Pilih Karier atau Keluarga?

521
1/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Ibu Eriany terkasih, saya Rina. Saat ini saya bekerja di sebuah kantor pajak. Saya sangat menikmati pekerjaan ini. Saya baru menikah satu tahun. Hidup saya pun terasa lengkap. Saya menikah dengan laki-laki yang saya cintai, dan menjalani karier yang saya cita-citakan. Masalahnya, belum lama ini suami mendapat tawaran bekerja di luar negeri. Dia sangat antusias mengambil tawaran itu dan meminta saya ikut dengannya.

Kami belum membicarakan hal ini saat pacaran dulu. Saya bimbang, karena izin tinggal yang kami dapat hanya memberikan izin kerja untuk suami, sehingga saya tak dapat bekerja di sana. Memang, kalau dicari-cari, bisa saja saya mencari kesibukan di sana. Tapi, bagaimana dengan mimpi-mimpi saya pribadi? Saya juga ingin berkarier.

Saya juga belum membicarakan ini dengan mama saya. Berat harus meninggalkan mama sendirian, sebab papa sudah meninggal. Tapi kalau melihat antusiasme suami untuk meraih tawaran itu, rasanya saya juga tak sampai hati untuk mengatakan tidak kepada suami. Saya juga ingin menjadi istri yang bisa mendorong karier suami secara positif. Pilihan apa yang sebaiknya saya ambil?

Theresia Andriani, Jakarta

Salam kenal, Bu Rina. Sungguh bahagia menjadi pengantin baru, memiliki suami yang dicintai, pekerjaan, dan karier yang dicita-citakan, serta dekat dengan mama. Namun, hidup tak selamanya indah. Banyak hal harus diperjuangkan, konflik yang sulit untuk diputuskan, dan keharusan untuk belajar toleran satu sama lain.

Salah satu konflik yang terjadi adalah harus memilih dua pilihan yang sama-sama menyenangkan. Ingin mendampingi suami kerja di luar negeri, namun juga ingin tetap berada di Indonesia untuk berkarier, serta berada dekat dengan mama. Keputusan yang diambil akan memunculkan risiko sehingga perlu pertimbangan matang.

Saya mencoba untuk memberikan tiga alternatif solusi dengan segala risikonya. Pertama, mendampingi suami di luar negeri, tapi Anda menyandang status tak bekerja, lantaran tak mendapatkan izin kerja. Bekerja dan tinggal di sana tak mudah dan seindah yang kita bayangkan. Perlu usaha keras untuk beradaptasi. Biaya hidup di luar negeri juga mahal.

Bahan pertimbangan lain adalah status kerja suami kelak. Apakah kontrak yang bisa diperpanjang atau putus? Jaminan kepastian dan keberlangsungan pekerjaan perlu di pertimbangkan. Berbeda jika statusnya tugas belajar, pekerjaan jelas ada setelah selesai studi lanjut.

Di lain sisi, status Ibu yang kehilangan pekerjaan akan mempersulit situasi. Mencari pekerjaan baru setelah beberapa tahun menjadi ibu rumah tangga mungkin sulit karena harus berkompetisi lagi, sementara usia bertambah. Mungkin sedikit nilai plus seandainya di sana Ibu belajar kembali, demi pengembangan kompetensi diri sehingga bisa lebih “menjual” ketika kembali ke Indonesia. Bila hanya menjadi ibu rumah tangga, Ibu akan kehilangan kemandirian secara finansial, hambatan aktualisasi diri sehingga mungkin muncul stres. Walau demikian, manusia sejatinya memiliki kemampuan luar biasa untuk beradaptasi, berkreasi, dan berimprovisasi demi mempertahankan hidup.

Kedua, tetap di Indonesia, sementara suami bekerja di luar negeri sehingga menjalani long distance marriage (LDM). Karier, kenyamanan, dan keuangan adalah beberapa hal umum yang dijadikan alasan. Meninggalkan karier yang dibangun susah payah bukan hal mudah, termasuk meninggalkan orangtua dan kenyamanan di Indonesia.

Dalam kondisi ini terjadi win-win solution, suami bisa menerima tawaran kerja di luar negeri, tapi Ibu bisa tetap berkarier. Ada kemungkinan, suami yang merasa berat karena hidup sendiri di rantau. Menjalin LDM juga bukan persoalan mudah. Frekuensi dan durasi waktu bertemu yang berkurang jauh berdampak kepada dilema dan konflik kecil yang lama-lama menjadi besar.

Ketiga, mendorong suami tetap di Indonesia, namun mencari pekerjaan yang lebih prospektif pada masa depan. Tugas ke luar negeri bisa diterima asal begitu selesai dan kembali ke Tanah Air bisa melanjutkan pekerjaan. Perlu pendekatan dan komunikasi dari hati ke hati, mencari solusi kompromistis tanpa ada pihak yang merasa kalah dan salah. Semua alternatif pilihan punya risiko, pilihlah risiko yang minimal.

Praharesti Eriany

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here