Dosen STF Driyarkara, Pastor Agustinus Setyo Wibowo, SJ: Aksi Kamisan: Kita Akan Terus Melawan Sebaik-baiknya dan Sehormat-hormatnya!

197
Pastor Agustinus Setyo Wibowo, SJ
Rate this post


HIDUPKATOLIK.COM – SUDAH 17 tahun Aksi Kamisan dilaksanakan. Dengan payung hitam dan kain tutup mata di depan Istana Merdeka Jakarta, misi mereka sama: mencari keadilan bagi keluarga yang hilang sejak Orde Baru. Apakah pemerintah setengah hati selesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu? Bagaimana etika sebagai dasar penguat demokrasi? Simak wawancara HIDUP dengan aktivis HAM sekaligus dosen filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Pastor Agustinus Setyo Wibowo, SJ. Sudah menulis sejumlah buku filsafat, Pastor Setyo, sapaannya, membacakan pernyataan sikap pada peringatan 17 Tahun Aksi Kamisan di tengah guyuran hujan beberapa waktu lalu. Berikut petikannya:

Pastor Agustinus Setyo Wibowo, SJ membacakan pernyataan sikap dalam Aksi Kamisan di depan Istana Negara.

Peristiwa-peristiwa apa saja yang menjadi perhatian dari aksi Kamisan itu?

        Pelanggaran HAM sudah dimulai sejak bergantinya Orde Lama ke Orde Baru. Peristiwa itu terjadi tahun 1965, peristiwa penembakan misterius tahun 1982-1985, penghilangan paksa 1997-1998, tragedi Mei 1998, tragedi Semanggi I dan II, Tragedi Trisakti 1998, kasus pembunuhan Munir 2004, dan masih banyak tragedi lainnya.

Apa esensi dari aksi Kamisan ini?

        Perjuangan HAM yang belum selesai. Soal HAM ini sudah ada dalam Amandamen Undang-Undang Dasar 1945. Misalnya Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Di titik inilah, tidak hanya tanggung jawab kemanusiaan kita yang seharusnya tersentuh, tetapi tanggung jawab Indonesia sebagai negara juga muncul. Salah satunya adalah pertanggungjawaban negara terhadap korban pelanggaran HAM. Mengungkapkan fakta dan keadaan terkait kejahatan massif dan sistematik HAM, termasuk mengungkapkan pelaku dan dalangnya.

 Bagaimana jika negara dikuasi pihak-pihak yang merupakan bagian pelaku kejahatan?

        Aksi Kamisan ini membuat garis demarkasi antara siapa yang benar dan para pelanggar HAM berat. Pada akhirnya kita mengerti siapa-siapa saja yang sudah melangkahi garis batas itu. Ironis bahwa demi kepentingan pribadi, HAM ditiadakan. Pemerintah terkesan tidak menunjukkan keseriusan dalam menyikapi kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Hal ini dapat dilihat dari ketidakjelasan siapa aktor intelektual yang melakukan pelanggaran HAM. Pun mereka yang dihukum, hukumannya tidak setimpal dengan perbuatan mereka. Maka aksi Kamisan ini tidak saja mendesak pemerintah mengusut tuntas pelanggaran HAM, tetapi pesan lain bahwa aksi ini sebagai simbol pengingat akan memori kolektif masa lalu tentang kejahatan HAM masa lalu. Tujuannya supaya aksi-aksi serupa tidak terulang kembali di masa depan.

 Sebagai kepala negara, bukankah Presiden Jokowi sudah mengakui 12 perkaran pelanggaran berat?

        Betul bahwa ada pengakuan dari mulut Presiden. Pertanyaannya, apa implementasinya? Demi pengakuan itu, terbentuk Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM tetapi itu pertanggung jawaban nonyudisial yang tidak berpihak kepada korban. Pemulihan hak korban pelanggaran HAM secara adil dan bijaksana diwujudkan lewat materi. Ini demokrasi yang tidak berpihak kepada korban. Ada upaya penyelesaian tetapi tidak memulihkan luka sesama anak bangsa guna memperkuat kerukunan nasional. Dalam sebuah negara hukum, hukuman harus setimpal dengan kejahatannya. Bagi keluarga korban pelanggaran HAM, cara-cara yang dilakukan pemerintah dengan pemulihan hak-hak para korban secara non yudisial masih belum cukup. Mereka masih menuntut pemerintah meluruskan sejarah dan diadakan pengadilan HAM ad hoc secara yudisial.

