web page hit counter
Senin, 17 Maret 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Dikekang Suami yang Kaya

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Salam kenal, salam kebajikan. Menjadi istri anak dan keturunan orang kaya itu terkadang menyakitkan. Ekspektasi semua perempuan, ketika menikah mendapatkan suami yang mapan dan sudah siap segalanya. Itu terjadi pada saya saat memutuskan menikah dengan pasangan saya. Tetapi selama 3 tahun perkawinan, menurut saya lelaki yang mau berjuang dari nol bersama istrinya adalah lelaki yang akan sangat menghargai pasangannya. Sebab pada akhirnya uang bisa membeli kebahagiaan saya. Saya diberi fasilitas dan semuanya serbaga ada, tetapi saya kesepian. Saya tidak menajdi diri sendiri, tidak bebas, terbatas pergaulan, dikekang oleh aturan keluarga suami yang ketat. Saya mau keluar dari persoalan ini, mohon pencerahannya.

Gita Ade, Yogyakarta

Sdri. Gita Ade, salam jumpa dan salam kenal. Dambaan dan harapan semua wanita memiliki suami yang ganteng, dari keluarga kaya raya, segala fasilitas dan kebutuhan serba ada. Namun, setelah mendapatkannya apakah pasti yang mendapatkan tersebut akan puas dalam segala hal. Ternyata tidak, karena masih banyak kebutuhan-kebutuhan lain yang juga harus terpenuhi. Itu semua adalah hanya kebutuhan fisik, kebutuhan paling dasar dari manusia.

Baca Juga:  Anak-anak Menggemakan Laudato Si’ dari Lereng Merapi

Hal seperti itu lah yang terjadi pada Gita. Seperti teori dari Abraham Maslow tentang Hierarki Kebutuhan, bahwa individu memiliki kebutuhan yang pada akhirnya individu memiliki suatu motivasi untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Menurut Maslow, individu harus memenuhi kebutuhan mereka. Maslow membagi kebutuhan manusia ke dalam lima tingkatan, yang harus terpenuhi kebutuhannya di masing-masing tingkatan.

Pertama, kebutuhan tingkat dasar atau kebutuhan fisiologis. Kebutuhan ini memiliki hubungan dengan kebutuhan tubuh setiap individu baik kebutuhan biologis maupun fisik. Kebutuhan yang sangat mendasar ini haruslah terlebih dahulu terpenuhi agar manusia dapat bertahan hidup dan melangkah ke tingkat kebutuhan selanjutnya. Kebutuhan ini misalnya makan, minum, sandang, papan/rumah, fasilitas-fasilitas atau benda-benda, atau kebutuhan seksual. Kedua, kebutuhan akan rasa aman. kebutuhan akan rasa aman ini meliputi rasa aman secara fisik maupun emosional. Ketiga, kebutuhan sosial (cinta dan kasih sayang). Mengapa orang mencari cinta? Maslow menjelaskan latar belakang dari aspek tersebut karena didasari oleh kesepian, kesendirian, depresi, stress, serta kecemasan berlebihan. Keempat, kebutuhan mendapatkan penghargaan atau harga diri. Harga diri dapat berasal dari diri sendiri maupun orang lain. Kebutuhan ini adalah tentang pangkat, gelar, serta profesi. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan membawa dampak yang serius seperti rasa depresi, kecemasan, stres, tiadanya rasa percaya diri, minder, merasa tidak berguna, dan lain sebagainya. Kelima, kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri, ini merupakan kebutuhan tingkat tertinggi. Kebutuhan ini dapat tercapai apabila seorang individu berhasil memenuhi keempat kebutuhan sebelumnya.

Baca Juga:  Melangkah Bersama Penziarah Pengharapan

Nah, kalau kita mencermati apa yang dialami Gita, sebetulnya secara kebutuhan dasar sudah terpenuhi, namun untuk kebutuhan akan rasa aman, cinta, harga diri belum terpenuhi dan masih menjadi suatu kebutuhan yang entah kapan akan terpenuhi. Apalagi kebutuhan aktualisasi diri. Jadi secara fisik sangat terpenuhi, namun secara psikis dan emosional masih belum terpenuhi, sehingga yang dirasakan adalah stres, kesepian, kecemasan, tidak puas, dan akhirnya sangat ingin keluar dari situasi yang dirasa membelenggu dirinya. Namun di satu sisi, Gita tidak mampu berbuat apa-apa.

Saran saya awali dengan berpikir positif, sehingga paling tidak menerima terlebih dahulu kondisi dan situasi yang dialami, untuk dapat berpikir secara lebih jernih, tenang untuk melangkahkan kaki ke depan, karena sebetulnya segala sesuatunya terjamin dan secara fisik tidak akan sakit. Setelah bisa menata diri, ajaklah suami untuk bertukar pikiran dengan pikiran jernih dan tidak emosional. Hal tersebut sebaiknya dilakukan pada saat situasi suami juga baik, sehingga enak di ajak berkomunikasi. Misalnya saja ngobrol sebelum tidur, atau ajak ke luar sambil ngobrol, tidak di rumah mertua. Usahakan juga untuk memiliki agenda refreshing. Namun perlu berhati-hati juga jangan sampai apa yang akan Gita lakukan dianggap mengatur suami, maka ajaklah suami berdiskusi. Dalam berbincang-bincang santai, kembalilah untuk menyinggung pembicaraan tentang tujuan perkawinan ini apa. Jangan menjauh dengan mereka, tetapi rangkullah, tunjukkan bahwa Anda mampu membuat kebahagiaan secara psikis dan emosional untuk mereka.

Baca Juga:  Uskup Bogor, Mgr. Paskalis Bruno Syukur OFM: Mencari Kebahagiaan Hidup

Harapan terakhir, memang sebaiknya tidak tinggal dalam satu rumah dengan mertua, supaya belajar mengatur rumah tangga dan mencoba memenuhi harapan-harapan Sdri. Gita engan suami. Tetapi semua lakukan dengan hati tenang, tidak emosional, pikiran jernih dan positif, serta dengan sikap saling menghargai dan menghormati mertua atau suami.

Emiliana Primastuti/Psikolog, Dosen Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata, Semarang

Silakan kirim pertanyaan Anda ke: [email protected] atau WhatsApp 0812.9295.5952. Kami menjamin kerahasiaan identitas Anda.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles