lili, saya dan banyak teman yang terserang.

Tak heran kalau para Epidemiolog menasehatkan untuk mengelola pikiran agar menumbuhkan rasa gembira diri. Ia dapat mendongkrak imunitas hingga segala bentuk penyakit mudah ditolak. Sebaliknya, semangat yang melempem dan pikiran negatif membuat badan lemah hingga membuka pintu lebar-lebar untuk masuknya berbagai macam penyakit.

“Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang”. (Amsal 17:22)

P.M. Susbandono, Konstributor, penulis buku inspiratif

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here