 Menurut Pastor, pengadilan HAM ad hoc secara yudisial dapat dijalankan?

        Inilah misi yang kemudian terus digaungkan oleh peserta aksi Kamisan. Kalau pemerintah berani melakukan itu, tentu keluarga akan menerima sebagai suatu keputusan yang adil berasaskan etika demokrasi. Nyatanya Aksi Kamisan ini sampai hari ini masih berlangsung setiap Kamis sore di depan Istana. Mereka masih berdiri menyuarakan keadilan dan terus mencari anggota keluarganya yang masih hilang. 

 Sudah 17 Tahun Aksi Kamisan ini. Apa pesan yang mau disampaikan?

        Aksi Kamisan ini bukan sekadar lambang keberanian bagi mereka yang telah mengalami penderitaan dan luka akibat pelanggaran HAM. Tetapi Aksi Kamisan ini mencerminkan konsistensi mereka yang tetap berdiri kokoh untuk menuntut keadilan. Aksi Kamisan ini bukan sebuah aksi untuk menuntut keadilan semata, tetapi pengingat akan situasi masa lalu yang tak boleh diabaikan dan harapan untuk masa depan pemerintahan yang lebih baik. Harapan dari seberang Istana, suara-suara yang menuntut keadilan perlu didengarkan. Bahwa suatu saat nanti negara akan mendengarkan harapan mereka. Perlu dicatat bahwa Aksi Kamisan bukan dagangan politik setiap lima tahunan menjelang Pemilu, melainkan simbol perjuangan orang-orang kecil yang dilecehkan HAM-nya. Kedepannya bisa menjadi pendidikan politik tentang nilai-nilai keutaman wargawi.

Aksi Kamisan di depan Istana Negara.

 Dengan kemenangan Paslon 02, artinya demokrasi reformasi kalah?

        Perjuangan melawan etika dan demokrasi kita kalah saat ini. Tetapi kita tetap tegak kepala. Mengapa kita tidak frustasi? Karena ada Ibu Maria Katarina Sumarsih (Ibunda dari Wawan, korban Tragedi Semanggi, Red.) dan teman-teman aktivis lainnya. Berapa ratus minggu yang mereka lewati, berapa kali musim hujan dan panas yang mereka lewati. Berapa kali presiden silih berganti menjanjikan penuntasan kasus HAM. Berapa kali mereka dikecawakan oleh pragmatisme politisi yang akhir-akhir ini makin tuna etika. Apakah Ibu Sumarsih dan kawan-kawan menyerah? Apakah mereka terkapar? Apakah balik badan berkompromi dengan kekuasaan? Tidak! Kalah boleh, tetapi terkapar jangan. Kita akan terus melawan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya.

 Apa saja pilar demokrasi yang bisa menguatkan sisi etika anak bangsa?

        Ada dua pilar demokrasi yang kita yakini saat ini yaitu Pemilu dan Konstitusi yang ber-HAM. Pada pemilu kemarin demokrasi mungkin kalah, tetapi perlu diingat bahwa kita hanya kalah pada episode-episode singkat kehidupan. Kekalahan ini akan menguatkan kita semua makin setia memperjuangan etika dan HAM. Pemilu kalah, tetapi konstitusi dan HAM harus dikawal terus. Kita perlu menjaga nilai-nilai etika demi Indonesia yang bermartabat dan lebih baik. Kita memerangi pragmatisme buruk dengan kolusi yang menggurita di birokrasi dan dunia bisnis. Kita tidak sedang memerangi orang satu per satu, tetapi ide-ide buruk yang dianggap biasa di negeri ini yaitu praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Kita harus terus mencari keadilan sampai seadil-adilnya.

 Yustinus Hendro Wuarmanuk

Majalah HIDUP, Edisi No. 10, Tahun Ke-78, Minggu, 10 Maret 2024

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here