KONSEKUENSI PEMAKAIAN “NAMA KATOLIK” DI DALAM NAMA PRIBADI, PUN ORMAS DLL.

939
4/5 - (4 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – ‘APALAH arti sebuah nama’, kata Yuliet dalam drama cinta Romeo dan Yuliet, sebuah mahakarya dari pujangga kenamaan Inggris bernama William Shakespeare (1564-1616). ‘Disebut dengan nama apa pun juga, mawar tetap harum baunya’. Demikian Yuliet membela karena tidak mendapat restu untuk berhubungan dengan sang kekasih bernama Romeo yang membawa nama keluarga musuh Montague.

Yuliet berharap Romeo mempunyai nama lain. Romeo tetaplah pujaan hati Yuliet sekali pun namanya bukan Romeo. Romeo, tanggalkanlah namamu dan sebagai gantinya, engkau dapat memiliki semua yang ada pada diriku. Suit-suit, betapa indahnya ungkapan cinta Yuliet untuk sang kekasih Romeo.

Yuliet benar, eh dalam hal ini pengarangnya Shakespeare yang benar, mawar tetap harum baunya sekali pun disebut dengan nama lain. Namun setiap orang mendapat nama sendiri-sendiri, berbeda dengan mawar untuk sebuah spesies.

Dalam keseharian, kita mudah menemukan orang-orang yang membawa nama khas atau marga yang berhubungan dengan suku, agama, ras, golongan, asal-muasal (nama tempat), sejarah atau peristiwa, nama/pekerjaan/hobi orang tua bahkan leluhur, tradisi (misalnya kraton), dan lain-lain. Nama-nama yang disematkan itu adakalanya singkat, bisa juga panjang terdiri dari beberapa kata.

Apa pun yang terjadi, setiap nama mempunyai maksud dan makna tertentu dari orang tuanya. Ada kalanya seseorang merasa keberatan nama karena mengandung elemen yang tidak biasa atau lebay. Atau bahkan membawa risiko tertentu karena membawa identitas orang tua, agama, dan sebagainya.

Nama Baptis Katolik

Orang Katolik secara tradisi mendapat nama baru saat pembaptisan. Dikutip dari Kaukus (2011), nama baptis memiliki arti religius sekaligus makna simbolik. Misalnya Simon yang menjadi (Rasul) Petrus atau batu karang. Pada awalnya orang Kristen memilih nama baptis seorang rasul, atau nama nabi dari Perjanjian Lama. Kemudian nama dari Perjanjian Baru ikut dipakai. Dengan mengambil nama baptis, agar meneladani orang kudus yang namanya dipakai, serta menjadikannya pendoa bagi kita di hadapan Tuhan. Meskipun sudah mendapat nama orang kudus, orang masih menggunakan nama aslinya. Atau sejak lahir sudah menyandang nama orang kudus yang akan dijadikan nama baptis.

Gereja juga menganjurkan untuk memilih nama seorang santo/santa pelindung pada pembaptisan. Kitab Hukum Kanon (tahun 1983) menyebutkan bahwa tidak wajib memilih nama seorang kudus pada pembaptisan, sepanjang nama yang dipakai memiliki makna kristiani.

Menurut tradisi Gereja, pada kesempatan lain seperti Penguatan, orang juga diberi nama baru. Pada saat terpilih, seorang Paus juga mengambil nama baru. Seseorang yang masuk biara, juga mengambil nama baru agar terjadi perubahan dalam hidup religiusnya. Dengan atau tanpa nama baptis, seseorang dikenal dengan nama tertentu dan namanya disebut dalam doa oleh orang-orang yang mencintainya.

Tahun 2005, saya berkenalan dengan seorang Direktur Keuangan dari sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di kantor pusatnya di Jakarta Selatan. Pada kesempatan itu, saya tergelitik ingin tahu tentang kepanjangan huruf F di depan namanya yang terdiri dari dua kata itu.

Ia menjelaskan bahwa itu singkatan dari nama baptis “Fransiskus Xaverius”. Namun yang tertulis hanya huruf “F” saja, karena terbatasnya tempat menulis nama di formulir pendaftaran mahasiswa dulu. Maka susunan nama seperti itulah yang kemudian tertulis di ijazah dan terbawa resmi sampai sekarang.

Dengan atau tanpa tulisan lengkap nama baptis, ia berhasil meniti karier di BUMN besar tadi hingga meraih posisi puncak dan strategis sebagai penanggungjawab keuangan. Bahkan tetap dipercaya pada posisi itu sejak akhir pemerintahan Presiden Soeharto, Habibie, Gus Dur, hingga pensiun pada masa Megawati. Orang Katolik, dalam banyak kesempatan, memang cukup dipercayai untuk menangani keuangan organisasi karena dianggap lebih cermat, jujur, setia, dan bertanggungjawab.

Melalui nama-nama para tokoh publik lainnya yang menyandang nama baptis, nama persekolahan, gereja, rumah sakit, dll., masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan aneka nama baptis yang khas Katolik, yaitu nama-nama para martir dan orang kudus. Setiap nama yang membawa semangat, teladan, dan inspirasi menjadi orang Katolik yang baik.

Nama baptis itu menjadi salah satu penanda orang Katolik, selain tanda-tanda lainnya seperti rosario, kalung dengan salib Yesus, dan berdoa dengan tanda salib. Dengan salah satu penanda tadi, orang itu layak diduga beragama Katolik. Melalui nama baptis, seseorang membawa salib Kristus yang melekat dalam nama-nama orang kudus itu. Dengan tanda-tanda yang kelihatan itu, orang Katolik mengimani dan menjalankan keyakinannya sehari-hari, agar menjadi batu penjuru bukan sandungan.

Moralitas Ormas Katolik

Selain nama baptis, organisasi juga dapat menggunakan kata ‘Katolik’ dalam namanya dengan atau tanpa nama orang kudus. Contohnya adalah organisasi kemasyarakatan resmi binaan Gereja Katolik, tentulah didirikan untuk membawa misi agama Katolik. Setiap hasil pemikiran, perkataan, perbuatan, dan penampilan dari para anggotanya sungguh harus mencerminkan identitas kekatolikan. Minimal dalam hal-hal yang mendasar yaitu rendah hati, berbelas kasih, persaudaraan, dan saling menghormati.

Oleh karena itu, kita dipanggil untuk berhati-hati mempertanggungjawabkan nama Katolik yang disandang, setiap saat sampai kapan pun, apalagi di jalanan umum yang mudah disorot masyarakat. Kita wajib merawat dan menjunjung tinggi moralitas Kristiani. Tidak mengorbankan kata ‘Katolik’ untuk hal-hal yang tak perlu, walaupun atas nama demokrasi dan kebebasan berpendapat.

Cosmas Christanmas, Kontributor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here