HIDUPKATOLIK.COM – Perjalanan hidupnya penuh tantangan, namun keteguhan imannya melahirkan karya besar; kasih dan pengampunan.
SPOLETO, sebuah kota kecil yang terletak di kaki Pegunungan Apennini, Italia, adalah tempat di mana sejarah dan keindahan bertemu. Dikelilingi oleh bukit-bukit hijau yang dipenuhi pohon zaitun, ladang anggur, dan bunga liar, Spoleto memancarkan pesona pedesaan Italia yang khas. Kota ini terkenal dengan bangunan-bangunan kunonya yang megah, seperti Katedral Santa Maria Assunta dengan menara loncengnya yang menjulang dan Jembatan Romawi Ponte delle Torri yang melintasi lembah dengan anggun. Jalan-jalan berbatu yang sempit, dihiasi oleh toko-toko kecil dan kafe, menjadi saksi bisu dari kehidupan tenang masyarakat Spoleto.
Di salah satu sudut kota yang sederhana namun penuh kehidupan inilah, pada 28 Agustus 1795, lahir seorang bayi laki-laki bernama Giovanni Merlini. Ia adalah anak ketiga dari tiga belas bersaudara dalam keluarga besar Merlini. Rumah mereka berdiri di gang kecil yang ramai oleh suara pedagang dan aroma roti segar dari toko-toko di sekitar. Ayahnya, Luigi Merlini, adalah seorang pedagang berdarah bangsawan Sisilia, sementara ibunya, Antonia Claudi, adalah wanita yang penuh kasih tetapi tegas, mengelola rumah tangga besar dengan tangan bijaksana.
Terlalu Serius
Sejak kecil, Giovanni menunjukkan sifat yang berbeda dari saudara-saudaranya. Ketika teman-temannya sibuk bermain di ladang atau memanjat pohon zaitun, Giovanni sering terlihat duduk di bawah naungan pepohonan, tenggelam dalam doa atau membaca tulisan para santo. Di Katedral Spoleto, ia sering ditemukan di depan tabernakel, menghabiskan waktu dalam keheningan doa. Para imam di kota itu mulai memperhatikan anak muda ini, yang meskipun pendiam, memiliki cahaya iman yang sulit diabaikan.
Dibandingkan anak-anak muda pada umumnya, Giovanni berbeda. Ketika saudara-saudaranya bermain di jalanan, ia sering ditemukan duduk di bawah pohon zaitun di taman keluarga, tenggelam dalam buku doa atau tulisan para santo. Ibunya pernah mengeluh bahwa Giovanni terlalu serius untuk anak seusianya, tetapi dalam hati, ia bangga melihat putranya yang penuh cinta kepada Tuhan.
Saat Giovanni berusia 13 tahun, ia menerima Komuni Pertama di Gereja Sant’Ansano dari seorang uskup bernama Mgr. Antonio Maria Cadolini. Di hari itu, Giovanni mengenakan pakaian terbaiknya—sebuah jubah putih sederhana yang dijahit oleh ibunya. Ketika ia menerima Tubuh Kristus untuk pertama kalinya, air mata membasahi pipinya. “Ini adalah hari yang paling indah dalam hidupku,” katanya kepada ibunya saat berjalan pulang. Momen itu menjadi awal dari komitmen mendalamnya kepada Allah.
Namun, ketika Giovanni menyatakan ingin menjadi imam, ia menghadapi tantangan berat. Ayahnya, Luigi, yang berharap putranya akan melanjutkan bisnis keluarga, menentang keras keputusannya. “Giovanni, kau tidak perlu menjadi imam untuk menjadi orang baik. Kau bisa membantu orang lain melalui cara lain,” kata ayahnya. Tapi Giovanni, dengan kelembutan yang menjadi ciri khasnya, menjawab, “Ayah, hidupku tidak akan lengkap tanpa mengikuti panggilan Tuhan.”
Pada tahun 1809, meskipun tanpa restu penuh dari keluarganya, Giovanni memulai pendidikan imamatnya di Spoleto. Dalam perjalanan itu, ia menunjukkan keteguhan hati yang luar biasa. Selama masa-masa sulit, seperti ketika keluarganya menghadapi kesulitan ekonomi, ia tetap fokus pada panggilannya. Pada 19 Desember 1818, ia akhirnya ditahbiskan menjadi imam oleh Mgr. Francesco Canali.
Misionaris Darah Mulia
Setelah menjadi imam, hidup Giovanni berubah ketika ia bertemu Santo Gaspare del Bufalo dalam sebuah retret di Biara San Felice di Giano dell’Umbria. Gaspare adalah sosok yang penuh semangat dan visi besar. Pertemuan itu menjadi awal persahabatan yang tidak hanya memperkaya spiritualitas Giovanni, tetapi juga membuka jalannya untuk bergabung dengan Congregatio Missionariorum Pretiosissimi Sanguinis Domini Nostri Jesu Christi (C.PP.S) atau Misionaris Darah Mulia, sebuah ordo yang didirikan oleh Gaspare pada tahun 1815. C.PP.S adalah ordo yang didirikan Santo Gaspare del Bufalo pada tahun 1815 di Giano dell’Umbria, Italia. Ordo ini berakar pada spiritualitas mendalam terhadap Darah Kristus yang tercurah demi keselamatan umat manusia, yang menjadi simbol pengorbanan, penebusan, dan kasih tanpa batas.
Para misionaris C.PP.S. memiliki misi utama untuk mewartakan Injil melalui karya misioner, baik di paroki-paroki maupun di tempat-tempat yang belum dijangkau oleh Gereja. Mereka terkenal karena khotbah-khotbah mereka yang penuh semangat, retret rohani, serta pelayanan pengajaran iman. Dengan berpusat pada Darah Mulia Kristus, ordo ini mengajak umat untuk memperbarui hidup mereka, berdamai dengan Allah, dan terlibat aktif dalam membangun komunitas yang penuh kasih. Moto mereka, “Caritas Christi urget nos” (Kasih Kristus mendesak kita), mencerminkan panggilan mereka untuk hidup sesuai dengan cinta kasih Yesus yang tercurah dalam Darah-Nya. Ordo ini juga sangat menghormati dan mendukung perayaan liturgi yang indah dan khidmat, termasuk devosi kepada Darah Kristus yang telah menjadi tradisi dalam Gereja Katolik.
Di bawah bimbingan Gaspare, Giovanni tumbuh menjadi imam yang penuh dedikasi. Ia dikenal sebagai pembimbing rohani yang bijaksana dan rendah hati. Salah satu murid spiritualnya, Santa Maria de Mattias, pernah berkata, “Giovanni memiliki cara menyentuh hati yang membuatmu merasa dekat dengan Tuhan.” Bersama Gaspare, ia bekerja keras membangun ordo ini meskipun menghadapi berbagai tantangan, termasuk penolakan dari beberapa paus.
Sebagai anggota ordo, Giovanni tidak hanya berkhotbah di kota-kota kecil Italia, tetapi juga memberikan perhatian besar kepada pendidikan dan pembinaan para anggota baru. Ia percaya bahwa iman harus dilengkapi dengan pengetahuan yang mendalam. Ketika Gaspare meninggal pada tahun 1837, Giovanni berada di sisinya, memberikan penghiburan terakhir kepada sahabatnya.
Memaafkan Kusir
Pada tahun 1847, Giovanni diangkat sebagai Moderator Jenderal ketiga ordo Misionaris Darah Mulia. Dalam peran ini, ia membawa ordo berkembang hingga ke luar Italia, termasuk ke Amerika Serikat. Salah satu pencapaiannya yang besar adalah meyakinkan Paus Pius IX untuk menetapkan Hari Raya Darah Mulia sebagai bagian dari Kalender Umum Gereja. Hubungan dekatnya dengan Paus Pius IX mencerminkan kepribadiannya yang kuat dan penuh pengaruh.
Namun, di balik semua pencapaian itu, Giovanni tetap seorang pribadi yang sederhana. Ia dikenal sebagai sosok yang memaafkan dan penuh kasih. Bahkan ketika sebuah kecelakaan lalu lintas pada tahun 1873 merenggut nyawanya, kata-kata terakhirnya adalah, “Aku memaafkan kusir itu.”
Setelah wafatnya, Giovanni dimakamkan di Campo Verano, tetapi pada tahun 1946, jenazahnya dipindahkan ke Gereja Santa Maria in Trivio, berdampingan dengan sahabatnya, Santo Gaspare del Bufalo. Proses beatifikasi Giovanni dimulai pada tahun 1880-an dan berlanjut hingga tahun 1973, ketika Paus Paulus VI memberinya gelar Venerabilis.
Kini, dunia Katolik bersiap merayakan beatifikasinya pada 12 Januari 2025. Giovanni Merlini bukan hanya seorang imam dan pemimpin, tetapi juga teladan hidup yang menunjukkan bahwa dengan iman yang kokoh, kasih yang tulus, dan pengampunan yang mendalam, seseorang dapat menjadi cahaya bagi dunia.
Yustinus Hendro Wuarmanuk